Pernah dengar jargon iklan, “Cantik itu putih?” Duh, bagaimana dengan para perempuan berkulit gelap ya, tidak termasuk dalam kategori cantik begitu?
Pemilik kulit putih sering disebut lebih “berseka,” “bersih” dan “elegan.” Sedangkan pemilik kulit gelap sering dikategorikan dalam kelompok “mahluk dekil,” “nggak suka kebersihan,” bahkan “jorok.”
Benarkah ada keterkaitan warna kulit dengan semua itu? Sekarang kita ulik terlebih dahulu. Sejak kapan muncul kategori jadi mahluk cantik itu harus memiliki kulit putih atau terang?
Jika boleh saya berpendapat, hal ini terjadi sejak munculnya iklan produk industri kecantikan yang memunculkan opini bahwa perempuan berkulit terang itu lebih cantik. Sejak bermunculan produk dengan tagline semacam, “Jadikan kulitmu bersinar seperti mutiara.” Padahal mutiara pun ada yang hitam. Haha!
Ditambah opini lain yang menggiring bahwa memiliki kulit terang itu lebih menarik. Bagi seorang perempuan, penampilan fisik tak dipungkiri menjadi sesuatu yang cukup penting.
Tetapi jika lama kelamaan menjadikan standar kulit terang sebagai kategori cantik, yuk, bangun yuk! Kulit orang Indonesia ini seterang-terangnya masih ada di tone kuning langsat. Bukan putih semacam bule atau orang asia timur.
Lantas mengapa begitu terobsesi ingin menjadi putih? Saya pun bukan tak pernah mencoba menjadi putih. Perundungan yang saya dapat karena warna kulit, ditambah serbuan iklan kosmetik yang menggiurkan, membuat saya pernah berusaha mengubah warna kulit.
Kata “dekil” yang sering dilontarkan orang saat melihat saya, lama-lama masuk ke dalam otak, dan ikut membenarkan bahwa kulit gelap itu “dekil” dan saya “jelek.”
Saya kemudian mencoba kosmetik. Meskipun hasil yang saya dapatkan hanya sebatas di wajah dan itu pun kemudian membuat tak nyaman. Bayangkan, saat bercermin saya melihat diri mirip zebra cross. Muka putih, leher, tangan, dan kaki gelap. Haha! Saya merasa sedang menipu diri sendiri.
Selain wajah yang hancur karena lepas dari kosmetik tersebut, saya juga tersadar bahwa meskipun kulit saya gelap, saya tetap rajin mandi bahkan seminggu sekali luluran. Saya tetap mencuci muka, memakai pakaian bersih, memakai parfum, dan menjaga kebersihan badan saya.
Lantas apa hak mereka mengatakan saya “dekil” dan “jorok?” Saya melakukan itu semua bukan untuk mengubah warna kulit. Saya menjaga kebersihan.
Image bahwa kulit terang itu “cantik” bahkan sudah menjadi semacam kasta tertinggi di dunia perempuan. Banyak yang berusaha memperoleh kulit putih, bahkan kini tidak hanya lewat kosmetik saja. Juga lewat trend suntik putih.
My dear, saya paham ketika warna kulit ini menjadi persoalan sejak lama. Kalian boleh kok memakai produk dengan judul mencerahkan. Karena definisi mencerahkan itu hanya meningkatkan kecerahan warna kulit alami kalian.
Sungguh berbeda dengan memutihkan. Kalau masih nekat mau jadi putih dengan jalan memakai kosmetik yang memiliki kandungan berbahaya atau suntik putih? Keputusan memang milik kalian. Tetapi ayo kita renungkan satu hal ini: rasa insecure.
Maraknya ragam produk pemutih abal-abal, sampai suntik putih berbahaya terlahir dari ketidakpercayaan diri dari kita sebagai seorang perempuan. Perempuan ingin cantik? Lumrah, siapa yang tak mau jadi cantik? Tapi ketika harus mengikuti standar tertentu demi ada di kasta tertinggi? Ke mana identitas asli kita?
Bahkan hari ini, sesama perempuan pun dengan mudahnya merundung perempuan lain yang memiliki kulit gelap dengan julukan “Aura maghrib.” Istilah semacam itu menjadi familiar belakangan ini untuk merujuk para perempuan berkulit gelap.
Bahkan sering saya temukan komentar dari sesama perempuan ketika melihat perempuan Indonesia yang menikah dengan orang asing, para komentator itu mengatakan bahwa mereka berwajah seperti pembantu,“Kok mau sama yang kulitnya hitam?”
Nah, ini juga yang mengganjal bagi saya. Tahu detail warna hitam seperti apa? Coba kalian lihat aspal cair, itu hitam. Kalau ada orang yang warna kulitnya tidak seperti aspal cair, itu bukan hitam woi (Ibuk mode tyrex, maafkan). Belajar lagi gih sebelum merundung!
Secara tidak sadar, obsesi untuk memiliki kulit seputih susu menjadi komoditas para pelaku bisnis. Selama kita masih tidak percaya diri dengan warna kulit kita, beragam produk atau treatment dengan janji memutihkan kulit secara instan akan selalu ada.
Sebagai perempuan di usia menuju empat puluh tahun, saya pun menyadari, saya ingin tetap cantik. Tapi saya tidak pernah bermimpi ingin setara dengan Song Hye Kyo. Nggak ada kerutan? Saya juga mau. Nggak ada bintik hitam di wajah? Saya juga mau. Tetapi, ingin seputih Mbak Kyo? No, I love my skin tan.
Sayangku, mari ubah cara berpikir kita. Merawat itu harus tapi tidak dengan mengubah. Glow up itu bukan sekedar mengubah warna kulit. Tapi juga meningkatkan kualitas diri kita.
Mau menjadi cantik tak masalah, tapi yang terpenting cintai terlebih dahulu dirimu. Rawat dengan baik tanpa harus dibelenggu oleh standar kecantikan tertentu.
Kamu bisa menjadi seperti Anggun C. Sasmi yang berprestasi di bidang musik atau, seperti Tara Basro yang punya prestasi menjadi aktris, atau menjadi seperti Halima: model dunia ternama. Mereka semua tidak berkulit putih loh!
Sangat disayangkan jika sampai hari ini kita hanya berkutat dengan urusan memutihkan kulit dan tampilan fisik tanpa memedulikan hal lain.
Merawat diri sebagai bentuk rasa syukur kita boleh, tetapi menjadi perempuan cerdas harus! Yang terpenting, kamu harus menghargai diri kamu terlebih dahulu. Mungkin terdengar klise, tetapi dengan memiliki rasa percaya diri, kalian cantik apapun warna kulitmu. Mari mengejar glow up tidak hanya untuk tampilan fisik, tetapi juga keseluruhan kualitas diri kita sebagai seorang perempuan.
Salam sayang untuk semua perempuan dari emak yang cerewet.