Korban relasi kuasa medis membutuhkan keadilan.
Kasus Pemerkosaan di Rumah Sakit, Siapa yang “Sakit”?

Akhir-akhir ini, mata dan telinga kita dipenuhi oleh kabar yang menyayat hati—seorang anak pasien menjadi korban pemerkosaan oleh tersangka dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Unpad, Priguna Anugrah Pratama.
Kejadiannya berlangsung saat sang ayah korban baru saja selesai operasi dan membutuhkan donor darah. Di tengah situasi genting itu, dokter yang seharusnya memberi bantuan justru memanipulasi korban.
Dokter tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 23 Maret 2025, dan proses hukumnya masih berlangsung. Korban masih menanti keadilan, sementara publik tak henti-hentinya menuntut kepastian.
Kabar ini terasa mengejutkan sekaligus menyedihkan. Dunia medis selama ini dipersepsikan seperti tembok putih rumah sakit—bersih, steril, dan tak bercela. Namun, kenyataannya tak selalu demikian. Dunia medis juga menyimpan sisi gelap yang jarang terungkap. Kasus kekerasan seksual ini membuka mata kita tentang betapa berbahayanya praktik relasi kuasa.
Kronologi Kasus Pemerkosaan
Seorang anak perempuan sedang menemani ayahnya yang baru saja menjalani operasi di ruang ICU. Dalam situasi kritis itu, sang ayah membutuhkan donor darah. Seorang dokter PPDS dari Unpad kemudian menawarkan bantuan untuk melakukan crossmatch—uji kecocokan darah—kepada anak pasien, dengan janji tahapannya lebih lekas tuntas.
Korban lalu dibawa ke lantai 7 gedung MCHC RS Hasan Sadikin, Bandung, sekitar pukul 01:00 WIB, 18 Maret 2025. Itu adalah sebuah ruang kosong yang disebut belum digunakan. Di sana, ia diminta mengganti pakaian dengan baju pasien dan disuntik zat midazolam: sejenis obat bius. Lalu pelaku memperkosa korban ketika ia sedang tidak sadarkan diri.
Korban baru tersadar sekitar pukul 4–5 pagi. Ia merasakan nyeri di dua bagian: tangan dan area vitalnya. Ia kemudian meminta visum kepada dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Dari hasil visum terungkap adanya bukti pemerkosaan, termasuk temuan bekas sperma.
Setelah informasi ini menyebar melalui media sosial seperti X, Instagram, dan WhatsApp, gelombang kemarahan publik pun muncul. Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat aman justru menimbulkan trauma berkepanjangan bagi perempuan.
Merespons hal ini, Unpad akhirnya memberhentikan pelaku dari program PPDS. Sebagai institusi pendidikan, Unpad menyadari bahwa pelaku bukan hanya melanggar kode etik profesi, tapi juga dianggap telah menyalahi hukum pidana.
Memahami Relasi Kuasa: Ketika Kepercayaan Medis Disalahgunakan
Relasi antara pelaku dan korban tidak bisa dilepaskan dari konsep yang disebut relasi kuasa. Menurut laman igi-global.com, relasi kuasa adalah hubungan di mana satu pihak memiliki posisi atau otoritas yang memungkinkan mereka memengaruhi pihak lain—baik secara paksa maupun manipulatif.
Dalam kasus ini, kekerasan seksual terjadi melalui manipulasi emosional. Pelaku memanfaatkan situasi darurat dan menyamar sebagai sosok penyelamat. Korban, yang tengah cemas dan panik karena kondisi ayahnya, berada dalam posisi rentan dan akhirnya percaya begitu saja pada pelaku.
Persepsi umum tentang dokter pun turut berperan. Dokter dipandang sebagai orang yang punya pengetahuan, keahlian, dan kuasa untuk menyelamatkan hidup. Karena itu, kata-katanya sering dianggap kebenaran dan tindakannya jarang dipertanyakan.
Relasi kuasa ini yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk mendominasi dan menguasai korban secara sewenang-wenang.
Inilah potret relasi kuasa yang bekerja dalam dunia medis. Di balik seragam dan jargon medis, ada potensi dominasi yang jika disalahgunakan, bisa mengakibatkan kerusakan yang sangat dalam.
Ketidaktahuan dan kerentanan keluarga pasien bisa dimanfaatkan untuk melakukan manipulasi, pelecehan, hingga kekerasan seksual.
Sumber dari relasi kuasa ini tak hanya berasal dari pengetahuan atau jabatan, tapi juga dari pengakuan sosial yang terlalu besar dan sikap permisif dari lingkungan sekitar.
Mengakui Relasi Kuasa dan Mencari Jalan Keluar
Relasi kuasa memang nyata adanya. Ia hidup di sekitar kita, melekat pada orang-orang yang diberi jabatan, peran, kewenangan, atau kekuasaan oleh negara maupun lembaga tertentu untuk menjalankan tugas. Dalam praktiknya, kekuasaan ini bisa berubah arah: bukan sebagai mandat untuk melayani, tapi sebagai alat untuk mengeksploitasi orang lain demi kepentingan pribadi.
Menurut Carl Jung, langkah pertama untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengakuinya. Jadi, begitu kita sadar bahwa relasi kuasa bisa membahayakan jika disalahgunakan, kita tidak bisa berhenti sampai di situ. Masih ada langkah berikutnya: mengatasi permasalahan yang ada.
Seperti yang dikatakan Lord Acton, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut,” maka perlu ada mekanisme yang jelas dan tegas dari mulai mengawasi, mencegah, menghukum, dan memastikan kekerasan seksual tidak dinormalisasi di ruang-ruang profesional, termasuk di dunia medis.
Pencegahan ini seharusnya bisa terdeteksi sejak awal. Misalnya, melalui tes psikologis yang lebih komprehensif untuk para calon Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Mereka bukan hanya akan menangani penyakit, tapi juga membawa nyawa orang lain di tangan mereka dengan tetap menghormati otoritas tubuh seseorang.
Dari laporan yang kami terima, pelaku ternyata memiliki fetish misoginis dan ini bukan pertama kalinya ia melakukan kekerasan seksual—totalnya sudah tiga kali, menurut informasi terbaru. Ini menandakan bahwa pengawasan di rumah sakit itu sangat rendah, padahal ada petugas security dan perangkat CCTV. Mestinya pihak rumah sakit bisa mempergunakan segala sumber daya yang ada dengan sigap.
Sementara itu, penindakan harus dilakukan secara tegas. Karena apa yang dilakukan pelaku bukan tindakan spontan, tapi sudah direncanakan, dilakukan berulang, dan dilakukan dalam situasi yang sangat rentan.
Hukuman maksimal sepatutnya jadi pertimbangan utama. Sebab pelaku jelas tidak menunjukkan penyesalan atau kemauan untuk berubah. Maka, demi korban dan demi keadilan, tak ada alasan untuk memberi ruang toleransi terhadap kekerasan seperti ini.
Leave a Comment