buat seluruh tenaga kesehatan yang ogah-ogahan melayani pasien BPJS.
Jayanti berada di kamar apartemen. Telentang di lantai tepi jendela besar cukup membuat tubuhnya yang terpapar jadi hangat karena sinar matahari. Ia melihat ke bawah. Pemandangan Kota Bandung sudah tidak lagi membuat Jayanti kagum. Semuanya sudah sangat biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Hidupnya lengkap saat ini. Jayanti punya pekerjaan tetap yang bisa dikerjakan dari mana saja, menjadi penulis skrip film porno production house yang mendistribusikan filmnya ke sebuah situs porno terbesar di dunia yang sudah pasti pernah -atau sering- pembaca kunjungi juga. Kemampuannya menciptakan adegan membuatnya tampil menjadi penulis skrip film biru yang laku.
Lagipula, semenjak kejadian di Kalimantan, Frans masih meminta Jayanti untuk jangan dulu banyak berkeliaran di luar apartemen.
“Kamu tuh suka banget ketiduran ya, Jay?”
Sayup-sayup Jayanti merasakan Frans memeluknya dari belakang. Menyimpan wajahnya di leher Jayanti
Jayanti belum membuka matanya dan memilih tidur lagi. Frans mengangkat tubuh Jayanti ke ranjang tak jauh dari jendela. Tubuhnya begitu ringan. Kasihan.
Sebulan terakhir, badannya semakin kurus. Jayanti pasti kesepian. Tak setiap malam Frans datang. Hanya beberapa siang yang lengang dan malam yang rapat ke pagi Frans mendatangi simpanannya itu.
Frans membiarkan Jayanti melanjutkan tidurnya dan membuka laptop. Mengambil minuman dingin di kulkas dan fokus pada laptopnya buat menyiapkan bahan di persidangan yang ia gunakan untuk melawan perusahaan tepung dan aneka bumbu yang sudah melanggar perjanjian kerja sama dengannya.
Ponsel Jayanti tergeletak begitu saja di ruang tengah apartemen itu dan bergetar. Sebuah telepon masuk. Jayanti tidak menyimpan nomor itu. Frans memicingkan matanya, berniat untuk mengangkatnya, namun telepon sudah telanjur mati saat Frans baru berhasil meraih ponsel Jayanti.
Sebuah pop up dari berita muncul di layar laptop Frans.
Penemuan mayat siswi SMP pada sebuah lokasi akhir pembuangan sampah di Kabupaten Karawang dengan mulut penuh beling sampai melubangi lehernya menjadi headline di seluruh portal berita.
Frans membaca berita itu dengan seksama. Hingga saat ini, pihak kepolisian masih belum menemukan petunjuk apapun. Sejauh ini hanya diketahui bapak dari siswi SMP itu merupakan seorang PNS di kantor pelayanan publik dan si ibu merupakan seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di Karawang.
Frans melirik ke arah kamar yang pintunya terbuka. Jayanti tertidur sangat lelap. Ia terlihat begitu rapuh karena badannya kelewat tipis. Tapi pembunuhan Ini sudah pasti ulah kekasih mudanya.
“Beberapa hari sebelum bapak kamu operasi, kamu ada cerita sama saya.” ucap Frans memulai pembicaraan di ruang tengah apartemen itu.
Jayanti yang masih bermalas-malasan karena baru bangun pun cuma menghisap rokoknya dan duduk di lantai, menyender pada sofa.
“Emang iya? Cerita apa?” Jayanti bertanya begitu ringan
“Kamu bilang kamu direndahin sama perawat.”
Jayanti merasa kesal. Jayanti sudah tahu arah pembicaraannya.
“Terus?” Jayanti menantang
“Ya kamu gak bisa seenaknya ngisengin orang karena kamu kesal, lah!”
Jayanti hanya menguap “Kamu aja bilangnya aku ngisengin. Ya udah, namanya juga iseng, Frans. Gak usah diambil serius kali,”
Frans kehilangan kesabaran. Nada bicara Jayanti betul-betul menganggap enteng sesuatu. Jayanti tentu tidak tahu betapa banyak yang Frans lakukan untuk membuatnya tetap hidup aman dan tenang di luar penjara. Ia membanting dan mencekik Jayanti ke atas sofa,
“Hidup gua bukan cuma buat ngelindungin lu doang, bangsat!”
Jayanti kesakitan menahan asap rokok yang hanya bisa sedikit saja keluar dari mulut dan hidungnya. Ia mengingat dengan baik rasanya dicekik sampai biji mata mau copot. Jayanti tidak berkata apa-apa. Ia merasa telinganya pekak dan mulai samar mendengar suara.
“Dasar cewek sakit jiwa!”
Dan sebuah pukulan mendarat di ujung mata kirinya, persis seperti yang terjadi di Kalimantan.