“Hidup Perempuan Indonesia!”
Begitu teriak beberapa mahasiswa laki-laki saat berorasi di aksi tolak UU Cipta Kerja yang lalu. Tentu saja tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut, namun aneh rasanya ketika banyak organisasi mahasiswa yang mengaungkan kalimat Hidup Perempuan Indonesia di pangggung oraasi yang ramai begitu, tapi di saat yang lain, enggan membahas isu-isu perempuan dalam diskusi. Bobor begitu, bahkan dalam kerja organisasi sehari-hari saja, perempuan terasa tidak punya tempoat untuk diajak bicara.
Seperti kejadian yang menimpa temanku saat ia mencoba membicarakan pengalaman personalnya sebagai perempuan di sebuah rapat organisasi, alih-alih didengar temanku malah “terlalu baperan” begitu katanya hadeeeuh.
Respon macem apa itu? Padahal dengan membicarakan pengalamannya temanku berharap bahwa organisasi yang diikutinya peka terhadap isu perempuan.
Lain lagi dalam sebuah konsolidasi untuk aksi tolak UU CIPTA KERJA, aku mencoba mengutarakan pandanganku terkait urgensi pengesahan RUU P-KS namun sayang belum selesai bicara, seseorang menghentikanku dengan alasan pembahasanku terlalu melebar. Saya bahkan belum selesai bicara. Mansplaining? Oh tentu.
Ini adalah cerminan sikap abai terhadap pengalaman perempuan yang sehari-hari rentan terkena kekerasan seksual. Bahkan di dalam kehidupoan organisasi. Tidak bisa dipungkiri hal serupa sering terjai didalam rapat organisasi, atau forum diskusi. Seminimal-minimalnya ya itu tadi: suara perewmpuan dipandang tidak pernah lebih krusial dari yang lain. Padahal hampir pada setiap isu sosial masyarakat, posisi perempuan selalu berada di posisi yang rawan.
Mengajukan pembicaraan perempuan dalam konstruksi pemahaman gender yang kadung busuk dan mengakar di mana-mana memang tidak mudah. Bahlkan dalam organisasi mahasiswa yang cenderung lebih terpelajar.
Terlalu banyak mitos-mitos yang secara terus menerus direproduksi. Misalkan perempuan dianggap lemah, kurang pintar, tidak memiliki daya kritis. Semua inilah pangkal dari munculnya ketidakadilan gender di mana-mana. Termasuk di organisasi kemahasiswaan.
Ya gimana mau krirtis, kalau setiap bicara sedikit saja, malah di-cut dan dibilang baperan?
Pengalaman sosial dan individual yang secara khusus dialami oleh banyak perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan beban ganda, pengalaman-pengalaman tersebut sering sekali lup[ut dilihatr dan diakui. Padahal itu semua adalah bekal reflektif untuk melihat apa artinya menjadi warga yang selalu berada di posisi yang terpinggirkan.
Meski banyak organisasi mahasiswa yang teriak-teriak HIDUP PEREMPUAN INDONESIA kita tidak bisa menutup mata bahwa tak banyak organisasi mahasiswa yang benar-benar peduli terhadap isu perempuan.
Ketika perempuan mencoba membicarakan pengalaman ketubuhan dan pikirannya, jangankan diberi respons, didengar pun tidak.
Pengalaman perempuan sering kali dihilangkan, tidak diakui dan dianggap tidak revelan. Faktanya pengalaman bagi perempuan adalah sumber kekuatan untuk menjadi berdaya. Pengalaman perempuan berasal dari kesadaran perempuan dan dilihat sebagai gerakan politik. Apa yang dialami perempuan adalah politis. Bukankah semua asas perjuangan berangkat dari pertanyaan, kegelisahan, pengalaman dan kemarahan.
Jadi, tolong berghenti membungkam kami dengan “baperan”. Coba katakan itu pada ibumu, kalau berani.
Sampai hari ini organisasi mahasiswa masih kental akan maskulinitas. Tujuan politik yang diperjuangkan pun hanya menyangkut hajat laki-laki saja. Isu perempuan tidak tersuarakan.
Seringkali perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sebab suara-suara perempuan yang berangkat dari pengalaman personal tidak diakui. Akibatnya terjadi peraturan-peraturan yang bias gender, dan membungkam hak kritik perempuan.
Perlu dicatat bahwa upaya pemberian ruang aman dan nyaman bagi perempuan tidak hanya dengan membuatkan divisi khusus perempuan yang justru meminggirkan perempuan, kita juga harus bisa membuka mata dan hati, membuka ruang partisipasi perempuan dengan mendengar pengalaman personal perempuan. Dengan begitu kita akan paham situasi dan permasalahan yang dihadapi perempuan.
Jadi, sudah jelas yaaa kalau pengalaman bagi perempuan adalah sumber penguatan dan inspirasi bagi sesama perempuan untuk berdaya. Teriak-teriak HIDUP PEREMPUAN INDONESIA saja tidak cukup kalo masih meremehkan pengalaman perempuan.
Jadi stop bilang baperan pada perempuan, dan berdiskusilah dengan cara yang lebih pintar dan terhormat!