Nama Syamsul Bahri muncul pada daftar calon penulis yang ditarik dan dikirim Farid kepada kami (saya dan Sidik). Saya bukan orang yang mudah mengingat orang lain dari nama atau wajah, sebagai manusia biasa tentu saja saya mengingat orang lain dari kesalahannya xixi. Gak. Saya bisa mengingat orang dengan baik melalui karyanya. Untuk Syamsul, saya mengingatnya sebagai orang yang bete waktu mau nge-Zoom tapi sinyal saya jelek. Setelah itu, barulah saya membaca draft bukunya, Namamu adalah Kesedihan.
Saya ingat Syamsul berasal dari Subang, tapi kalau tidak salah, saat ini ia menetap di Yogya (bukan yang di Jalan Tengah tapi, Yogya beneran). Dalam proses menulis Namamu adalah Kesedihan, Syamsul sama seperti kita dan penulis pada umumnya: berawal dari seseorang yang dikagumi, gak berani bilang lalu keburu patah hati atau apa pun itu yang akhirnya ia tulis jadi puisi.
Tentu bukan hal yang haram dan jelek, karena semua orang juga begitu. Jatuh dan patah, hati selalu jadi alasan penulis buat berkarya. Iya, kan? Selain itu, sudah pasti kita setuju kalau alasan Syamsul menulis ya biar tulisannya gak mengendap di laptop dan keburu hilang kena trojan. Ya, menulis buku buat Syamsul adalah sarana pengarsipan. Ya meskipun tujuan awal Syamsul menulis puisi-puisi ini untuk dipersembahkan kepada Si Doi dan bukan diterbitkan di penerbitan sok indie seperti Nyimpang dan Pustakaki Press, tapi kalau udah jodoh mah, kun fayakun lah pokoknya!
Syamsul adalah Para Penyimpang sejak 2020. Katanya, dia pernah stalk web Nyimpang dan menurutnya kontennya ngeri-ngeri mengarah ke jurang. Padahal memang saat itu Farid sebagai Pemred sedang berada di tepi jurang dekat Gunung Parang. Syamsul juga sadar Nyimpang sempat hilang dan gak aktif. “Entah kenapa itu bisa terjadi?” kata Syamsul teh. Ya tentu saja bangkrut! 🙁
Saya tidak akan bicara banyak soal bukunya, tapi secara umum, saya rasa bukunya gak cuma soal jatuh/patah hati, ya meskipun yang saya baca kebanyakan itu, sih. Cuman asyik aja gitu baca Syamsul waktu dia melihat ‘sesuatu se-simpel itu’ di jalan seperti pada puisi Ngarai Wail,
Kita mudah rapuh dalam cahaya kota, berpayung pada lampu-lampu jalanan dalam mimpi-mimpi tukang sapu dan gelandangan.
Uuuuh! It hits me so much to the core! Mimpi tukang sapu dan gelandangan coba. Siapa yang kepikiran? Ya mungkin ada aja sih yang kepikiran, tapi kan gak ditulis dengan cara seperti Syamsul. Itu yang bikin puisi ini keren!
Puisi kiyowo lain yang bikin saya haha-hihi tuh Di Antara Buah Dada.
Di antara buah dadaku terdapat lubang kunci. Kau mawarku, kunci dan belati. Ilalang menusuk bulan.
Lucu, kan. Suka, deh! Detail Syamsul teh. Ya, sisanya boleh teman-teman baca sendiri dengan cara beli di https://nyimpang.com/product/namamu-adalah-kesedihan/ dan seperti yang Arireza bilang: terus pegiat literasi dan seniman lokal Purwasuka!
Sekali lagi selamat ya, Syamsul! Jangan berhenti nulis pokoknyaa!