Daun Emas Dahulu
Di Dusun Tanggulun, Desa Montorna, Sumenep, tembakau dikenal dengan istilah daun emas. Kenapa?
Gini. Tahun 1980-1998 adalah tahun raja-diraja tembakau dari Madura umumnya, dan Dusun Tanggulun khususnya. Dari daun ini, banyak orang Madura bikin rumah, kenduri, biaya nuntut ilmu, hingga naik haji.
Saya yang besar di keluarga pedagang tembakau, tahu betul bagaimana daun ini menyejahterakan penanamnya. Tahun 1988 adalah puncak harga daun emas ini. Sungguh sangat gemilang. 1988 itu saya masih kelas 4 SD, dan tiap hari, apabila sudah masuk musim tembakau, saya selalu melihat Ayah menimbang daun emas lalu dimuat di truk untuk dijual ke gudang tembakau di Pamekasan. Gudang Seccang, namanya.
Saya tanya pada Ayah, “Berapa harga tembakau yang bagus?”
Beliau menjawab Rp4.000-Rp5.000. Setalah selesai panen, para petani di Tanggulun berbondong-bondong ke toko emas. Lalu saya tanya ke Ibu harga emas kala itu. Beliau menjawab Rp20.000/gram 24 karat.
Artinya, 1gr emas = 4kg daun tembakau.
Kakekku adalah Kepala Dusun Montorna, beliau menjabat seumur hidup. Lalu saya tanya juga, berapa harga pupuk kala itu. Beliau menjawab, pupuk tak dijual karena ada program bimbingan massal alias Bimas. Sedangkan di luar Bimas, harga pupuk Rp7.500/zak (50 kilogram). Jadi,
1 kuintal pupuk = 3kg daun tembakau.
Itulah gambaran di tahun 1988-1998, di mana saya masih menjadi anak-anak dan remaja di dusun Tanggulun ini.
Nasib Si “Daun Emas” Sekarang
Jika dibandingkan, harga tembakau Tanggulun dulu dan sekarang cukup bikin tercengang, ya. Tapi sebelum membandingkan, mari lihat asal-muasal merosotnya harga tembakau.
Sebenarnya, fenomena turunnya harga tembakau sudah terjadi sejak tahun 2000an.
Daun emas yang dulu jadi primadona, di tahun 2000-an nyatanya mulai ditinggal para petani Tanggulun. Mereka lebih senang merantau ke Malaysia, Arab Saudi, atau Bali dan Jakarta daripada bertani tembakau. Kalau kata teman-teman yang merantau sih begini,
“Bandha (bahasa Madura: modal) dengan hasil panen tak sepadan. Jomplang dan rugi sekali.”
Sekarang saya bandingkan dengan harga emas dulu deh. Harga emas dengan mutu terbaik menurut petani tembakau Madura adalah Toko Emas Jakarta dan Toko Emas Surabaya di kota Pamekasan. Di kota Sumenep mutu emas terbaik itu ada di Toko Emas H. Nawawi.
Istri saya membeli emas di Toko Emas Jakarta dengan rincian harga seperti ini:
1gr emas = +Rp900.000
1kg tembakau = Rp50.000 (harga tembakau 2022)
Jadi, untuk saat ini, 1gr emas = 18kg daun tembakau. Yang dulu, tahun 1988 hanya 4kg, sekarang hampir 5 kali lipatnya. Ya Allah … ini ketimpangan yang nyata, kawan.
Sekarang, kita bandingkan dengan harga pupuk sekarang. Saat ini, kelompok tani dipatok Rp 130.000/zak. Sehingga harga untuk membeli 1 kuintal sama dengan Rp260.000. Maka,
1 kuintal pupuk = 5kg daun tembakau.
Yang dulu hanya butuh 1,5 kilogram saja. Lagi-lagi, sungguh perbandingan yang jomplang.
Duh, Gusti!
Sama halnya jika kita bandingkan dengan harga sembako, harga material bangunan, harga naik haji, harga pendidikan, harga BBM, bahkan harga rokok itu sendiri. Antara harga tembakau dulu dan saat ini sudah tentu sangat jomplang. Kejomplangan inilah yang membuat generasi muda Dusun Tanggulun mulai jera bertani tembakau.
Jika tetap memaksa, siap-siaplah jadi budak pembeli dari gudang tembakau di atas. Karena hakikatnya, mereka memeras keringat petani tembakau, sementara harganya tak pernah mereka pikirkan.
Melihat fakta yang saya suguhkan di atas, memang harus ada perbaikan agar petani tembakau kembali mujur, dan tembakau kembali jadi daun emas. Caranya adalah menaikkan harga beli gudang kepada petani tembakau atau menaikkan harga jual petani tembakau terhadap pabrikan (gudang tembakau).
Masalahnya, patokan harga yang dibikin pemerintah daerah, misalnya, tetap tak sebanding dengan perkembangan laju harga barang di pasar.
Kemudian, pabrikan tembakau acapkali bandel membeli dengan harga seenak jidat. Jadilah, petani tembakau tetap merana dan semakin miskin.
Jalan keluar yang ekstrim yang bisa saya pikirkan adalah menghapus penanaman tembakau dari bumi pertiwi ini. Hapus sajalah pertanian tembakau, agar larangan merokok di tempat umum bisa terlaksana. Penghapusan tembakau itu sangat bisa jika dilaksanakan oleh pemerintah, sebab dalam sejarahnya, tembakau itu sendiri bukan asli tumbuhan Nusantara. Dengan cara menghapus tanaman tembakau, karut-marut pertembakauan yang selalu merugikan petani, dengan sendirinya akan hilang.
Jalan ekstrim di atas sulit diwujudkan tentu saja krena efek dominonya akan merembet ke masyarakat petani, buruh pabrik, dan pajak pemasukan kas negara. Akan terjadi ‘malapetaka’ bagi buruh, pemilik gudang, dan pemerintah. Namun, bagi petani, tak akan terjadi, karena para petani tembakau sejak puluhan tahun sudah menjadi ‘budak’ pertembakauan itu sendiri di Madura ini.
Sekarang, tinggal lihat saja dengan hati nurani. Apakah mau berpihak ke rakyat kecil atau malah mendukung pengusaha pabrikan tembakau itu? Jika setelah dipandang-pandang ternyata lebih memihak kepada petani, maka kebijakan ekstrim di atas tetap bisa dilakukan pemerintah.
Semoga semua pihak masih ada rasa kasihan kepada para petani tembakau, jika tembakau memang tetap dibutuhkan. Jangan memeras keringat para petani tembakau, sebab tindakan itu termasuk kezaliman yang nyata. Dan efek negatifnya kepada pemerintah dan para pengusaha pabrikan adalah semakin jauhnya negara ini dari kesejahteraan yang nyata.
Padahal kesejahteraan itu adalah harga mati bagi rakyat Indonesia, sebagaimana dicita-citakan oleh Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4 itu. Ingatlah, doa para petani tembakau yang terzalimi akan makmul atau diterima langsung oleh Allah SWT.
Salam jaya selalu para petani tembakau.