Isu yang masih ramai dan relevan hingga sekarang di media berita maupun media sosial adalah Kaesang Pangarep bersama keluarganya yang menggunakan fasilitas mewah jet pribadi untuk berlibur ke Amerika Serikat pada tanggal 18-21 Agustus 2024. Publik menyadari hal ini melalui aktivitas netizen yang penasaran dengan istri Kaesang yang mengunggah foto di dalam pesawat. Setelah ditelaah, pesawat tersebut ternyata adalah jet pribadi berjenis Gulfstream G650ER. Spesifikasi pesawat ini sangat mewah untuk ukuran kita. Jet pribadi tersebut hanya memiliki 19 kursi penumpang, 10 tempat tidur, dan 16 jendela oval panorama.¹ Bayangkan betapa nyamannya menjadi penumpang di pesawat ini—tidak perlu khawatir dengan suara berisik, tidur yang terganggu, atau kurangnya pemandangan.
Akibat hal ini, Kaesang dikecam—bukan hanya karena masalah kurangnya sensitivitas terhadap banyak orang Indonesia yang turun dari kelas menengah ke kelas bawah dan tingkat kemiskinan yang tinggi yang membuat banyak orang makan, minum, dan bertempat tinggal seadanya, tetapi juga mengenai isu dugaan gratifikasi yang diterima ayahnya untuk dinikmati golongannya sendiri. Ini sudah masuk ranah pelanggaran hukum tindak pidana korupsi.
Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diduga bertujuan untuk mempengaruhi kebijakannya yang bertentangan dengan kewajiban diancam pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Namun, yang disayangkan adalah sikap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang seperti kerupuk kena air: melempem dan tidak berdaya. Kabar terakhir yang kami terima, KPK hanya memanggil Kaesang untuk memberi klarifikasi mengenai isu jet pribadi ini. Alasannya, Kaesang bukan penyelenggara negara, hanya anak penyelenggara negara, sehingga tidak perlu diperiksa lebih jauh.
Padahal, Kaesang seharusnya bisa menjadi saksi. Pemberi gratifikasi dapat diusut identitasnya. Motif kenapa gratifikasi dilakukan bisa diungkap. Ayahnya yang diduga menerima gratifikasi berpotensi untuk dimakzulkan karena korupsi sebagaimana diatur oleh Pasal 7A UUD 1945 dan dipidana sesuai ketentuan UU Tipikor di atas. Namun, karena dalam sekitar sebulan lagi jabatannya sebagai presiden akan berakhir, tidak ada cukup waktu untuk melaksanakan investigasi lengkap, sehingga isu ini dianggap basi. Belum lagi wacana Jokowi menjadi ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang membuatnya tetap berkuasa. Seolah ada kesengajaan untuk mempermainkan rakyat.
Semua ini terjadi karena kelemahan lembaga KPK—terdapat celah hukum yang disalahgunakan oleh lembaga eksekutif untuk kepentingannya sendiri. Pasal 30 ayat (1), (2), (12), dan (13) UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa DPR memilih calon pimpinan KPK dari usulan presiden, dan presiden memiliki kewenangan untuk membuat panitia seleksi calon pimpinan KPK serta mengesahkan dan melantik ketua KPK. Presiden dapat memanfaatkan ini untuk mempengaruhi KPK. Selama celah hukum ini ada, KPK tidak akan pernah berdaya.
Ketentuan hukum ini seharusnya digugat ke Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan semangat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di hadapan hukum (tidak boleh mengistimewakan orang tertentu). Namun, kredibilitas Mahkamah Konstitusi juga kini diragukan setelah munculnya putusan MK yang meloloskan Gibran.
Kondisi politik dan hukum di Indonesia memang sangat buruk. Ini adalah puncak komedi karena kondisi politik dan hukum yang kita idealkan sangat berbeda dari praktiknya. Dalam satu atau beberapa dekade ke depan, Indonesia mungkin akan dikuasai oleh golongan oligarki yang sama jika masyarakat tetap tidak peduli.
Landasan Hukum:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Referensi:
Artha Adventy – Spesifikasi Gulfstream G650ER, Jet Pribadi yang Diduga Dipakai Erina-Kaesang ke AS (Bisnis.com)¹.