Saya ingat betul, Fredel menitikan air mata selepas menonton film ini. Saya yang berada di sampingnya juga ikut menghela nafas panjang. Penyalin Cahaya secara tegas berhasil mengajak penonton ikut merasakan sudut pandang korban kekerasan seksual. Kemarahan, tangisan, kebingungan serta keputus-asaan karakternya perlahan dapat mencabik-cabik perasaan. Tanpa melebihkan. Penyalin Cahaya memang se-powerful itu.
Penyalin Cahaya berkisah tentang Suryani (Shenina Cinnamon) yang merayakan pesta bersama teman-temannya, setelah memenangkan kejuaraan teater. Keesokan paginya, ia terbangun dengan kondisi tidak mengingat apapun yang terjadi semalam. Suryani pun harus tereliminasi dari daftar penerima beasiswa dari kampusnya. Akibat unggahan foto dirinya sedang memegang minuman keras di sosial media. Merasa ada yang sengaja mengerjainya, Suryani melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa yang dialaminya selama berada di pesta.
Bukti-bukti yang Suryani temukan menguak fakta adanya tindak kekerasan seksual yang dialaminya. Suryani pun memutuskan mengadukan ke Dewan Komite kampus agar temuannya dapat ditindak lanjuti. Namun bukannya dibantu, Suryani seolah menapaki jalan terjal karena pihak kampus justru mempersulitnya. Bahkan malah menyalahkan Suryani. Pada akhirnya, Suryani harus kelimpungan mencari caranya sendiri agar ‘suara’-nya dapat didengar.
Penyalin Cahaya berhasil memotret peliknya usaha korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan. Seringkali korban kekerasan seksual harus menempuh jalan panjang ketika dihadapkan hal seperti ini. Begitupun Suryani. Ia mengalami hal yang dialami hampir setiap orang yang speak-up mengenai kekerasan seksual: Victim Blaming.
Suryani dicurigai berbohong. Dinilai ceroboh. Disalahkan karena pakainnya. Parahnya lagi, ketika Suryani mengadukan apa yang dialaminya ke Dewan Komite kampus untuk diusut, Dewan Komite enggan menindak lanjutinya dan merasa Suryani mengada-ngada karena tidak punya bukti. Ketika Suryani telah mengantongi banyak bukti, Suryani malah disarankan menyelesaikannya secara kekeluargaan dan diminta membuat video klarifikasi karena telah membuat kegaduhan yang dapat mencemarkan nama baik lembaga.
Diselesaikan secara kekeluargaan-mencabut tuntutan-membuat video klarifikasi.
Familiar bukan?
Sebagai sutradara, Wregas Bhanuteja dengan jeli menghadirkan realita yang sering terjadi terkait penanganan korban kekerasan seksual. Pihak Dewan Komite kampus yang seharusnya menjadi wadah perlindungan dan ruang aman bagi korban, malah semakin membungkam suara korban. Ketimpangan relasi kuasa juga kian membenamkan korban ke titik terendahnya. Layaknya simbolis yang digaungkan sepanjang film terkait 3M (Menguras, Menutup, Mengubur). Menjadi tamparan keras bahwa seringkali penanganan kasus kekerasan seksual selalu menguras fisik maupun psikis korban. Malah menutup atau membungkam suara korban. Serta mengubur kasusnya dalam-dalam. Ironis.
Film ini juga tidak menutup mata bahwa pria sekalipun dapat menjadi korban kebengisan pelaku kekerasan seksual. Persoalan tersebut turut disinggung, bersama setumpuk isu lain yang dikemas dengan mulus tanpa harus tumpang-tindih. Mulai dari mental health, kesenjangan kelas sosial, hingga tiger parenting. Semuanya melebur dengan plot yang dieksekusi dengan sangat rapi.
