Setiap masa akhir tahun, seperti bulan ini, kamus-kamus besar (entah itu yang diinisiasi penerbitan swasta maupun universitas dan negara) mengumumkan pilihan kata tahun ini, atau biasa disebut Word of The Year.
Alasan dari kamus-kamus tersebut menobatkan Word of The Year-nya juga bermacam-macam. Ada yang karena hasil voting, atau oleh mereka kata tersebut dianggap merepresentasikan tahunnya.
Trend Word of The Year yang sudah ada sejak satu dekade terakhir ini menarik buat saya. Karena sedikit banyak memberikan petunjuk bagaimana membaca zeitgeist alias semangat (kalau bukan keresahan) zamannya. Minimal dalam rentang waktu tertentu dan hanya secara garis besarnya.
Rasanya masuk akal jika pengalaman setiap orang, meski beda-beda, tetaplah memiliki kesamaan di level tertentu. Misalnya pas masa pandemi, kebanyakan kita tak bisa leluasa keluar rumah. Tapi yang beda adalah kafe pertama dan kedua saya gulung tikar, sementara teman saya cuan ratusan juta dari bisnis ikan cupang. Fuck pandemi!
Dictionary.com nyebut, trend Word of The Year yang dilakukan kamus-kamus ini berfungsi sebagai kapsul waktu linguistik. Karena kata-kata pilihan ini dinilai mencerminkan tren sosial dan peristiwa global yang mendefinisikan tahun tersebut. Jadi bukan hanya tentang penggunaannya yang populer, tapi juga kata pilihan itu sendiri, sejatinya mengungkapkan cerita tentang diri kita sendiri dan bagaimana perubahan kita sepanjang tahun.
Selain itu bagi saya, menyimpulkan kondisi mental 2024 dari Word of The Year lebih sederhana dan mudah daripada nunggu Youtube Wrapped atau konten-konten 2024 Viral Core. Agaknya saya mulai tak sanggup menampung lebih banyak info trend-trend viral internet, untuk kemudian menarik satu kesimpulan besar yang generik dan berulang-ulang, seperti: ORANG INDONESIA GILANYA GAK HABIS-HABIS.
Selain itu dorongan menulis refleksi tahunan berdasarkan Word of The Yearo sudah menggantikan tradisi tulis–umumkan-lupakan resolusi tahun baru saya. Soalnya secara pribadi, entah karena umur, atau memang sedang trend-nya, saya merasa perlu mendiskripsikan tahun ini tahun apa. Sebagaimana istilah Tahun Gajah atau Tahun Kesedihan, dan semacamnya.
Barangkali karena membuat target pencapaian-pencapaian eksternal rasanya semakin sepele daripada menalar dengan mendalam dan sadar, dari bagaimana tahun ini dan tahun-tahun lalu, untuk kemudian membuat refleksi kecil tahun selanjutnya.
Btw, kalau kamu punya waktu, cobalah cek list Word of The Year sejak 2018. Coba simpulkan tahun-tahun itu sedang membentuk cerita diri kita yang seperti apa?
So, let’s dive in…
Sebelum kita masuk pada kata favorit saya dari sekian kata tahun 2024 ini, saya paparkan dulu dari yang kamus-kamus yang lain.
Pertama, “demure”. Istilah ini terpilih sebagai Word of the Year 2024 versi Dictionary.com. Kata ini dipilih karena banyak yang pakai di 2024. Secara historis, kata ini digunakan untuk menggambarkan perilaku sopan dan tertutup. Menurut leksikografer mereka, keputusan memilih kata ini berdasarkan analisis dari sejumlah besar data yang masuk dari media berita mainsteam, tren di media sosial, hasil mesin pencari di Amerika Serikat. Kata “demure” naik pesat pada tahun 2024 disebabkan oleh popularisasi frasa “very demure, very mindful” oleh TikToker Jools Lebron.
Kalau kata saya mah, ini juga cerminan dari lamunan kita yang pengen idup tenang dan bisa menempatkan diri. Apakah kita makin pandai dalam dua hal tersebut? Tentu ja tidak. Wkwk!
