Sebagai individu yang gaptek dan sok-sokan support lokal, saya sebetulnya agak terganggu sama plang sebuah mal baru yang membawa nama Jakarta. Plang segede gaban yang terpampang di lintasan tol menuju MBZ.
Apakah itu sah? ya sah-sah saja, toh bukan saya yang bayar billboardnya. Tapi kenapa ya, apa-apa harus Jakarta? atau saya aja yang sentimen sama Jakarta?
Saya kemudian membayangkan kalau Purwakarta punya mal baru, lalu ditulis The Northwest Bandung begitu. Ihiy. The Northwest Bandung.
Itu hak empunya property memang, dan melampaui itu, saya sering berpikir tentang,
“Kenapa orang dari kota-kota kecil seringkali merasa inferior dengan hal-hal semacam ini?”
Se-simple anak-anak S1 Unpad zaman sekarang yang kalau ditanya “Kuliah di mana?” jawabnya di Bandung. No offense, angkatan terakhir S1 yang masih ada fakultas di Bandung itu kan angkatan 2016. Selebihnya semua fakultas S1 pindah ke Jatinangor alias Sumedang. Banyak juga yang nge-bully orang-orang Cimahi atau Bojongsoang misalnya, hanya karena mereka bilang dari Bandung. Meskipun dalam kasus barusan, itu memang gak salah karena ya itu kan Bandung Raya.
Robinson Crusoe menganggap bahwa ia telah memberi peradaban kepada orang-orang di suatu pulau terpencil hanya karena ia makan pakai sendok. Padahal, ah gak juga. Ya gitu-gitu, lah.
Mentalisme “merasa kerdil”, yang saya rasa hasil inferiority poskolonial lah, tapi dengan lingkup yang lebih kecil saja.
Saya lalu ingat beberapa tahun yang lalu. Ada seorang bule yang tampil memainkan alat musik tradisional Indonesia, lalu menuai reaksi pujian warganet. Entah kenapa, beda aja gitu sama orang lokal yang mainin alat musik sendiri. Kesannya biasa, gak se-wow orang asing yang mainin. Orang Indo mainin marakas juga kesannya biasa dan gak se-wow oranga sing mainin angklung misalnya.
Entahlah, saat ini saya hanya ingin rebahan. Apa yang dianggap keren nyatanya gak sekeren itu juga, kok. Jakarta gak sekeren itu, Amerika pun sama. Gak ada yang betul-betul keren di dunia ini selain saya. Heuheu.
Saya sedang me-maintain kelas Inggris online di FF. Gak banyak saya buka, cukup 3 kelompok saja. Itupun sudah ngos-ngosan. Kalau saya perhatikan, mereka ini sebetulnya ngerti dan paham orang kalau ngomong pakai bahasa Inggris, cuman memang mereka ini kekurangan teman bicara yang bisa ngelatih mereka lebih fasih saja.
Gimana enggak? Salah dikit dijudge, ngomong dikit dibilang “Dasar sok Enggresss” atau “Njir! Sok Jaksel kitu euy.”
Sepele memang, tapi ngaruh. Kok bisa bilang keren sama orang asing yang mainin instrumen musik tradisional Indo tapi giliran orang belajar memfasihkan keterampilan bahasanya malah dibilang sok Engggress?!
Saya tuh bosan sama Jakartasentris atau Bandungsentris. Capek lihat semua yang bagus-bagus harus dikaitkan dengan Jakarta atau Bandung.
Padahal, tiap kota punya corak masing-masing. Gak ada yang lebih superior atau inferior. Masalahnya cuma satu, kita seringkali terlalu sibuk nyari-nyari dan nyangkut-nyangkutin corak kota lain. Padahal mah sama aja.
Memang, pameran-pameran di Jakarta dan Bandung lebih fancy, lebih well-prepared, tapi kan ya semua kolektor dan orang tajirnya juga kebanyakan ngumpul di situ. Media gede juga ngumpulnya di situ kan, dan ya ini emang tantangannya. Tapi ya udah, ambil yang bisa ditiru aja dan soal ini bisa kita bahas di tulisan yang lain. Intinya, proud to be wherever you came from za. Da UMR Karawang teh gede jir.
Syukur-syukur bisa kaya Jepang, yang orang tuh harus bisa ngerti bahasanya kalau emang mau interaksi.