Kenalan penulis kali ini akan menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan saya. Tapi serius deh. Tam. Emangnya saha maneh di mata Tuhan?!
Satu waktu di tahun 2015, saya menemukan sebuah puisi di dalam tas saya. Sebuah puisi yang harus saya baca sambil mengerutkan dahi sebab tulisan tangannya persis seperti semut-semut di televisi. Tama, yang pada saat itu bercita-cita menjadi Neil Armstrong lah yang menulisnya.
Waktu itu rambutnya masih gondrong. Tama bersarang di sekre jurusan sampai kami menemukan Gesmani. Mungkin saat itu Tama belum kenal norma, tapi setiap saat dia begitu ceria. Hobinya mengetuk pintu kamar Dikdik. Bukannya balik, Tama justru memillih menggedor-gedor jendela.
Ia konsisten memakai outer bergaris coklat dan hitam seperti ngab-ngab kebudayaan versi betulan (bukan becandaan seperti yang sering Farid lontarkan kepada saya), memakai totebag yang isinya mungkin alat-alat pahat dan sebuah buku. Nyentrik.
Di kamarnya di Gesmani, Tama menggambar temboknya dengan pemandangan pantai sore hari. Sampai di sini saya mengira, dia anak indie. Saya juga ingat betul lampunya ia lapisi dengan kapas yang membuatnya terlihat jadi seperti awan. Ikan dan bonsai. Patung Cupatkai dan dupa yang dibakar.
Kadang ia melinting bakau dengan daun kawung, membuat mulutnya beraroma kayu dari sebuah hutan di Kalimantan, dan itu hal yang baik yang sampai saat ini bisa saya ingat setelah 8 tahun mengenalnya. Gak ada satu pun kesalahan yang layak ia tebus kecuali mencekoki saya ramuan pala yang bikin saya pingsan 2 hari dan dilempar Tupperware sama Koko saya.
Yang saya tahu, ia tidak terlalu menyukai kucing kecuali Wungu. Seekor kucing yang buntutnya ia warnai dengan pewarna rambut kemasan 8ribuan. Yang jelas, dosa besar Tama yang saya ingat adalah ia mendadar sebuah telur curian dan ikan dari sungai Pak Wawan.
Jika beruntung, saya akan melihat Tama menyalakan proyektor pinjaman yang dipakai menonton Avatar Korra atau bermain Ragnarok sambil minum Wiscar atau Chaai, pelopor Thai Tea no. 1 di Jatinangor.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat atas kelahiran anak pertamanya, Ke.Ruh. Tentu mengandung nama yang dekat dengan hal-hal batiniah yang selama ini melekat padanya. Ketika saya membacanya, saya membayangkan sebuah tempat yang saya tidak pernah tahu. Di tempat itu, Tama adalah satu-satunya yang hidup. Menangkap kata entah dari apa.
Terus berkarya ya, Tamtam. Mungkin gak mudah memahami Tama, tapi untuk kamu yang berminat menyelami dunianya boleh pesan di sini