Jean Paul Sartre, Filsuf yang menolak Penghargaan Nobel Senilai 16M

Nobel Sastra adalah penghargaan sastra paling bergengsi di dunia yang diselenggarakan tiap tahunnya oleh Akademi Swedia atas amanat dari Alfred Nobel. Penerima anugerah Nobel Sastra tak hanya mendapat kehormatan, ketenaran, cetak ulang buku-bukunya dan permintaan penerjemah dari berbagai bahasa tetapi juga hadiah sejumlah uang tunai yang fantastis. Sebagai gambaran, Han Kang, perempuan asal Korea Selatan peraih Nobel Sastra tahun 2024 berhak atas hadiah 11 juta krona Swedia, yang setara sekitar satu juta dolar Amerika atau jika dirupiahkan bernilai sekitar 16.411.603.000. (Enam belas milliar rupiah, wey!)

 

Meski begitu, tercatat pernah ada seseorang peraih penghargaan Nobel Sastra yang menolak dengan sadar dan tanpa paksaan dari pihak mana pun. Namanya adalah Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filsuf aliran eksistensialisme berkebangsaan Prancis. Sartre diganjar hadiah nobel kesusastraan tahun 1964 atas kontribusinya dalam masyarakat sebagai seorang penulis dan filsuf.

Secara sederhana eksistensialisme Sartre dapat dipandang sebagai bentuk pemikiran bahwa tingkat kebahagiaan yang dapat diharapkan oleh seseorang diatur oleh kesediaannya dalam mengambil pendiriannya sesuai dengan etosnya dan menerima konsekuensinya.

Gagasannya yang paling nge-hits adalah: “Eksistensi mendahului esensi” yang bermakna bahwa manusia tidak lahir dengan takdir tertentu atau takdir bawaan, tetapi manusia adalah sesuatu yang kosong. Pilihan dan tindakan manusia tersebutlah yang menciptakan siapa dirinya sendiri.

Jean Paul Sartre lahir di Paris, Prancis pada tanggal 21 Juli 1905. Ibunya bernama Anne-Marie Schweitzer, ayahnya bernama Jean Baptiste. Keluarga Ibu Sartre berasal dari Allsace-Lorraine daerah timur Prancis yang berbatasan langsung dengan Jerman, which is penduduknya berbicara baik bahasa Prancis maupun Jerman.

Ibu Sartre merupakan anak seorang guru bahasa dan sastra Jerman serta penulis buku-buku pelajaran yang sukses di Allsace. Ayahnya meninggal ketika Sartre masih berusia dua tahun.

Sartre bukanlah tipikal filsuf yang hanya diam dan memikirkan segala hal. Ia menolak pandangan bahwa filsuf harus selalu tinggal di menara gading. Ia terjun ke masyarakat memasuki di banyak sektor perjuangan kemanusiaan. Yea! Turba! 

Pada tahun 1939 Sartre direkrut oleh militer Prancis untuk ikut pertemuran di Perang Dunia II. Lalu 1940 ia tertangkap oleh pasukan Nazi dan ditawan hingga dibebaskan setahun kemudian.

Sartre mengajar Filsafat dan Sastra di beberapa sekolah menengah (lycee) di Prancis antara tahun 1931 hingga 1945, termasuk di Le Havre, Laon dan Paris. Setelah perang dunia 2 usai ia berhenti mengajar dan fokus sepenuhnya menjadi penulis, agar dapat menghidupi dirinya dari tulisannya dan menjadi intelektual publik yang aktif.

Dalam surat resminya kepada Akademi Swedia, Sartre memberikan dua alasan kenapa ia menolak penghargaan tersebut.

Yang pertama adalah ia telah berprinsip untuk menolak segala bentuk penghargaan karena tak ingin diinstitusikan. Ia berpikir, para pembaca bukunya kelak tentu akan menghadapi semacam tekanan yang berbeda saat membaca bukunya sebagai pemenang Nobel Sastra, dibandingkan dengan hanya namanya saja. Sartre berkeyakinan bahwa seorang penulis yang menganut posisi sosial, politik, atau sastra harus bertindak hanya dengan sarana yang dimilikinya. Sarana itu adalah kata-kata buah pemikirannya sendiri.

Sejalan dengan penolakannya terhadap Nobel Sastra, Sartre juga pernah menolak penghargaan lainnya, sebut saja Legion Of Honor pada tahun 1945. Legion Of Honour adalah tanda kehormatan tertinggi di Prancis, semacam “order of merit” yang diberikan negara kepada individu yang dianggap berjasa besar bagi Prancis.

Sartre bahkan telah mengultimatum bahwa seandainya dia dianugerahi Lenin Award, ia akan menolaknya juga.

Alasan kedua yaitu ia merasa bahwa hadia Nobel Sastra terlalu Europe-sentries, kalau pun orang timur yang menang tipikalnya pasti adalah seorang pembangkang. Sartre juga menganggap bahwa Nobel punya muatan politis dan cenderung pro-Barat di masa perang dingin.

Bertahun kemudian baru terungkap bahwa Sartre telah mengirim surat untuk penolakannya, namun ternyata surat itu telat sampai ke panitia Akademi Swedia.

Meskipun telah menyatakan diri menolak penghargaan tersebut, Akademi Swedia tidak lantas membatalkan penghargaan tersebut dan tetap mencatat Jean Paul Sartre sebagai peraih Nobel Sastra tahun 1964. Alasannya, hadiah Nobel diberikan berdasarkan keputusan Akademi, bukan kesediaan penerima. Akademi Swedia juga tidak memaksakan pemberian hadiah uang karena memang Sartre menolak seluruh paket hadiah Nobel, termasuk seremoni dan medali.

Selain Sartre, Boris Pasternak sastrawan asal Uni Soviet juga pernah menolak pemberian anugrah nobel namun dengan terpaksa karena tekanan dari Uni Soviet yang mengancamnya untuk tidak kembali ke tanah air jika menerima penghargaan tersebut, yang diberikan atas karyanya yang berjudul Dokter Zhivago.

Lahir di Subang, 2 Maret 1994. Sekarang tinggal di Karawang. Seorang cowok sendu yang suka anime, suka melamun sambil memerhatikan berubahnya bentuk awan. Suka jalan-jalan sendiri~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like