Kemarin, saya melihat Menyan yang artworknya dicuri oleh pemuda bernama Egi, asal Bandung katanya mah. Saya cukup berduka ya, Nyan. Biar bagaimana pun, pasti ada lah eneg–eneg asam lambung dan hasrat ingin membogem mah.
Gak lama, tadi saya kepepet malu balas story orang lain yang 100% njiplak dari Farid (meskipun gak tahu ini bisa dibilang plagiasi atau bukan). Itu, loh. Story Farid yang soal kopi-lalat dan indie. Sumpah saking screenshot-annya, saya sampai balas ke akun itu “Beat orennya mana?” karena saya kira itu Farid. Untuk yang kedua ini, saya gak yakin ya itu plagiasi atau bukan tapi atuh plis lah, itu kan ada puisinya:( dan budaya screenshot story teman memang sudah sangat biasa di circle kami, tapi konteksnya untuk membalas (dengan tidak menghilangkan nama pemilik story).
Dulu, pasangan saya adalah tipe-tipe “anak photoshop”. Saya ngikutin betul upayanya jualan di IG. Mulai dari belajar Photoshopnya, bikin hashtag, bikin studio, sampai keasyikan kikituan dan lupa sama saya. Padahal lebih ke … udah gak mau sama saya aja sih. He3x.
Saya sempat tanya, “Emang gak kena hak cipta gitu, ya? Itu kan kamu ngambil gambar orang semua.”
“Ya enggak, itu kan kolase.”
Pada saat itu, Arini muda manut-manut aja dan memilih untuk “Oh dia kan memang anak hukum. Lebih ngerti meren. Jadi yaudah, lah.”
Saya juga gak gitu ngerti sebab saya merasa 60% denyut nadi saya adalah literasi. Jadi kalau dicek ke dokter, denyut saya bunyinya bukan “Deg deg deg” tapi “Iqro iqro iqro.” masyaalloh indahnya toleransi.
Sejak kecil, saya terbiasa membaca teks, melihat gambar, dan mengamatinya lekat. Untuk setiap katalog Sophie Martin yang Ibu punya, saya selalu punya halaman favorit untuk yang warnanya menarik mata saya. Atau majalah Gadis si anak sulung yang isinya ada pernak-pernik aksesoris yang lucu. Begitu pula untuk koran Rumah, saya selalu punya halaman yang selalu jadi “halaman kesayangan” karena menampilkan kamar tidur anak yang bonekanya seabreg dan penuh warna.
Khusus untuk teks-teks, saya sangat suka membaca Mangle meskipun kemampuan berbahasa Sunda (halus) saya jauh dari menakjubkan, tapi saya punya kolom favorit yaitu kolom cerita misteri gitu. Yoai. Untuk koran Sindo langganan Bapak, saya suka membaca jadwal TV dan resep masakan. Ya intinya (walau pun masih sedikit juga), saya rasa saya dekat dengan dunia tulisan sejak dulu.
Beranjak dewasa, saya semakin suka menulis-membaca, sampai-sampai merasa jago dan mulai terbiasa menilai orang dari tulisannya (kalau dia nulis), kalau enggak ya cukup dari cara ngomongnya. Lalu setelah itu kalau memang tidak cocok ya sudah pasti saya menghindari nongkrong semeja lagi.
Berbekal pengalaman jadi joki skripsi, saya menjadi calon tunggal Pemred Nyimpangdotcom, meskipun saya tahu pada akhirnya hidup saya yang damai itu gak bakal kembali lagi, tapi sampai saat ini saya bahagia bisa sama-sama Nyimpang. Selain pengalaman-pengalaman ngehe soal edit tulisan yang acak-acakan, gak padu, dan kelewat kurang ajar, saya lebih emosi sama tulisan yang jelas-jelas plagiat.
Sebutlah begini, lebih baik jelek bikinan sendiri daripada bagus tapi plagiat. Kenapa? ya kalau kamu belum bisa nulis ya udah gapapa, kemampuan itu bisa dikembangkan (meskipun dicaci maki editor yang kalau ngasih tahu bisanya sambil marah-marah), tapi kalau kamu plagiat, apa yang mau dikembangkan? kemampuan berbohong dan bersembunyi di balik ketakutan dan rasa bersalah?
Ketika ada sebuah tulisan masuk ke Nyimpang, saya akan terlebih dahulu membacanya, baru mengecek ‘siapa yang nulisnya?’ kalau saya rasa tulisan itu udah gak bisa saya perbaiki (misalnya tulisan nirfaedah yang gak ada intisarinya, tulisan yang memuat konten-konten bagusin partai/pemerintah, atau tulisan lain yang subjektifnya kelewat gaje menurut saya juga saya rasa lebih baik saya gak lolosin), tapi saya akan tetap stalking penulisnya.
IG-nya, jejak digitalnya, atau apa pun lah itu. Ya karena saya betulan pengen tahu, pengen kenal. Misal, saya suka beberapa tulisannya Hilman Firdaus setelah saya menyunting naskah bukunya, lalu saya stalking sampai akhirnya saya tahu kalau beliau ternyata udah nerbitin buku lain. Lalu saya beli, dan ya bertambah lah relasi sekaligus pengetahuan saya. Saya rasa ke-kepo-an saya barusan adalah hal yang wajar dan bukan kegabutan.
