Sesaat setelah mataku terbuka, aku melihat Ibu sedang berbicara dengan seorang perempuan. Perempuan itu menyadari bahwa aku telah membuka mata, kemudian Ibu menyusul, tersenyum, melirik ke arahku. Ibu mengucapkan sesuatu yang tidak kumengerti sambil tangannya mengusap-usap kepalaku. Perempuan itu ikut mengatakan sesuatu yang juga tidak kumengerti. Aku ingin membalasnya, tetapi kepalaku terasa sangat berat.
Aku berusaha bangkit dari tempat tidur meskipun sulitnya minta ampun. Ibu masih berbicara sesuatu yang tidak jelas, sedangkan perempuan itu berdiri di belakang Ibu tetapi tidak mengatakan apa-apa. Kini tangan Ibu menepuk-nepuk tanganku seolah memberikan isyarat agar aku memerhatikannya. Aku sudah memerhatikannya, tetapi kata-kata Ibu masih tidak jelas di telingaku.
Perempuan itu pergi setelah mengatakan sesuatu pada Ibu. Di ruangan itu ada tempat tidur lain beserta gorden berwarna hijau yang mengelilingi setiap tempat tidurnya. Bau obat-obatan sepintas tercium entah dari mana. Ibu masih mengatakan sesuatu yang tidak jelas tetapi kini sambil menangis dan perlahan menggoyang-goyangkan tanganku.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum aku berbaring di tempat ini. Namun, semakin aku mengingat, kepalaku semakin berat. Hanya sekilas yang dapat kutangkap: aku berada di kandang kambing bersama Morpen.
Aku lupa tepatnya kapan, tetapi seingatku, salah satu temanku memperkenalkan Morpen saat aku sedang menangis di toilet sekolah. Kata temanku, Morpen akan membuatku lebih kuat untuk menghadapi masalah. Aku percaya. Jadi, setiap kali aku merasa sedih dan lemah, aku selalu meminta Morpen untuk menemaniku, bahkan sampai hari ini ketika aku sudah cukup dewasa.
Anehnya, Morpen selalu menyetel lagu “Bom Nuklir” dari Kasida Ria jika kami sedang bersama. Ketika lagu berputar, ia akan bertanya, “Siapa orang yang paling kuat di dunia ini?”
“Menurutku tidak ada. Bu Ijah bilang semua orang punya titik lemahnya masing-masing,” jawabku, mengutip guru IPS-ku.
Lalu Morpen akan bertanya lagi, “Apakah kamu tahu seberapa kuat diriku?”
“Tentu saja. Bagiku, kamu ibarat cermin.” Morpen tidak bergeming sebab ia tahu apa yang kukatakan itu sudah pernah kukatakan setiap kali ia bertanya demikian.
Lalu kami hanya menikmati irama lagu yang mengalun sambil sesekali mengobrol soal apa saja yang telah dan akan kami lalui tanpa membahas soal Ibu dan Bapak.
Setiap pulang dari sekolah, seperti biasa, aku hanya leha-leha di kursi ruang tamu dan baru akan bergerak jika Ibu atau Bapak memintaku. Biasanya jam segitu Bapak masih di kebun, asyik ngawangkong bersama kambing dan ayam. Kebun itu sebenarnya bukan milik kami, tetapi semacam tanah kosong yang ditinggalkan pemiliknya berpuluh-puluh tahun lalu. Awalnya, tanah itu dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga setempat, tetapi kemudian Bapak menggarap tanah itu setelah berhenti—atau lebih tepatnya diberhentikan—dari kantor tempat ia bekerja.
Di dapur, Ibu baru memulai ritualnya bergosip bersama panci dan katel yang tak terhitung tambalan pada tubuhnya. Dapur Ibu berisi tungku beserta kompor yang menghitam dimakan zaman, cat dinding ruangan berwarna putih yang mulai kecokelatan dan terkelupas di beberapa bagian, serta barang-barang yang tidak disimpan pada tempatnya. Seperti centong yang tergeletak di atas mejikom, beberapa galon kosong dibiarkan di atas meja makan, atau yang paling ganjil, perkakas milik Bapak bercampur di rak makan.
Sudah lama Ibu dan Bapak seperti orang asing di persimpangan jalan. Tidak pernah terlihat bicara. Namun, belakangan aku merasa lebih baik seperti itu karena jika mereka duduk bersama, selalu ada benda yang terbang. Atau parahnya, akan ada lebam di antara wajah mereka.