Lika-liku Suryani menelusuri jejak-jejak pelaku, sangat asyik untuk diikuti. Terlebih karena Suryani diberi latar belakang mahasiswi jurusan komputer. Sehingga pandai memanfaatkan teknologi dalam mengumpulkan bukti. Wregas juga bermain-main dengan persepsi penonton dalam menebak siapa pelakunya. Ada satu karakter yang memang diposisikan untuk dicurigai. Sehingga bukan cuma Suryani yang keliru melayangkan tuduhan, tapi juga penonton.
Memutuskan memakai elemen whodunit, tidak lantas mengaburkan tujuan filmnya. Sang nahkoda paham bahwa fokus utamanya bukan hanya pada mengungkap pelaku. Tapi juga seberapa kuat pesannya. Untungnya, Wregas dapat menguntai kedua hal tersebut tanpa terasa dipaksakan. Alegori Medusa dan Perseus pun sangat cocok dengan narasi yang dibangun. Semua pesannya dapat tersampaikan dengan baik. Dipresentasikan secara apik serta meninggalkan makna mendalam.
Bagian karakterisasi juga benar-benar dipikirkan dengan matang. Suryani sebagai karakter utama, tidak digambarkan tanpa cela. Ia melanggar aturan orang tuanya. la keliru melayangkan tuduhan, sehingga tak dipercaya teman-temanya. Ia meretas data pribadi orang-orang. Hal ini menarik, karena semakin menambah lapisan karakternya agar tidak berjalan satu dimensi.
Saya juga menikmati bagaimana dialog-dialog dalam film ini mengalir luwes. Persis layaknya kehidupan sehari-hari. Suryani yang berkali-kali “pacaletot” saat bicara, turut menambah kesan natural. Mengingat kondisinya sedang tidak stabil atas peristiwa yang menimpanya. Apresiasi lebih ditujukan kepada Shenina yang berhasil menyalurkan energinya untuk menghidupkan karakter Suryani.
Tidak hanya Shenina, pemeran lainya pun menghadirkan performa yang jempolan. Sebut saja Dea Panendra, Lutesha, Chicco Kurniawan, Jerome Kurnia, hingga Lukman Sardi. Semuanya dapat saling mengisi dan menonjol secara bersamaan tanpa membuat pemeran utama kehilangan sinarnya. Hal ini tentu berkat diiringi penulisan karakter yang kuat dari naskahnya.
Satu hal yang mengganggu. Menurut saya, ketika karakter Rama berusaha menghilangkan barang bukti sambil bermonolog mengenai Medusa & Perseus. Pembawaan Giulio Parengkuan yang kurang matang membuat adegan yang seharusnya dramatis malah terlihat cringe. Padahal dengan penjiwaan yang lebih baik, adegan ini bakal lebih nampol.
Keasyikan bercerita, tidak membuat Wregas melupakan sisi teknis. Tone yang didominasi warna hijau bukan hanya diaplikasikan lewat cahaya dan color-grading saja. Kostum, properti, dan lingkungan turut mendapat sentuhan warna hijau. Sehingga semakin menguatkan identitas film. Saya juga menyukai musik-musik house-remix nya yang bikin nagih. Penempatannya yang tepat di beberapa adegan turut membuat suasana dalam film lebih membumi.
Wregas Bhanuteja dengan baik menyuguhkan materi yang kaya, ramai dan padat dengan penuturan cerita yang cerdas sekaligus tajam. Senantiasa menjaga ketegangan lewat elemen teka-tekinya. Tapi tetap menjaga isunya agar tidak terlupakan. Kemudian menyuguhkannya lewat frame demi frame yang ikonik. Serius. Banyak sekali adegan tak terlupakan di film ini.
Penyalin Cahaya seolah menonjok kita tepat di dada karena kenyataanya memang segetir itu perjuangan yang harus dilalui oleh para korban kekerasan seksual. Wregas dengan dunia Penyalin Cahayanya menebar kesadaran dan mengajak kita berefleksi untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi para korban kekerasan seksual di kehidupan nyata. Penyalin Cahaya memberi Suryani dan teman-temanya ruang untuk bersuara dan saling menyalin cahaya-nya guna dibagikan sebagai simbol harapan kepada penyintas-penyintas lain di luar sana.