Media sosial telah menjamur di berbagai kalangan masyarakat, baik orang tua, remaja, hingga anak-anak. Tidak ada salahnya jika kita ikut menggunakan media sosial. Bahkan, memiliki akun media sosial seakan-akan menjadi kewajiban setiap orang agar tidak ketinggalan informasi populer dan terkini.
Apalagi, di masa pandemi ini kita dianjurkan untuk menjaga jarak fisik dengan orang lain. Dengan begitu, media sosial menjadi salah satu alternatif untuk tetap menjalin komunikasi satu sama lain.
Pada dasarnya, alasan seseorang menggunakan media sosial berbeda-beda. Ada yang menggunakan media sosial sebagai sarana jual beli, mengembangkan bakat, memotivasi orang lain, menjalin komunikasi dengan teman atau saudara, ada juga yang menggunakan media sosial hanya untuk mengetahui berita-berita terkini agar tetap up to date.
Tapi sayangnya, ada beberapa orang yang menggunakan media sosial sebagai ajang pamer, baik disengaja maupun tidak disengaja. Umumnya pamer di media sosial dilakukan oleh anak-anak muda yang haus akan ketenaran dan pujian, tetapi muntah jika diberi kritik dan saran.
Kurangnya pengakuan dari masyarakat membuat mereka kurang bahagia. Oleh karena itu, mereka mencari kebahagiaan lain di media sosial. Alasannya karena pengguna media sosial sangat banyak, bahkan seluruh dunia menggunakannya. Dengan demikian, peluang mereka mendapatkan pengakuan dari orang lain sangat besar.
Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan memposting segala sesuatu yang dapat membuatnya terlihat sempurna di mata orang lain, sehingga semua orang di media sosial mengakui keberandaanya. Lagi makan, lagi liburan, lagi belajar, lagi beribadah, pokoknya semua kegiatan yang dilakukan biasanya akan didokumentasikan lalu diunggah di media sosial.
Para pemuda saat ini merasa sangat bahagia jika dirinya disanjung oleh orang lain. Bahagia yang mereka rasakan tidak ada di dalam dirinya. Bahagianya hanya berasal dari like dan comment para pengikut akun media sosialnya. Mengunggah foto dan membuat snapgram di media sosial lalu mendapatkan respon berupa pujian dari teman-teman menjadi hal yang sangat menyenangkan.
Tapi, terkadang kita terlalu berlebihan dalam mengunggah foto di media sosial. Kita mengungggah foto-foto tertentu yang ujung-ujungnya mengarah ke pamer. Banyak hal yang bisa dipamerkan di media sosial, seperti kecantikan, kekayaan, serta segala hal yang bisa diunggulkan dan menjadikan hidup kita terlihat sempurna.
Pamer di media sosial sangat mudah dilakukan. Cukup ambil foto objek lalu di-upload, maka seluruh pengguna media sosial akan mengetahuinya. Beda kalau pamernya lewat mulut, kita harus capek-capek ngasih tau satu-persatu ke setiap orang. Oleh karena itu, media sosial menjadi ajang pamer yang paling efektif.
Saat membuka beranda media sosial, terkadang kita melihat postingan seorang wanita yang menunjukkan kecantikannya sekaligus skincare mahal yang digunakannya. Ada juga postingan dua sejoli yang menunjukkan kemesraannya. Ada juga yang memposting kekayaannya seperti rumah, mobil, barang branded, dan lain-lain.
Yang paling parah adalah postingan yang menunjukkan bahwa kita sedang beribadah. Mau sholat bikin story dulu, mau sedekah bikin story dulu. Buat apa sih kegiatan beribadah diunggah ke publik? Biar keliatan religius?
Kita memang tidak tahu apa tujuan mereka mengunggah foto-foto tersebut. Mungkin saja mereka ingin membagikan tips cantik, ingin memotivasi kita agar rajin bekerja sehingga punya materi yang berlebih, atau mengajak kita untuk senantiasa beribadah kepada tuhan. Tapi umumnya kita mengartikan kegiatan tersebut sebagai pamer.
Namun, setiap orang memiliki respon tersendiri terhadap postingan orang lain. Ada yang merespon positif ada juga yang merespon negatif.
“Ihh, kok dia cantik banget sih. Skincare nya apa ya? besok beli ah”
“Kok dia jajan di kafe itu terus ya, padahal hidangannya mahal-mahal, rasanya kaya gimana ya? Jadi pengen jajan di sana deh”
“Pamer barang branded tapi belinya pake duit orang tua kok bangga. Pamer itu pake uang sendiri dong!”
“Padahal aslinya ngga cantik-cantik amat loh, kok jadi cantik banget sih. Pake efek nih pasti”
“Halah, mau solat aja diposting”
Pada kenyataannya, pamer di media sosial sering mendapatkan respon negatif. Walaupun terkadang kita termotivasi, tapi kita lebih sering merasa kesal dan eneg setelah melihat unggahan-unggahan tersebut.
Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya mereka sedang berusaha membahagiakan dirinya. Mungkin mereka juga berusaha membahagiakan kita lewat postingannya. Namun, mereka menggunakan cara yang kurang tepat. Kita yang seharusnya ikut bahagia, malah menjadi kesal.
Terkadang jiwa-jiwa insecure pun muncul setelah melihat postingan yang menjurus ke pamer. Kita semakin tidak percaya diri dengan keadaan saat ini. Mungkin kita kurang cantik dari mereka, kita tidak punya barang-barang branded, dan tidak pernah makan di restoran mewah. Kalau kita punya uang, kita bisa membeli barang-barang seperti mereka. Bagaimana yang tidak punya uang?
Kadang orang-orang yang terlalu ngebet mengikuti tren tapi tidak punya uang, mereka akan berpura-pura kaya demi memenuhi kebutuhan hidupnya di media sosial. Entah bagaimana caranya, yang penting bisa pamer hal-hal seperti teman-temannya. Baik itu kecantikan maupun style fashion yang digunakan.
Intinya jadilah diri sendiri. Kita tidak perlu menggunakan topeng untuk memenuhi kebutuhan di dunia maya. Kalupun kita kurang bahagia karena tidak ada pengakuan dari lingkungan sekitar, kita tidak perlu memamerkan kemampuan-kemampuan kita agar hidup kita terlihat sempurna di mata orang lain.
Meskipun begitu, kita tetap harus menghargai orang yang suka pamer di media sosial, karena mereka hanya ingin mendapatkan kebahagiaan. Selain itu, mereka juga membutuhkan usaha yang cukup besar ketika hendak pamer. Mereka harus mencari bahan yang dapat dipamerkan terlebih dahulu. Hal tersebut tentu sangat menguras tenaga dan materi.