Berbicara Karawang berarti berbicara tentang banyak hal, bukan cuma perkara Bupatinya yang mengundurkan diri dari jabatan buat ke DPR. Bismillah, yuk bisa yuk! Satu dari banyaknya persoalan tersebut terjadi di beberapa bulan lalu yaitu,
Sebagai orang asli Karawang, secara pribadi saya malu mengakui fakta yang disampaikan berita tersebut. Apalagi, pada isi berita terdapat bagian ” … dengan Status Sangat Tidak Sehat.” bikin saya geleng-geleng kepala. Setelah hampir 10 tahun bersekolah dan kuliah di perantauan, akhirnya saya kembali ke Karawang. Sampai saat ini, sudah sekitar 7 bulan saya tinggal di Karawang (lagi)—di rumah orang tua saya.
7 bulan juga cukup bagi saya untuk taaruf dengan kabupaten ini dari banyak sektor. Namun sangat disayangkan, selama proses mengenal kembali tanah kelahiran saya, saya kecewa ketika mendapati kondisi sektor lingkungan Karawang yang tidak baik-baik saja.
Berita yang saya kutip di atas satu diantara contohnya. Kehidupan sehari-hari yang saya amati sendiri memang memperlihatkan demikian. Di samping itu, mungkin saya culture shock dan hanya tidak terbiasa dengan kondisi lingkungan di Karawang, karena lama di perantauan dan terbiasa dengan keadaan di daerah saya merantau. Tapi mari anggap saja tulisan ini, sedikit-banyaknya bentuk keresahan saya terhadap lingkungan Karawang yang tidak baik-baik za. 7 bulan saya mengumpulkan unek-unek saya yang mungkin gak seberapa ini, tapi ya udah lah, baca aja.
Pesona Karawang di mata para pengusaha dan investor gak pernah ada habisnya. Padahal, Kabupaten Karawang adalah Kota Industri yang punya nilai UMR paling tinggi kedua se-Nasional. Kabarnya, Karawang juga merupakan daerah ketiga setelah Jakarta dan Surabaya yang perputaran uangnya cepat dan besar. Mari kita hitung total perusahaan atau industri yang telah berdiri di Karawang!
Pada tahun 2021, total industri dari berbagai sektor di Karawang ada 1.770. Untuk detailnya ada di opendata.karawangkab.go.id. Jika jumlah industri yang bercokol di Karawang segitu banyak, ya saya rasa wajar Karawang jadi Kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan sampai dikatakan
“Kabupaten Karawang memiliki sejuta pesona. Kabupaten ini juga disebut sebagai center point of industry. Bahkan saat ibu kota negara berpindah ke Kalimantan, Karawang dinilai akan tetap menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.” oleh Irvan Maulana.
Ditambah, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Karawang Eka Sanatha mengonfirmasi bahwa Karawang ini daerah industri terbesar, dengan realisasi investasi tertinggi katanya. Nah, lho. Saya malah gak tahu kalau tingkat realisasi investasi itu jadi indikator sebwa kota yang berprestasi.
Membangun perusahaan—atau Industri, termasuk upaya dalam membangun (atau upgrading) sektor perekonomian. Dengan begitu, bukankah kata lain dari predikat “kawasan industri terbesar” dapat dipahami sebagai perkembangan ekonomi Karawang? Sebab tentu jha predikat itu memberi hasil yang tinggi bagi Pemerintah Kabupaten lewat retribusi daerah dan pengelolaan asetnya.
Kemudian sejauh yang saya perhatikan, para pejabat pemerintah sudah menggunakan hasil tersebut dengan semestinya. Jika benar, yang saya herankan kemudian adalah, bila pergerakan sektor ekonomi Karawang ini lebih unggul, mengapa justru hal tersebut tidak berdampak baik pada sektor lingkungan? Saya kira, meningkatnya sektor ekonomi bisa membantu membenahi lingkungan Karawang yang amburadul.
Maksudnya begini, lingkungan Karawang yang tidak baik-baik saja boleh jadi disebabkan oleh kelalaian masyarakat terhadap lingkungan ya sebutlah membuang sampah sembarangan. Namun pada kasus yang lebih besar, Jangan-jangan masalah lingkungan tersebut berangkat dari masyarakat kelas atas, pemilik (sekaligus pelaku) industri atau perusahaan yang banyak mendirikan perusahaannya di Karawang dan teriak-teriak kemajuan sektor ekonomi Karawang tadi.
