Hakim pernah memvonis Jessica Wongso selama dua puluh tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin dengan cara memberikan kopi yang telah dicampur dengan sianida kepada yang bersangkutan.[1]
Tentu hal ini bukanlah tanpa sebab. Ada niatan tertentu dalam tindakannya.
Ada waktu, tempat, tahapan, racun dan kopi beserta takarannya, dan suasana batin tertentu yang ia bangun untuk melancarkan aksinya agar berjalan mulus sampai tujuan. Ini adalah jenis kejahatan yang diniatkan dengan sangat baik.
Hal yang mendasari Jessica melakukan pembunuhan berencana tersebut adalah karena pelaku sakit hati dengan perilaku dan perkataan Mirna (mantan sahabatnya itu) yang mendesak Jessica untuk putus dari pacarnya yang suka main kekerasan dan memakai narkoba – bilang bahwa pacarnya itu “Tidak baik” dan “Tidak modal.”[2]
Walaupun vonis hakim itu berat yaitu 20 tahun penjara, Jessica akhirnya bisa bebas bersyarat setelah menjalani masa hukuman selama 8,5 tahun di Lapas.[3]
Bebas bersyarat ini artinya walaupun ia bebas, ia tetap terikat wajib lapor sampai dengan tahun 2032 untuk memastikan bahwa terpidana yang bebas tetap diawasi dan dapat membuktikan dirinya bertanggungjawab.
Jessica mendapatkan kesempatan bebas bersyarat ini dari remisi. Remisi sendiri adalah pengurangan jumlah hukuman pidana karena berkelakuan baik. Menurut Otto Hasibuan (pengacara Jessica), kelakuan baik Jessica sendiri adalah mendidik skill berbahasa Inggris, & olahraga yoga, serta membuat berbagai keterampilan seni.[4]
Hal ini menandakan bahwa selama menjalani masa hukumannya, Jessica memang berkomitmen untuk berubah menjadi orang yang lebih bisa diterima masyarakat. Selama 8,5 tahun ia konsisten dalam membaktikan dirinya dengan hal-hal seperti itu.
Dasar hukum mengenai remisi dan pembebasan bersyarat terdapat dalam pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 yang mengatur sebagai berikut:
- Bahwa semua narapidana memiliki hak atas remisi dan pembebasan bersyarat;
- Hal-hal tersebut mesti berguna bagi narapidana;
- Dengan mengindahkan kebutuhan pembinaan, keselamatan, keteraturan, dan rasa keadilan masyarakat.
Bebasnya Jessica: Sinyal Matinya Teori Pembalasan
Supaya keadaan di masyarakat itu bisa damai, tertib, dan stabil, maka perlu adanya hukum pidana yang berguna untuk mengatur apa saja tindakan yang termasuk kejahatan, mekanisme pencegahan kejahatan, dan sanksi kejahatan. Dari sinilah dapat muncul rasa aman dan rasa percaya.
Pada awalnya hukum pidana itu didominasi oleh teori pembalasan. Eddy O. S. Hiariej (2016) memandang bahwa teori pembalasan adalah teori hukum pidana yang punya tujuan hanya untuk menyakiti si penjahat. Jadi dalam kasus ini hukum pidana direduksi cuma untuk memenuhi hasrat dendam korban atau masyarakat.
Beberapa orang di kolom komentar Instagram masih memegang prinsip ini: menganggap Jessica tidak pantas bebas karena ia pernah membunuh. Menurut netizen hal yang layak baginya adalah penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Pandangan ini tidak mencoba menyelam lebih dalam pada persoalan dendam melahirkan dendam, penjahat seperti Jessica memiliki potensi untuk menjadi lebih baik, dan pembalasan dendam menggunakan instrumen negara memerlukan cost atau ongkos yang besar dari pajak negara yang dibayarkan oleh warga negara.
Upaya saling membalas antar keluarga bisa terjadi dan menimbulkan akibat yang lebih merusak. Jessica kini bisa berkontribusi di masyarakat dari mulai membantu keluarganya dan orang-orang di sekitar (apa yang tadinya potensial bersifat aktual). Apabila Jessica diberi hukuman penjara seumur hidup, maka seumur hidup pula negara mesti membiayai keperluannya dari mulai makanan, minuman, dan obat-obatan yang layak, standar kebersihan minimum, dan perawatan sel penjara.
Bukankah lebih baik uang sebanyak itu dipakai untuk hal lain seperti membiayai orang sakit atau pendidikan seorang anak?
Lalu apabila Jessica dihukum mati, perlu anggaran yang besar untuk para algojo (model hukuman mati Indonesia itu lewat regu tembak), senapan-senapan, dan berbagai peluru. Itu pun kalau benar-benar bersalah. Bukankah ada novum (bukti baru) yang bisa melawan vonis bersalah Jessica?[5]
Bukankah Jessica mengalami riwayat gangguan mental sebelum melakukan pembunuhan berencana?[6] Kalau nggak bersalah dan Jessica dihukum mati iya berarti Hakim, Jaksa, dan para Algojo telah berdosa menghilangkan nyawa orang lain.
Jessica pantas mendapatkan kebebasannya. Karena layaknya setiap orang, ia telah membuktikan bahwa ia bisa berubah menjadi lebih baik. Ia layak diberi kesempatan kedua.
Referensi:
Eddy O. S. Hiariej – Hukum Pidana
Aulia – Terkuak! Motif Jessica Wongso Membunuh Mirna Salihin Menurut Putusan Hakim (Intip Seleb)²,⁶
Tim News – Jessica Wongso Bebas Bersyarat, Ini Kegiatannya Selama di Penjara (Liputan6)³,⁴