—festival, yang berasal dari kata dasar “festa” yang berarti pesta, umumnya berarti pesta besar atau acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu. Festival juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting atau bersejarah, atau pesta rakyat yang bersifat suatu acara yang bersenang-senang biasanya untuk menyambut sesuatu yang datang.
Beberapa waktu silam, mulai bermunculan akun-akun bisnis di kanal Instagram sebagai wadah untuk mereka, para event hunter. Secara sadar, banyak sekali diberbagai wilayah acara-acara music yang kita ketahui digelar sebegitu luar biasanya. Beberapa diantaranya “Tau Tau Festival”, “Pestapora”, “We The Fest”, dan masih banyak lagi. Termasuk nanti, “Coldplay” yang bakalan konser nanti di Jakarta, November mendatang.
Tidak menutup kemungkinan, kawula muda daerah di Purwakarta, Jawa Barat mulai mencoba peruntungan membentuk wadah-wadah untuk teman-teman yang haus akan acara. Tapi, sangat disayangkan, beberapa gelaran acara yang disediakan harus gulung tikar sebelum acara berlangsung. Kenapa ya kira-kira? Beberapa diantaranya, yang saya ketahui. Mereka yang menyediakan wadah festival besar ini, sangat menyayangkan karena kurangnya support, edukasi, gengsi, dan lain sebagainya. Ditambah, Purwakarta acapkali berperan sebagai “second city” yang tak jarang orang hanya lewat antara Jakarta-Bandung. Sampai akhirnya, membuat “trust” itu kurang baik untuk orang-orang atau kelompok yang membentuk wadah acara sebesar Festival ini.
Dalam beberapa kegiatan serta acara-acara yang pernah saya garap di beberapa kota, saya mempelajari banyak hal dalam membentuk satu kegiatan. Bahkan, seingat saya ada pencanangan acara musik yang meng-highlight Tulus sebagai main starnya. Tapi, acara tersebut lantas gagal dan tidak berlanjut sampai saat ini.
Menurut saya, acara atau festival-festival ini bukan “gagal”. Hanya saja, pola kebiasaannya belum terbentuk begitu baik. Begini, dalam keilmuan dan pengalaman yang saya pelajari. Sebelum saya membuat sesuatu yang besar, saya perlu membuat sesuatu yang kecil terlebih dahulu. Membuat kebiasaan, membentuk trust terhadap audience yang nantinya ketika menawarkan hal lebih besar, mereka siap dengan itu, dan tentu saja perlu proses yang cukup lama.
Seperti halnya membentuk atau membangun skena. Hal yang cukup melelahkan, tapi jika percaya pada prosesnya, mungkin akan seperti nyimpangdotcom yang tetap hidup mewangi *ihiw editor bisa aja.
Nah, barangkali kenapa beberapa festival di Purwakarta ini harus gulung tikar, karena belum adanya pola kebiasaan itu yang disediakan. Secara garis besar, dengan yang saya pelajari sekali lagi, menurut saya perlu dibentuk terlebih dahulu hal-hal yang sederhana. Seperti, disediakannya wadah-wadah untuk mereka para seniman lokal unjuk gigi, mempromosikan karya-karyanya, disediakannya intimate showcase, agar bisa didengar atau dilihat secara lebih banyak.
Setelah kebiasaan itu, maka kita bakalan mengetahui audience market yang kita tuju. Secara profilingnya, demografi, skema, dan banyak hal. Nantinya, itu menjadi database kita sendiri untuk acara-acara atau kegiatan-kegiatan yang bakalan kita sediakan lebih besar nantinya. Balik lagi, Purwakarta hari ini, butuh kebiasaan-kebiasaan itu dulu dalam skena kreatifnya. Atau lebih kerucut, di skena musiknya.
Dekat-dekat ini, Hexa Space melalui Swara Studio sudah berupaya untuk turut menampilkan musisi lokal ber-genre hardcore pada tanggal 27 Mei nanti. Ayo ramaikan!
Meskipun anyak juga yang bilang;
“Ya belum melek dan teredukasi aja, mangkannya susah banget buat jual tiket. Pengennya yang gratisan mulu.”
Begini, untuk hal yang baru, gak mungkin dong orang-orang bisa sepenuhnya percaya sama apa yang kita sediakan? Walaupun, line-up yang disediakan cukup memadai kawula muda. Masalahnya, mereka butuh apa? Konsep apa yang kita tawarkan? Apa yang jadi pembeda, ketika kita membuat acara tersebut?
Saya, sering ngobrol ke guru, teman, atau mentor saya “Oomleo Berkaraoke”, mungkin teman-teman (atau teman-teman saya aja) tahu siapa beliau sebagai bapak-bapak skena. Menurutnya, kota atau daerah dengan scope yang kecil, perlu sama-sama bisa saling merangkul kegiatan-kegiatan yang disediakan mereka yang membuat acara. Semakin banyaknya kolaborasi, semakin banyak juga potensi-potensi besar yang baik kedepannya.
Dalam pengalaman ini, saya cukup atau masih sangat kurang untuk terjun di skena atau ranah-ranah acara di daerah sendiri, Purwakarta. Tapi, saya sedang berusaha mencoba membuat kebiasaan itu, dari pengalaman beberapa tahun yang saya ambil di Cimahi, Bandung, Bekasi, dan Jakarta.
Maka dari itu, saya sediakan wadah Selamat dan Lantjar (selantjar) dalam acara Noktah Kausa yang berkolaborasi dengan Temu Sapa Coffee. Secara garis besar, saya mengangkat issue perihal “berkain” didalamnya, dalam artian lain saya ingin meng-akulturasikan budaya dan modern menjadi satu. Dimana, saya juga mengajak kawan-kawan seniman lokal di Purwakarta untuk unjuk gigi. Acaranya nanti bakal berlangsung tanggal 4 Juni 2023, hari Minggu. Dari sore, sampai malam hari.
Silahkan datang, saksikan, ini gratis, jangan lupa untuk berkain!