Aksi demonstrasi merupakan salah satu cara menyampaikan pendapat. Namun jika terdapat tindakan di luar lingkup tersebut–aksi anarkis, misalnya–maka salah siapa? Instansi, oknum, atau pihak penyelenggara?
Perlu melihat dari banyak sudut pandang untuk menentukan siapa yang salah. Ini masalah yang lumayan kompleks. Mulai dari instansi sebagai lembaga pendidikan yang memberi izin, dilanjutkan dengan oknum itu sendiri yang memilih untuk ikut demo, dan yang terakhir ialah pihak penyelenggara sebagai koordinator, dalam hal ini aliansi.
Jadi salah siapa?
Jawabannya: tergantung keadaaan. Tetapi sepertinya terdapat standarisasi tak tertulis yang tercipta dalam demo. Ada pihak yang mendominasi dan menjadi tumpuan pada saat demo. Dominasi ini merupakan hal yang baik, namun di lain sisi mematikan pihak yang dianggap tidak berkompeten oleh para dominator.
Lalu siapakah yang memiliki kapabilitas untuk demo dan berorasi?
Menurut pendapat beberapa orang, pihah terdidik lah yang mempunyai tanggung jawab untuk ini.
Pihak “terdidik” memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan kebebasan berpendapat tersebut, tetapi masih banyak oknum dari instansi “Pendidikan” yang bertingkah konyol selayaknya tak terdidik. Demo dan berorasi selalu dikaitkan dengan kekacauan dan baku hantam, sangat sedih bukan? Pemangku jabatan seperti tutup mata dan membenturkan pihak lembaga pengaman dengan pendemo.
Demo hanyalah untuk mahasiswa?
Tentu tidak.
Mahasiswa hanya menjadi satu dari banyak pihak yang mendapat hak itu, pada dasarnya demo dan berorasi tidak berpaku pada latar belakang instansi pendemo. Orasi harus berisi, diisi dengan pengetahuan dan harus dapat disampaikan dengan baik, maka mengapa kata “demo” hanya melekat pada mahasiswa? Padahal banyak pihak yang memiliki kapabilitas serupa atau mungkin lebih baik.
Image lah yang menciptakan paradigma ini dalam masyarakat.
Lantas bagaimana dengan pelajar?
Pelajar sering menjadi bulan-bulanan dalam masalah demo, dianggap masih terlalu kecil dan pikiran yang masih pendek menjadikan image anak-anak ini buruk dalam dunia demo dan orasi. Ditambah dengan beberapa kasus kekerasan yang melibatkan pelajar dan menambah kesan jelek pada kata “pelajar” dalam demo.
Bagai makan buah simalakama mungkin menjadi pepatah yang cocok untuk disematkan kepada anak-anak SMA sederajat dalam pemenuhan haknya untuk berpendapat.
Pada suatu sesi wawancara mengenai Omnimbus Law yang sangatlah menggemparkan Indonesia, seorang Kepala Daerah menyatakan bahwa pelajar yang mengikuti demo dan berorasi merupakan implementasi anak yang peduli bangsanya, namun bertolak belakang dengan pernyataan seorang Dirjen di Kemendikbud yang mengatakan bahwa pelajar masih kurang umur dan ilmu.
Sungguh aneh bukan?
Pelajar yang merupakan insan terdidik yang disiapkan untuk menghadapi permasalahan kritis seperti ini ke depannya, tetapi dalam pembentukannya insan penerus tersebut harus bingung dalam bertindak dikarenakan pemangku kebijakan yang memberikan statement berseberangan.
Urgensi suatu masalah yang merupakan faktor pendorong banyaknya pihak yang ikut berorasi baik melalui demo ataupun kritik di media sosial, mengapa justru nasib pelajar yang digantung?
Pandangan yang menyudutkan pelajar ini dapat menutup jendela kreativitas dalam penyampaian pendapat, padahal kita ketahui bahwa anak-anak muda seperti mereka memiliki ide yang lebih segar dalam berorasi. Gaya penyampaian yang lebih efektif melalui media sosial dan sosialisasi pada saat demo merupakan bentuk implementasi ide mereka.
Lantas mengapa orang-orang dari generasi yang lebih tua takut untuk dikritisi oleh anak muda yang katanya “kurang ilmu”?
Menurut saya pihak terdidik namun bertingkah konyol tidak hanya dapat disematkan pada orang yang berbuat onar, tapi orang yang menutup rapat telinga dari kritik dan saran ternyata konyol juga.
Pelajar berani berbicara, untuk apa dibungkam?
Apakah untuk menyimpan kebusukan dari kepintaran generasi milenial yang pikirannya sudah lebih maju dari akal-akalan pihak di atas? Tidak ada yang tahu.
Bukti nyata bahwa orasi dan demo pelajar bukan sekadar ikut-ikutan sudah banyak tersebar. Berita orasi di Senayan merupakan satu dari banyak bukti yang tertutup berita tindakan onar. Para generasi baru harus menghargai pengalaman, dan para generasi lama harus mengakui perkembangan zaman.
Sesuatu yang indah bukan?
Kebebasan berpendapat yang sebenarnya seperti menjadi angan bagi orator dan pendemo. Banyak pendapat yang sangat bertentangan, tetapi tak berani diungkapkan karena hukum yang sangat karet. Banyak pihak yang ingin ikut berjuang, tetapi terbatas dengan pikiran masyarakat.
Pelajar yang sedang berada dalam fase bingung untuk memilih antara harga diri dan bangsa seharusnya dapat bimbingan lebih. Ketika semua hasrat membela bangsa tersalur dengan baik, di sanalah Indonesia mendapat generasi kritis berpikir. Keuntungan ini menjadi sebuah keuntungan tersendiri.
Karena itu, tidak perlu membandingkan antara mahasiswa dan pelajar. Keadaan di lapangan lah yang mengharuskan pelajar dan mahasiswa berkolaborasi untuk mencapai tujuan dari demo dan orasi. Dengan semua ini, apa yang kita harus cemaskan lagi dari generasi penerus yang berwawasan ini?
Pikiran kuno yang tidak relevan tidak mungkin diterapkan. Pelajar memiliki keunggulan tersendiri. Membebaskan dalam artian terstruktur merupakan cara yang terbaik dalam menyalurkan pengetahuan dari pelajar.
Memadamkan api semangat dengan ancaman bukanlah solusi, berbahagialah dengan penerusmu dan mereka akan berusaha yang terbaik untuk bangsamu dan bangsanya ini. Jayalah pelajar Indonesia!