*
Malik adalah seorang teman dekat saya. Rumahnya di Badami, ia mengatakan, “Orang-orang asing datang dan Badami turut menjadi letak tumbuh kembang perindustrian Karawang. Mobil-mobil pengangkut besar berlalu-lalang membuat jalanan rusak dan semakin banyak kecelakaan lalu-lintas parah seperti pengguna motor yang terlindas truk proyek.”
Malik juga menambahkan “Sebenarnya yang menjadi intinya ialah Jalan Badami-Loji gak boleh dilalui oleh kendaraan dengan berat di atas 8 Ton, karena jalannya termasuk dalam pemukiman milik kampung setempat atau gampangnya ya mana ada jalan kampung dipake lewat mobil tronton sih, ah! dan ini valid sama UU No. 22 Tahun 2009, loh. Ruas Jalan Badami-Loji merupakan jalan kelas III yang hanya boleh dilintasi kendaraan berbobot di bawah 8 Ton.” (Pantura Multiverse: Optimus Prime ke-gap lewat Badami-Loji ).
Jalan di daerah rumahnya Malik ini satu dari beberapa jalan menuju pegunungan Karawang, daerah Loji, yang kini gunung-gunung di sana habis jadi sasaran perusahaan belerang.
Kemudian di Cilamaya, Yuda Febrian Silitonga dalam esainya bercerita, “Jauh dari riuh perayaan (ulang tahun Karawang di pusat kota), bising mesin pengolah gas menggetarkan gendang telinga warga Cilamaya Wetan. Setiap malam bisingnya selalu menghantui tidur para nelayan dan warga sekitar, bergemuruh seperti suara mesin pesawat yang akan take off … Sumber kebisingan itu berwujud raksasa pencipta energi bernama PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) Jawa Satu yang memiliki FSRU (Floating Storage & Regasification Unit) di laut lepas pesisir Utara Karawang.” (Karawang Undercover: Dalam Kepungan Imperialisme Global).
Jelaslah mengapa Karawang menjadi ranking pertama udara paling berpolusi se-Indonesia, sebab, seperti halnya polusi udara di Jakarta yang katanya gara-gara volume kendaraan tinggi ditambah PLTU Suralaya Banten. Apa bedanya dengan Karawang? Dan masih banyak kasus-kasus pencemaran lingkungan lain di tanah kelahiran saya yang disebabkan oleh kehadiran Industri dan Perusahaan. Apalagi industri-industri yang menggerus-ranggas alam. Tentu saja akibatnya sangat cepat mencemari lingkungan.
*
Saya harap, di mata para pengusaha maupun Investor, Karawang bukan hanya tanah yang “subur”. Alangkah baiknya, para pengusaha dan investor menganggap Karawang sebagai tanah kelahiran bagi bisnis, usaha ataupun investasinya yang sedang belajar berdiri dan berjalan; yang tengah bertumbuh besar. Bila tanahnya rusak, kelahiran usaha pun pastinya sia-sia. Nanti malah rugi yang ada. Dengan kesadaran semacam itu, rasa memiliki dan ingin merawat lingkungan pun perlahan-lahan tumbuh. Karena saya percaya para investor atau pemilik perusahaan tidak selamanya egois dan abai pada lingkungan.
Saya pikir, para pemilik Industri, serta investor; begitupula para karyawannya, harus lebih membuka mata lagi, kalau kabupaten tempat perusahaan yang mereka tinggali kini sedang “kotor”. Maka perlu ada sikap peduli dan kemauan merawat atau melestarikan lingkungan Karawang yang jadi tempat perusahaannya berdiri. PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Astra Daihatsu Motor (ADM) bisa jadi panutan dalam hal ini: mendanai pembuatan biopori di desa terdekat dan mulai menggunakan panel surya.
Para pemilik Industri di Karawang, beserta para pekerjannya, seharusnya paham bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi lingkungannya. Toh, tidak akan rugi kalau Industri-industri yang ada di Karawang membantu meningkatkan sektor lingkungan hidup Karawang.
Membuat sumur biopori dan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau Panel Surya dapat menjadi motivasi untuk menumbuhkan lagi inisiatif-inisiatif baru bagi perusahaan lain agar bersedia memperbaiki kondisi lingkungan di Indonesia, khususnya di Karawang. Ada banyak cara atau metode pelestarian lingkungan. Sebanyak industri-industri yang berdiri di Karawang. Akan lebih indah bila seluruh perusahaan di Karawang, memilih metodenya masing-masing untuk melestarikan lingkungan. Bayangkan dampak baik besar seperti apa yang akan terjadi?
Semoga unek-unek saya ini tidak berakhir jadi omong kosong belaka dan berakhir dimarahin editor Nyimpang. Saya sekadar mengamalkan kata-kata W. S. Rendra: Apalah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan. Kiw~