Ini bulan ketiga saya sebagai guru honorer di SMPIT Bilingual Nurul Imam Karawang dan syukurlah lancar-lancar saja, saya bisa menikmati pekerjaan mengajar ini. Saya bertemu dengan rekan-rekan guru di sekolah ini yang senang berdiskusi; saya sendiri memang senang terlibat dalam obrolan-obrolan semacam itu. Tapi ada satu hal, ketika sedang bersama rekan kerja di sekolah dan mereka mulai membahas perihal pendidikan, saya menarik diri.
Setelah hampir 2 tahun lulus kuliah, saya tidak lagi menemukan “diskusi” atau lebih tepatnya gibah tentang isu-isu pendidikan, sampai akhirnya bertemu dengan mereka (rekan kerja) yang beberapa kali membahas persoalan pendidikan. Saya dulu kuliah di jurusan pendidikan, membahas pendidikan seperti sudah menjadi makanan sehari-hari. Kalau dipikir-pikir, menurut saya pendidikan adalah topik atau tema yang membosankan untuk didiskusikan. Itulah alasan saya menarik diri dari rekan-rekan kerja kalau tema diskusinya tentang pendidikan.
Bukan karena merasa “sudah kenyang,” melainkan karena yang dipermasalahkan tidak jauh-jauh dari (tanpa menganggap sepele) menyalahkan pemerintah yang sering gonta-ganti kurikulum, siswa zaman sekarang yang pendidikan moralnya di bawah rata-rata, perbandingan gaji guru di dalam negeri dengan gaji guru di luar negeri, nasib buruk guru honorer, dan lain sebagainya. Namun, Gus Dur pernah menulis pembahasan persoalan pendidikan yang lebih menarik—setidaknya bagi saya sendiri—lebih fundamental dan historis dalam kata pengantarnya untuk buku Prof. Dr. Paulo Freire yang berjudul Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan.
Setelah membaca kata pengantar itu baru-baru ini, di sini saya ingin sedikit mengulas bagian mana saja yang menarik dari tulisan Gus Dur tersebut.
Sebelum lebih jauh membahas kata pengantar Gus Dur, saya tegaskan kembali bahwa tanpa menyepelekan masalah-masalah pendidikan yang ada (seperti yang disebutkan di atas), saya tetap melihat masalah-masalah tersebut sebagai keadaan yang penting dan genting. Hanya saja, kalau ujungnya cuma mentok jadi bahan gibah atau (istilah kerennya) “diskusi,” rasanya, lebih baik bahas hal lain saja.
Sebab, kalau tidak diiringi dengan aksi, apa bedanya dengan sekadar misuh atau mengeluh. Aksi yang saya maksud tidak melulu harus berupa demonstrasi; aksi sederhana, misalnya, bisa berupa artikel. Menulis artikel tentu melalui proses menstrukturkan pikiran, bukankah itu salah satu keterampilan dalam pendidikan? Artinya, kita bisa meresahkan masalah pendidikan dengan cara yang mendidik. Saya kira jika dilakukan demikian, maka membahas masalah apa pun tidak akan terasa membosankan. Setuju enggak?
Kembali ke kata pengantar Gus Dur. Secara ringkas, keseluruhan yang dipaparkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid mendalami keterkaitan pendidikan dengan kemerdekaan dan struktur sosial-ekonomi di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia. Gus Dur juga memberi penekanan bahwa pendidikan seharusnya menjadi instrumen pembebasan dan pemberdayaan. Bagi saya itu gagasan yang baru dan menarik, karena yang saya ingat (ketika kuliah) tujuan dari pendidikan bisa banyak, tetapi fungsinya tidak lain untuk bertahan hidup.
Gus Dur berpendapat bahwa pendidikan telah keluar dari tujuan yang semestinya (yakni menjadi alat untuk merdeka dan bebas). Oleh sebab itulah kualitas pendidikan menurun dan malah menciptakan struktur atau lingkungan masyarakat yang tidak adil dan menindas.
Pembahasan menarik dari kata pengantar beliau itu, pertama, beliau menyoroti bagaimana banyak pejuang kemerdekaan kita dulu berasal dari kalangan pendidik. Profesi guru dan para akademisi, yang sering kali memendam kekecewaan terhadap kolonialisme, memainkan peran penting dalam menanamkan idealisme dan semangat kemerdekaan. Namun, setelah kemerdekaan tercapai, banyak dari mereka yang beralih ke dunia politik dan pemerintahan. Kita tahu akhirnya, Gus Dur bilang, “idealisme awal mereka memudar, tergantikan oleh konsumsi berlebihan, korupsi, dan otoritarianisme.”
Kedua, Gus Dur mengkritik gaji yang rendah serta kurangnya arah pendidikan nasional yang justru memperburuk situasi, mengarahkan pendidikan hanya pada penciptaan tenaga kerja kelas rendah untuk mendukung sistem ekonomi yang tetap bergantung pada ekspor barang murah ke negara-negara maju. Keadaan pendidikan seperti ini, menurut Gus Dur, bukanlah solusi untuk mengangkat mayoritas penduduk dari kemiskinan, melainkan justru memperdalam ketergantungan pada kapitalisme internasional.
Terakhir, Gus Dur juga menyoroti munculnya kritik dan alternatif terhadap sistem pendidikan yang ada, terutama melalui konsep pendidikan alternatif seperti yang diajukan oleh tokoh-tokoh seperti Paulo Freire dan Ivan Illich. Pendidikan alternatif ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari penindasan. Namun, Gus Dur memperingatkan bahwa siapa pun yang ingin menerapkan pendidikan alternatif harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang pendidikan alternatif itu sendiri, kalau tidak, akibatnya bisa berujung pada konflik dengan kekuasaan yang ada.
Gus Dur menulis kata pengantar itu pada tahun 1984. Rasanya, apa yang Gus Dur bicarakan dulu dapat berkaitan dan masih relevan dengan kondisi pendidikan hari ini. Di lain sisi, sebetulnya tidak jauh berbeda juga apa yang Gus Dur bahas dengan yang biasa saya dan yang lain diskusikan. Apakah itu berarti boleh dipahami bahwa masalah pendidikan kita sebenarnya tidak ke mana-mana? Entahlah.
Hanya saja, meski ada kemiripan, Gus Dur membuat keresahan seputar pendidikan tidak berhenti jadi omong kosong atau kebuntuan; beliau menuliskan keresahan itu menjadi teks opini yang mengesankan. Gus Dur juga mengambil referensi permasalahan pendidikan yang jauh mengakar dan memberi tawaran solusi yang dapat dipertimbangkan oleh para pendidik. Menarik bukan?
Pada akhirnya, melalui tulisan Gus Dur, kita seolah diberi tantangan untuk meninjau kembali relevansi tujuan pendidikan dengan kebutuhan nyata pada masyarakat, terutama pada konteks bagaimana membangun struktur sosial-ekonomi yang lebih adil. Pendidikan, menurut beliau, tidak bisa menjadi alat pembebasan tanpa mengatasi ketimpangan struktural yang membelenggunya.
Jadi, untuk rekan-rekan guru, khususnya Pak Rahmat dan Pak Aidi, yuk nulis yuk! Yuk bisa yuk!