Setidaknya ada dua kejadian dahsyat yang kuingat ketika mereka duduk bersama. Pertama, pada suatu siang, terjadi cekcok yang tak berujung membuat Ibu hendak membakar dokumen-dokumen penting milik Bapak di pelataran rumah. Minyak tanah sudah diguyurkan bersama tubuh Ibu.
Ibu memaki-maki sehingga mengundang para tetangga untuk mencegah hal buruk terjadi. Bapak ada di sana hanya berdiri mengucapkan istigfar berkali-kali.
Kedua, pada suatu malam, Bapak merobohkan lemari kaca tempat menyimpan barang-barang pajangan. Puing-puing kaca lemari berserakan bersama isinya: foto-foto, piring-piring, gelas-gelas, serta sesuatu yang menyerupai gading bertuliskan kalimat basmalah dan beberapa mainan dari kayu seperti becak dan mobil-mobil.
Kemudian Bapak mengambil kapak lalu memporak-porandakan bagian yang masih tersisa utuh. Ibu ada di sana hanya menangis dan mulutnya tak henti-henti mengucapkan istigfar. Untuk kesekian kalinya para tetangga rumah datang, bergumul di depan pintu rumah kami.
Jika itu terjadi, aku akan meminta Morpen untuk mendengarkan musik bersama di kamarku, atau di mana saja tempat yang tersembunyi. Terutama malam-malam di kandang kambing.
Tetapi malam itu berbeda, kali ini Morpen yang mengajakku ke kandang kambing.
Kami menerobos rerumputan gelap malam menuju cahaya kebun yang hanya berpusat pada kandang kambing. Sesaat setelah kami sampai di sana, bau kotoran dan pesing kambing bercampur. Kerumunan nyamuk menyambut kami yang duduk di kursi dekat pohon pisang. Morpen berdiri mematung, mendendangkan lagu “Bom Nuklir” beriringan bersama suara jangkrik yang stagnan sambil memerhatikanku dari dekat.
Kemudian dada Morpen tiba-tiba bergerak, membentuk sebuah pusaran hitam legam yang memusat pada satu titik layaknya pusaran pada segelas air. Pohon singkong, kandang kambing, serta benda-benda yang ada di dekatnya sekonyong-konyong ikut bergerak lalu tersedot, seraya mengikuti pusaran pada dada Morpen yang semakin luas dan makin cepat seperti gasing. Aku tidak sempat menghindar ketika pusaran itu semakin mendekat, tubuhku terangkat lalu ikut tersedot pada pusaran tersebut. Aku tenggelam. Aku teringat lubang cacing yang kata guru IPS bertengger di alam semesta. Barangkali aku memang tenggelam di sana.
Aku terombang-ambing di dalam sana bersama benda-benda yang kulihat sebelumnya. Juga Morpen. Ia masih mendendangkan lagu “Bom Nuklir”. Lalu ia bertanya, “Siapa orang yang paling kuat di dunia ini?”
“Menurutku tidak ada. Bu Ijah bilang semua orang punya titik lemahnya masing-masing,” jawabku, mengutip guru IPS-ku.
Lalu Morpen bertanya lagi, “Apakah kamu tahu seberapa kuat diriku?”
“Tentu saja. Bagiku, kamu ibarat cermin.”
Kali ini Morpen mengacungkan ibu jarinya ke arahku. Lalu ia bergerak seolah sedang berenang, menggapai pohon pisang dan menungganginya, kemudian ia mengayuhnya menggunakan kedua kaki seolah sedang berenang di lautan luas.
“Piiiiiipppp,” terdengar. Stagnan. Mengganggu. Napasku tiba-tiba sesak. Ada air yang masuk ke dalam mulutku. Begitu deras. Tubuhku berontak berusaha menghentikan air yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi percuma.
Sesaat setelah aku sadar, aku sedang berada di hadapan Ibu yang masih menangis menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku memerhatikan Ibu yang entah sedang berkata apa. Seseorang di belakang Ibu mendorong tubuhku pelan sambil tersenyum. Aku berbaring lagi. Seseorang itu mengelus-elus dadaku dengan sebuah benda, mataku disorot oleh sebuah cahaya.
Ibu dan orang itu berbicara tetapi aku tidak mengerti apa yang mereka katakan.
Kemudian Ibu menulis sesuatu, lalu menyodorkan secarik kertas kepadaku. “Kamu minum berapa butir, Nak?”