Entah kenapa saya sangat yakin kalau saya bukan satu-satunya manusia yang suka geregetan ketika melihat komentar semacam “Relate banget” di konten-konten menyedihkan soal keluarga yang biasanya diiringi penggalan lagu “Wajar bila saat ini ku iri pada kalian yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah,”
Saya yakin saya juga bukan satu-satunya manusia yang akan terdiam kebingungan tak tahu harus berbuat apa saat melihat status Whatsapp atau story Instagram semacam
“Kalian gak akan ngerti beratnya jadi anak yang blablabla … ” atau
“Punya rumah tapi tidak bisa ‘pulang’. Jangan tanya kenapa aku lebih betah di luar.”
Bukan bermaksud menafikan lika-liku perjalanan hidup orang lain, tapi jujur saya sempat tidak mengerti kenapa hal-hal semacam itu booming bahkan menjadi semacam tren yang banyak dilakukan khususnya oleh mereka-mereka yang terbilang masih cukup belia atau sering kita kenal sebagai Gen Z. Benarkah mayoritas Gen Z serapuh itu?
Jika menilik pengertian Gen Z yang disebut Pew Research Center, Gen Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997-2012, sebenarnya saya yang lahir tahun 1998 juga termasuk bagian dari mereka. Lantas kenapa saya tidak terlalu relate dengan nestapa mereka? Kenapa saya justru selalu ingin nyinyir setiap mereka memposting sesuatu yang kerap menunjukkan seolah-olah adik-adik SMP-SMA itu adalah makhluk paling sengsara di dunia?
Untungnya keinginan tak terpuji itu bisa saya rem setelah mencoba melakukan sebuah kiat yang sebenarnya cukup sederhana. Tentu sebelum menemukan kiat itu, saya telah lebih dulu mencoba mencari tahu kenapa sih para Gen Z dikenal begitu rapuh bahkan dikenal banyak orang sebagai generasi paling lemah sejauh ini. Dan berikut beberapa hal yang saya temukan.
Sebenarnya tidak semua orang setuju kalau Gen Z adalah generasi paling rapuh atau lemah. Banyak pihak salah satunya adalah aktivis HAM dan pegiat inklusi menyebut bahwa cap itu adalah stigma yang diberikan oleh mereka yang belum melek soal kesehatan mental. Apa yang dilakukan Gen Z termasuk banyak berlindung di balik term ‘mental health’ adalah dampak dari semakin terbukanya akses informasi mengenai topik kesehatan mental.
Pihak lain yang setuju kalau Gen Z adalah generasi rapuh yang bahkan lebih rentan mengalami depresi menyebut penyebab dari kerapuhan ini adalah adanya berbagai tantangan dan persaingan yang jauh lebih berat. Hal lain yang turut menyumbang kerapuhan Gen Z adalah pengaruh media sosial yang semakin maju yang membuat mereka semakin mudah mengakses informasi termasuk tentang kehidupan orang lain yang dianggap lebih bahagia.
Dari dua pendapat ini bisa kita simpulkan hal apa yang paling banyak menyumbang terbentuknya generasi yang disebut-sebut rapuh, lemah, dan lebih rentan mengalami depresi kan? Ya, media sosial. Hal yang sering disebut-sebut sebagai penemuan terhebat yang bisa memangkas jarak ruang dan waktu antara manusia yang satu dengan manusia lainnya memang mirip pisau bermata dua.
Tapi harus diakui juga bahwa selain menjadi biang keladi munculnya generasi yang lebih rapuh, media sosial juga menjadi jalan saya menemukan kiat untuk memaklumi kerapuhan para Gen Z. Kiat ini cukup sederhana dan bahkan bisa dilakukan oleh siapa saja dimanapun. Dan kiat yang saya maksud adalah dengan rutin membuka kenangan yang tersimpan di media sosial seperti Facebook.
Untuk kamu yang masih sering mengakses media sosial Facebook tentunya tidak asing dengan fitur Kenangan yang sering menyapamu ketika membuka aplikasi besutan Mark Zuckerberg ini. Fitur ini berisi peristiwa dan hal-hal apa saja yang terjadi di Facebookmu di tanggal yang sama beberapa tahun sebelumnya termasuk status-statusmu yang berisi kombinasi huruf, simbol, dan angka seperti kode Enigma.
Saya sendiri pertama kali memiliki Facebook di sekitar tahun 2012-an waktu usia saya 14 tahun. Yups, seumuran dengan adik-adik yang sekarang sering membubuhkan komentar semacam “Relate banget” di konten-konten menyedihkan soal keluarga yang biasanya diiringi penggalan lagu “Wajar bila saat ini ku iri pada kalian yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah,”
Dan beberapa tahun terakhir, saya punya rutinitas untuk mengecek fitur Kenangan ini. Selain untuk bernostalgia, rutinitas ini saya lakukan sebagai salah satu ikhtiyar untuk muhasabah alias koreksi diri. Dari rutinitas ini juga saya akhirnya menemukan kalau di usia yang sama dengan adik-adik yang sekarang sering membubuhkan komentar semacam “Relate banget” itu, dan sebenarnya saya juga serapuh mereka. Hanya saja bedanya, kerapuhan saya bukan soal keluarga.
Kerapuhan saya hanya berkisar soal keluh kesah sepele semacam membenci lagu Takkan Pisah yang dinyanyikan Eren yang pernah dikirim oleh Mas Mantan via Bluetooth saat kami diam-diam bertemu sepulang sekolah di depan kios tukang cukur. Kerapuhan saya hanya berkisar soal Ahmad Bustomi atau Andik Vermansyah yang kalah dalam laga melawan klub-klub yang saya dulu saya benci seperti Persib Bandung.
Tentu ini tidak berarti di usia yang sama saya tidak serapuh mereka. Kita sama-sama rapuh. Bedanya, di waktu itu saya dan mungkin kebanyakan dari kita belum familiar dengan istilah Mental Health meskipun sudah sering ikut merasa tersayat saat mendengar lagunya anak bungsu. Lastchild, kan?