“Kemarin gua nyobain jablay Pantura noh yang di rumah makan Padang gocap. Abis gua pake, titit gua bau rendang.”
Lalu tiba-tiba saya merasa saya ada di tempat yang salah, keburu-buru pengen pulang dan teriak
“Aku gak mau nonton gitu-gituan lagi!!!” kata Saya teh.
Meskipun setelahnya pasti diomelin “Yaa suruh siapa ikut-ikut gituan?!”
FYI, saya jarang menonton konser/gigs kecuali konser-konser kampus yang harga tiketnya dijual dengan harga 35.000 di tahun-tahun saya masih kuliah. Harga yang (mungkin) sangat terjangkau buat saya untuk menonton The Changcuters dan Marion Jola, atau SO7 dan Naif. Ya, namanya juga mahasiswa (mahasiswa miskin)… Kapan lagi nonton The Changcuters 35ribu?!
Saya gak gitu gandrung sama acara-acara musik dan kurang paham perkembangannya. Terakhir saya nonton konser The Changcuters November 2022 di Jakarta. Itupun bukan underground. Gak gitu ngerti juga maksudnya underground dalam dunia musik seperti apa. Cuma tau Homicide dan Burgerkill aja. Kalau untuk band-band kampus yang bisa saya nikmati gratis ya Olegun n The Gobs, Sky Sucahyo, atau De Galih. Itu juga gratis karena latihannya sering di kampus, atau pas mereka lagi ngisi acara fakultas.
Beberapa waktu yang lalu, saya pergi ke acara Gigs. Ketika satu band yang saya gak tahu itu mau tampil, saya dengar kata-kata begini,
“Kemarin gua nyobain jablay Pantura noh yang di rumah makan Padang gocap. Abis gua pake, titit gua bau rendang.”
Sebagai ibu peri yang baik dan tidak pernah bicara kasar ini saya jadi teriak “Anjing!” dengan kesal.
Saya gak tahu vokalis atau MC yang ngomong, yang jelas, itu diucapkan pakai mikrofon, di acara Gigs yang dihadiri orang banyak. Maksudku, ini gue yang salah atau gimana, ya?
Kalau ada yang nanya “Apa yang salah emang dari omongan itu?”, saya malah jadi kepingin nanya balik:
(1) Bercandaan anak Gigs emang gini?
(2) Yang ngomong emang gak punya kemampuan untuk menciptakan jokes yang lebih lucu? atau
(3) Saya aja yang gak bisa becanda.
Poin 1 tentu saja bisa saya anulir dengan mudah karena kita gak bisa tuh generalisasi sifat-sifat “anak A” atau “anak B” tapi buat poin lain aduuuh ini jokesnya bikin kapalo sakik, paniang, mato bakunang-kunang, dan ingin teriak panttt~ saking itu kato-kato indak bermakna
Kalimat yang buat saya bunyinya gini: cowok tuh bisa beli cewek, karena cowok punya duit!
Ya iya itu telinga saya aja, saya aja mungkin yang gak sefrekuensi dan gak bisa have fun. Dan dari situ, ya udah. Cukup tau aja dan saya akan mikir berkali-kali kalau diajak ke Gigs lagi. Meskipun kehadiran saya sama sekali gak berpengaruh juga. Ya siapa gue? gitu kan. Cuman sedih aja, sih.
Saat para pekerja seks komersial masih harus berjuang untuk menafkahi diri atau bahkan keluarga, di sisi lain, ada yang mengolok-oloknya. Ada yang melanggengkan rasa ‘terpinggirkan’ dan membercandai kemiskinannya.
Mungkin juga ada yang mati-matian berupaya sembuh dari penyakit menular seksual yang bisa aja dicover BPJS tapi pertanyaannya, berapa banyak yang sanggup bayar BPJS? gak usah pura-pura tutup mata, iuran BPJS udah naik, sedangkan pelayanan dan obat BPJS gak sebagus itu. Malah ampas.
Kita gak pernah tahu apa yang betul-betul mereka perjuangkan. Jadi kalau gak bisa ngelucu, kayanya mending gak usah ngelucu deh. Percuma itu mikrofon dipakai neriakin ketidak adilan negara tapi bercandaannya mengolok-olok kaum kecil lainnya. Ayo, lah. Ciptakan ruang yang aman bisa dimulai dari berhenti nge-jokes yang bersifat patriarkal. Yuk, turut berkontribusi menyediakan lingkup komunitas yang sehat, saling mendukung, dan tydack toxic.
Comments 1