Di tengah pameran International Women’s Day yang cukup membuat haru, menangys, dan encok dikit, saya juga harus membagi waktu dan pikiran dengan 3 kasus yang masuk dalam 2 minggu ke kanal Nyimpang dan ke pribadi saya bulan ini.
Lelah banget, tapi saya ingat dulu saya berjuang sendirian dengan gagah dan rada cengeng, tapi yang jelas: saya tahu betapa menyakitkan menjadi korban dan tidak memiliki siapa-siapa di samping saya. Saya akhirnya merilis Jayanti dan mempublikasikan keberpihakan saya terhadap korban pelecehan dan KS: mulai dari membuat kategori #MeToo, speak up kasus saya sendiri, dan sejak saat itu mulai banyak DM dari teman-teman ataupun strangers penyintas. Saya gak peduli mau dibilang SJW atau anything, sejak dulu saya sudah gak peduli omongan orang lain terhadap saya. Semua orang berhak menilai saya, dan yang jelas, saya gak akan peduli omongan orang yang gak ikut berproses sama saya, dan saya aminin weh jadi Social Justice Warrior karena kayaknya lebih susah jadi Ninja Warrior gak sih? He33x.
Kisah demi kisah masuk ke DM, ada yang cuma minta ditemenin, ada yang minta dibaca doang, dan saya selalu tanya “Apa yang bisa aku bantu?” tentu jha. Sebab saya juga kalau cerita sama Neng Ina kadang suka ingin dibeliin Honeypop aja setelahnya.
Saya kemudian menjadi aktif mengonten juga, meskipun banyak juga dihujat dan menuai konflik, tapi selama saya tidak salah tentu jha saya tetap menulis, mengonten, dan fafifu lainnya. Sebab sa tidak akan membiarkan siapapun menghalangi saya sekalipun itu senior saya yang marah-marah di grup Para Penyimpang!
Lambat laun, sebagey mbak-mbak SJW yang akun IGnya dibuka ini, tiba-tiba muncul DM dari orang yang entah saya gak kenal. Intinya beberapa kali suka balas story, balas postingan. Ada satu waktu saya postingin soal tektek bengek pelecehan kolektif akar rumput, blio langsung respons begini.
Saya tipe yang “Ya udah setuju/enggaknya lu sama gue ya lu jadiin tulisan lagi, lah. Biar argumen dibalas argumen, kalau lu tidak sanggup ya udah berarti lu tidak sepandai itu dalam menulis, dan tidak seberani itu mengungkap isi pikiran lo. Simple.”
Dan ketika dia DM saya, saya rasa dia hanya caper dan buat saya gelagatnya seperti sedang mencari persetujuan, teman, atau validasi bahwa dia “baik”. Tapi kan saya tidak butuh komentar pendek di DM. Kalau memang mau diskusi, dibikin tulisan juga, dong. Lagipula, pembacaan dia terhadap tulisan saya juga cetek. Saya scroll lah profilnya, muncul satu puisi yang saru dan gak bikin saya nyaman membacanya.
Oh mungkin itu cuma perasaan saya aja kali. Toh, beberapa penulis memang banyak yang saru juga.
Saya baca lagi DM dia yang sebenarnya melenceng dari topik
“Oh dia gak setuju sama cancel culture dan praktik cuci tangan. Hm ok.” kata guel teh dalam hati
Di pembacaan saya yang terakhir, saya punya kecurigaan dia ada hubungannya dengan “pelaku” atau bahkan mungkin dia pelaku menjelma mas-mas kiri atau mas-mas penyair.
Selang 1 minggu kurang, seorang teman mengirimkan pernyataan sikap dari kolektif media yang mewadahi tulisan-tulisan pelaku. Oooh giiitu. Sebab aneh, sih. Pasalnya, saya yakin banget sama you’ll never understand until it happens to you.
Dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini, saya gak yakin semua orang akan mampu memaafkan kalau anak perempuannya (atau laki-laki), saudara perempuannya (atau laki-laki), ibunya, atau pasangannya jadi korban. Coba tanya lagi dalam hati kalian masing-masing. Emangnya bisa maafin pelaku dan membiarkan pelaku lolos begitu saja kalau itu terjadi sama anak kalian? Akan cukup permintaan maaf, kah? saya rasa tidak. Kalau iya, yakin kamu sudah benar-benar memaafkannya?
Argumen mentah seperti hal-hal di atas sangat mungkin untuk saya (dan kita semua) patahkan. Sejak kapan pernyataan sikap menjadi praktik cuci tangan? memangnya kesalahan itu dilakukan pelaku secara kolektif, gitu? kalau iya, bolehlah disebut cuci tangan dan kamu bisa berbicara soal hal itu. Lah wong kamu ngelecehin orang aja sendiri, kan. Merasa gagah dengan diri sendiri, ngarasa aing yeuh. Terus kenapa pernyataan sikap jadi praktik cuci tangan? yang salah kan sia sorangan!
Gini, ya. Saya paham gak semua orang teredukasi dengan baik soal harassment and abuse, tapi untuk seorang yang katanya ‘penulis’ ‘kontributor’ ‘mas-mas anarko’ yang Bakunin banget ini, seriously? kamu memilih menyebut “praktik cuci tangan” untuk orang yang menolak berdiri bersama kamu sebagai pelaku? playing victim jenis baru atau apa ini tuh? IQ dengkul.
Terus kamu mau apa? Mau dibimbing dengan baik gitu? dibilang pelan-pelan,
“Hei, itu tuh salah. Kamu gak boleh gitu lagi, ya.”
“Oh iya kamu kan lagi mabok, gakpapa kok kan gak sadar.”
Lah? lantas apa guna selama ini baca? apa guna selama ini diskusi dan aktif di kolektif? nyari tenar? nyari tampang? nyari korban? untuk apa?
Terus kamu berharap apa? berharap dilindungi kolektif? berharap dimaklumi kolektif? ya bisa, kalau kolektifmu sama-sama ada di pihak kamu. Kalau kolektifmu sadar soal pelecehan dan kekerasan seksual ya gak akan berupaya melindungi kamu dan menihilkan perasaan korban.