Kedua dari KBBI, “kesehatan mental”. Tahun lalu Badan Bahasa menobatkan “milenial”, yang ironisnya adalah istilah yang paling sering digunakan dengan cara salah oleh semua orang dinas Purwakarta dalam sambutannya. Oh ya, tahun 2023 adalah tahun di mana saya mau-maunya mendengarkan orang-orang dinas memberikan sambutan, hanya untuk membuktikan kalau mereka menyebut kata “milenial” dengan konteks yang keliru. Agaknya mereka mengira milenium dan milenial adalah term yang sama. Ketololan yang umum agaknya.
Ngomong-ngomong alasan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) menetapkan “kesehatan mental” menjadi Kata Tahun 2024 ini, sebagaimana Aminudin Aziz sebutkan, “Karena banyak dicari pengguna Bahasa Indonesia sepanjang 2024 ini.”
Apakah ini makin membuktikan warganet kita tak pernah sembuh dari stres mereka sejak masa Pilpres 2019? Wallahua’lam.
Ketiga, “polarization,” oleh Miriam Webster. Pemilihan “polarization” sebagai Word of the Year 2024 disebut mencerminkan kondisi sosial dan politik di Amerika Serikat, terutama setelah pemilihan presiden kemarin. Trump, musuh kaum Libertarian Kiri itu menang lagi. Orang Amerika nyatanya tidak sepintar Indonesia. Minimal presiden pilihan kita mah bisa joget.
Istilah ini juga mengalami peningkatan signifikan dalam pencarian di situs Merriam-Webster setahun ini. Dengan memilih “polarization” sebagai Word of the Year 2024, Merriam-Webster agaknya menyoroti kondisi nyata yang dihadapi masyarakat (Amerika).
Ketiga, ini favorit saya, “brain rot,” atau “pembusukan otak.” Istilah ini terpilih sebagai Word of the Year 2024 versi Oxford Dictionary. Istilah ini menggambarkan penurunan kemampuan intelektual dan kondisi mental akibat konsumsi konten-konten tolol di media sosial. Istilah ini mendapatkan voting suara yang dominan dari lebih dari 37 ribu orang di seluruh dunia.
Pertanyaan saya, pornhub medsos bukan, sih? Oke, abaikan saja.
Dari semua semua kata yang mendapatkan sebutan Word of The Year 2024 ini, saya merasa cuma “brain rot” lah yang paling relate secara personal.
Mungkin kata ini harus dicetak dan ditempel besar-besar di meja belajar. Meski tidak harus literally brain rot, pembusukan otak. Sticker-nya mungkin akan terdengar lebih tegas dan mengingatkan kita pada kejadian terviral di 2024 ini. “JANGAN GOBLOK!” Gitu. Sehingga tiap kali ada notif Instagram dan Tiktok saya langsung istighfar. Mantap jiwa!
Demi menutup tulisan ini, izinkan saya ngomong lebih panjang.
Dari semua Word of The Year 2024 ini, mungkin kita ambil beberapa pelajaran. Mulai dari “kesehatan mental” sampai “brain rot” itu sendiri. Bukan sekadar tahu bahwa itu semua fenomena kebahasaan, tapi juga clue untuk membaca kondisi mental tahun 2024 kita. Edas!
Poinnya adalah kita paham, tanpa sadar kita telah kehilangan kemampuan kontrol waktu dan energi saat bermedia sosial. Mungkin karena itulah saya sering menangkap nada-nada kecemasan setiap kali mendengar orang bicara, bahkan ketika saya sendiri bicara. Seakan-akan gak ada kabar seneng yang bisa kita dengar dari orang. Kalau bukan gosip, fitnah, atau keluhan melulu.
Mungkin begitulah puncak gunung es kesehatan mental kita, tercermin dari relasi-relasi hubungan sosial dan topik-topik pembicaraan kita. Orang bukan cuma mengatakan hal-hal bodoh, tapi juga melakukan hal-hal yang tak kalah bodohnya.
Dan yang paling membingungkan dari itu semua, saya merasa perlu berdamai dalam diam jika ternyata setiap relasi antar manusia yang tulus dan penuh empati, hanya akan makin sulit.
Lah, kok muram gini? 🙁