Mari kita jujur mengakui bahwa Jawa Barat adalah provinsi yang sangat potensial untuk bisnis. Di Indonesia, Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah penduduknya mencapai 50,35 juta jiwa, yang 26,19 jutanya adalah angkatan kerja. Mereka yang berada di usia produktif ini sangat antusias bekerja, terutama di pabrik-pabrik yang selalu sibuk, layaknya sekrup yang terus berputar dalam mesin.
Berbicara mengenai geliat bisnis yang besar, terdapat fakta bahwa Jawa Barat memiliki dua wilayah dengan jumlah pabrik terbanyak. Pertama, Cikarang dengan 2.125 unit pabrik pada tahun 2017, menurut data detikFinance. Kedua, Karawang dengan 1.762 unit pabrik berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) tahun 2018. Jumlah tersebut kemungkinan bertambah mengingat data ini sudah cukup lama.
Para buruh di pabrik-pabrik, seperti di kawasan KIIC, menggunakan pengetahuan, kemampuan, waktu, dan tenaga mereka untuk mengolah bahan mentah yang sebelumnya diambil oleh buruh lapangan, menjadi produk dengan nilai ekonomi tertentu yang dapat dipertukarkan. Inilah gambaran singkat labour theory of value atau teori nilai kerja menurut Adam Smith (tokoh yang menginspirasi Marx). Dengan buruh yang melimpah di Jawa Barat, khususnya di Cikarang dan Karawang, barang dapat diproduksi dalam jumlah besar, cepat, dan bernilai jual tinggi. Namun, semua ini tidak datang tanpa harga. Ada yang harus dibayar: kemanusiaan dan kesejahteraan pekerja.
Bagaimana Kapitalisme Menindas Buruh
Menurut Marx, praktik ekonomi kapitalis seperti ini bersifat rakus. Kapitalis menggunakan uang (money) untuk membeli komoditas (tanah, alat produksi, dan tenaga kerja) yang kemudian menghasilkan uang (money) dalam jumlah yang lebih besar. Marx menganggap bahwa tujuan kapitalisme bukanlah memenuhi kebutuhan manusia, melainkan menumpuk harta.
Marx juga menjelaskan bahwa hubungan antara pekerja dan majikan menghasilkan surplus value atau nilai lebih. Contohnya, pekerja menghasilkan satu produk yang dihargai Rp 100 ribu. Dari produk itu, pekerja hanya menerima Rp 50 ribu, sementara sisanya menjadi keuntungan majikan. Dengan kata lain, majikan mengambil nilai lebih yang dihasilkan pekerja tanpa ia sendiri bekerja. Marx menilai hal ini eksploitatif karena buruh dibayar lebih rendah dari nilai yang sebenarnya mereka hasilkan.
Jika kamu berkunjung ke daerah-daerah industri di Jawa Barat seperti Cikarang dan Karawang, kamu akan melihat sendiri betapa besarnya kesenjangan ekonomi. Para bos korporat biasanya menggunakan mobil SUV mewah, sedangkan buruh hanya mampu mengendarai motor matic yang cicilannya diambil dari gaji bulanan. Mereka juga harus memikirkan kebutuhan sehari-hari untuk keluarga pertama (orang tua dan saudara), diri sendiri, serta keluarga kedua (pasangan dan anak). Generasi sandwich, terutama dari Gen Z, harus menanggung beban ini.
Sungguh memilukan! Pekerja dipaksa bertahan hidup dalam kondisi seperti ini, sementara pemilik modal sibuk ongkang-ongkang kaki dan melobi.
Namun, penderitaan ini tidak berhenti di situ. Kapitalisme juga ikut menyerang lingkungan di Jawa Barat.
Situasi Ekologi: Tumbang Demi Uang
Sebuah produk memerlukan bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi. Proses ini melibatkan eksploitasi alam, seperti penebangan hutan untuk industri kertas dan pembuangan limbah produksi ke sungai.
Belum lama ini, berbagai kabupaten dan kota di Jawa Barat dilanda bencana ekologis. Berdasarkan laporan media Tirto pada Selasa minggu lalu, sejumlah wilayah seperti Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kota Sukabumi terkena banjir, tanah longsor, dan pohon tumbang. Ada hubungan sebab-akibat yang jelas di sini.
Penebangan hutan yang masif untuk industri di Jawa Barat telah mengurangi jumlah akar pohon yang mampu menahan tanah dari longsor dan menyerap air. Saat musim hujan tiba, tanah tidak lagi mampu menyerap air secara optimal, sehingga banjir dan longsor tak terhindarkan. Akibatnya, barang berharga terbawa arus, rumah menjadi tidak layak huni, penghuni harus mengungsi, bahkan nyawa terancam karena longsor.
Selain itu, limbah industri mencemari sungai-sungai, seperti Sungai Citarum, yang kini kotor akibat limbah pabrik. Air sungai ini tidak layak untuk mandi, apalagi diminum.
Kondisi ini sangat menyiksa masyarakat, yang kini terjepit dari berbagai sisi secara ekologis. Jika praktik ekonomi kapitalis ini terus dibiarkan, masyarakat bukan hanya terjepit, tetapi akan dihancurkan oleh alamnya sendiri.