Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual selalu menjadi topik diskusi yang hangat khususnya si kalangan mahasiswa dan akademisi.
Seorang dosen di salah satu perguruan tinggi agama islam mengatakan dalam sebuah seminar, bahwa sebenarnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya tidak urgen-urgen amat untuk masyarakat.
Menurutnya, salah satu dari banyak masalah pada RUU ini terletak pada BAB VII Pasal 11 tidak mencantumkan “zina” (hubungan seksual di luar nikah walaupun atas dasar suka sama suka) sebagai kekerasan seksual yang dapat dihuk um secara pidana.
“Nanti bahaya kalau sampai RUU ini disahkan, bisa-bisa orang yang zina malah keenakan, izinnya sih nugas di kosan, nggak tahunya malah mantap-mantap, Tapi ya nggak tahu deh, Allah kan maha melihat ya..” katanya, sambil disambut tawa oleh peserta seminar yang didominasi oleh para mahasiswa.
Saya terhenyak, hampir tersedak air aqua gelas yang isinya hampir habis.
Kita semua tahu kalau Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, dan islam tentu sangat melarang umatnya untuk melakukan zina. Masa kalian mendukung RUU yang malah menjerumuskan umatnya ke perbuatan dosa. Begitu katanya.
Lha, apa iya intisari dari pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sesempit itu?
Saya menghela napas lumayan panjang, mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut dosen tersebut.
Padahal, narasumber bisa saja menjelaskan hal lain yang lebih penting dan berisi, kalaupun harus membahas bagian tersebut ya jelaskan dengan pemaparan yang substansif, bukannya malah terkesan kayak tetangga yang sedang nggosip-nggosip manja. Hadeh.
Contohnya, pentingnya membangun kesadaran untuk melawan kekerasan seksual, melihat angka kasus kekerasan seksual bertambah setiap harinya. Dalam catatan Komnas Perempuan, selama 2019 saja, angka kekerasan yang dialami perempuan, sebanyak 4.898 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Namun dari kasus yang diadukan, hanya 29 persen yang diproses kepolisian.
Bulan April lalu, media sosial dan publik digegerkan oleh utas yang bertebaran terkait kekerasan seksual di kampus yang dilakukan oleh Ibrahim Malik alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang ternyata berstatus sebagai pelaku.
Jumlah korban dari Ibrahim Malik ini, yang tercatat berjumlah tiga puluh orang. Tiga puluh orang! Sementara kasusnya sampai saat ini belum diusut tuntas, pelaku masih bebas berkeliaran sementara para korban sedang berjuang melawan trauma.
Lalu, jika mundur lagi di bulan Mei, kasus serupa yang dilakukan oleh dosen juga terjadi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang. Korban meminta perlindungan kepada dosen lain tapi yang ia dapatkan malah melakukan victim blaming dan pembelaan terhadap pelaku kekerasan.
Faktanya, kasus-kasus kekerasan di ranah pendidikan masih menjadi fenomena gunung es yang belum jelas penanganan kasusnya sampai tuntas. selain diancam rasa takut dan khawatir oleh para pelaku yang memegang kuasa di perguruan tinggi, tidak semua korban punya keberanian untuk melapor ke kepolisian, komnas perempuan atau lembaga advokasi pendampingan kekerasan seksual.
Dilansir oleh Tirto.id, dalam penelitiannya yang bertajuk #NamaBaikKampus menjelaskan bahwa ada 107 dari 207 testimoni yang didalamnya masuk kategori kekerasan seksual di kampus. Kasus-kasus kekerasan seksual tersebut tidak hanya terjadi di ruang internal kampus saja, melainkan terjadi di luar kampus seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), Magang atau acara-acara kemahasiswaan.
Begitupun bentuk-bentuk kekerasan yang diterima korban bermacam-macam, sebanyak 129 penyintas menyatakan pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan. Data-data tersebut terus dikumpulkan sebagai bukti bahwa RUU P-KS sangat darurat disahkan, karena bagaimanapun, institusi pendidikan mestinya menjadi ruang aman dan nyaman untuk belajar.
Kolektif Jaringan Muda Setara yang diinisiasi oleh gabungan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia kerap mengadakan diskusi dan aksi perihal SOP atau pedoman untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual agar dapat tersebar secara merata di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Di sebuah kampus, saya pernah menjumpai salah satu lembaga Pers Mahasiswa (PERSMA) untuk mendiskusikan penanganan korban kekerasan yang ingin speak up tentang apa yang dialaminya, dan bagaimana cara mereka bertindak sebagai pusat informasi dan ‘penyambung lidah’ antara dosen dan mahasiswa, tapi yang saya dapatkan ternyata kalimat-kalimat putus asa dan ketakutan akan ancaman dari dosen yang bersangkutan jika benar-benar kasus itu terjadi.
“Saya takut di drop out, apalagi sudah semester tujuh, tanggung kan..”
Saya meringis dan berandai-andai. Seandainya SOP penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi ditangani dengan serius oleh Kementrian Pendidikan. Seandainya RUU P-KS disahkan. Maka untuk mencapai rasa aman dan nyaman tak perlu didahului rasa takut karena ancaman.
Sampai kapan kita bisa terus berandai-andai, sedang gunung es ini terus menjulang.