Satu hari, ada tulisan masuk ke Nyimpang, kumpulan puisi/prosa gitu lah. Saya gak tahu nyebutnya apa, tapi yang jelas, puisi itu terlalu panjang dan sangat naratif. Tertariklah saya karena saya rasa tulisannya bagus. Saya kepoin penulisnya (sebutlah Nunu), yang akhirnya saya dapat di IG. Saya lihat link yang ada di IG Nunu. Oh ternyata punya blog sendiri.
Saya baca beberapa sampai saya penasaran, kok tulisan sebagus ini gak ke-detect Farid, ya? Padahal, saya lihat IG-nya lumayan banyak juga teman yang mutualan. Usut punya usut, saya tanya ke beberapa teman, Nunu ini ternyata domisili Bekasi/Bogor gitu. Lupa.
Saya terus baca-baca tuh blognya Nunu, lalu saya menemukan ada gaya penulisan yang cukup jauh di beberapa cerita. Saya tahu, gaya tulisan itu sangat mungkin berubah dan selalu dipengaruhi daftar bacaan yang tiap hari bisa berubah. Tapi menurut saya ini kelewat jauh, seperti ditulis orang yang berbeda. Untuk saya yang terbiasa membaca teks, saya merasa mampu menyadari ‘perbedaan’ itu meski sedikit.
Saya penasaran, lalu saya mencomot beberapa bagian, menaruhnya di Google, dan duar! Muncul tulisan dari blog berbeda yang plek-ketiplek sama persis, dengan rentang waktu yang jauh. Saya lalu mencomot 1/4 bagian lain di semua tulisan di blog Nunu ini, kemudian iya, saya katakan tulisan diblog Nunu 100% plagiat.
Saya nge-DM dong ke doi, saya bilang intinya maaf tulisan kamu gak bisa kami terbitin karena itu hasil plagiat. Tau dia balas apa? Dengan bijaknya doi balas gini,
Di mana ada unsur plagiasinya, Kak?
Lho gimana maksudnya, Kak?
Dan bisa-bisanya dia ngelengos tanpa minta maaf. Ya meskipun Nyimpang juga gak berhak nerima kata-kata maaf dari dia, tapi minimal sadar diri lah, Bos!
Saya merasa terhina di sini. Pertama, dia pikir Nyimpang gak akan tahu? Dia pikir Nyimpang sebutuh itu sama kontributor? Dia pikir tulisan yang masuk ke Nyimpang gak akan disaring? Dia pikir ini platform main-main?
Meskipun gak menghasilkan cuan berpuluh-puluh juta, tapi kami di sini coba nge-embrace keberanian teman-teman yang lain yang ingin belajar menulis, lho. Kami bikin kelas menulis, kami nerbitin buku, kami aiueo jungkir balik mempertahankan Nyimpang (meskipun kontribusi saya gak sebanyak Farid sih), tapi justru itu! Saya gak suka ketika niat Nyimpang justru disambut celaka sama orang-orang kaya Nunu ini. Kebelet tenar dan pengen banget tulisannya dibilang bagus. Sebutuh itu sama validasi sampai-sampai gak mau berproses.
Bentuk-bentuk plagiasi lain saya temukan pada saat program 100 Penulis. Woah. Itu juga sama. Saya baca dari awal, “Oh karakter tulisannya begini.” ehh terus ditengah-tengah tiba-tiba ada kutipan Fiersa Besari. Bjir, fak lah kata guel teh. Dikira kami akan tiba-tiba aja ngelolosin gitu kali, ya?
Ya, begitulah. Ini juga kalau full saya tampilkan ya gak ada minta maafnya.
Ya gitu lah intinya. Saya agak rewel emang kalau soal tulisan, padahal tulisan saya juga gak bagus-bagus amat. Saya lebih suka penulis yang berani, apa-adanya, meskipun jelek tapi orisinil lah gitu. Toh kalau saya malas juga saya biasanya chat penulisnya bagian mana yang kurang pas.
Kami sadar Indonesia belum mampu melindungi senimannya dari para plagiat, dan kami gak mau melanggengkan itu. Kami gak mau jadi bagian untuk menyebarkan tulisan bohong hasil nyuri karya orang lain. Kepada siapa pun tulisan itu ditujukan, kalau kamu mengirimkan tulisan hasil plagiasi, itu adalah bentuk penghinaan terburuk yang gak boleh dilakukan. Kalau kamu menunjukkan tulisan itu ke pembaca, kamu menganggap pembaca itu bodoh karena kamu berani berbohong sama mereka. Gitu juga kalau kamu ngirim tulisan itu ke platform mana pun, dan buat saya gak ada alasan untuk melakukan plagiasi, sih. Gak ada satu pun orang yang senang dibohongi.
Oh iya, tapi untuk gambar dan artwork saya gak gitu ngerti seperti apa hukumnya, tapi untuk kalian yang tahu, boleh langsung komentar, ya!