Sekitar beberapa waktu yang lalu, yaitu hari Senin tanggal 7 Oktober 2024, berita mengenai isi chat Rachel Vennya viral di sosial media X. Isi chat-nya adalah percakapan antara Rachel dengan Pratama Arhan tentang dugaan perselingkuhan yang istrinya Arhan, yakni Azizah, lakukan dengan pria lain.
Netizen pun bereaksi dengan cara yang sama: mengecam Azizah dan mengasihani Arhan—suaminya dianggap mencintai secara sepihak doang.
Media massa seolah tak mau kecolongan durian runtuh, mereka pun langsung FOMO (Fear Of Missing Out/takut melewatkan) untuk memberitakan hal ini. Tentu berita ini tidak sekali dua kali dilakukan, tapi berkali-kali oleh berbagai media.
Kelakuan ini tentu saja memiliki motif menumpuk keuntungan. Kabar ini menyangkut selebriti dan figur olahraga yang dikenal luas. Menayangkan konten yang memiliki kaitan erat dengan hal tersebut berarti mendatangkan klik dan traffic website yang luas juga.
Pada gilirannya kejadian ini bisa bikin pengiklan menjadi cengar-cengir dan menari-nari.
Tapi apa yang media lakukan dari munculnya kabar viral tersebut sampai hari ini adalah bukti bahwa mutu jurnalisme sekarang itu bobrok! Lho, alasannya apa tuh? Alasannya adalah tidak semua hal itu layak diberitakan. Dalam jurnalisme, ada yang namanya layak berita.
Ada 10 syarat sebuah tulisan itu layak berita: aktual, menyangkut tokoh penting, relevansi, kedekatan, skala peristiwa, tren, eksklusif, dramatis, human interest, dan unik.¹
Dalam hal pemberitaan isi chat Rachel Vennya dengan Pratama Arhan itu cuma memenuhi unsur aktual, tokoh penting, dan ngetren doang. Tapi, syarat-syarat yang lain, seperti relevansi, itu nihil!
Relevansi itu adalah bagian yang tidak hanya terjadi baru-baru ini, tetapi juga penting bagi yang menyaksikannya. Dalam pemberitaan tentang Vennya dan Arhan, nggak ada urgensi untuk menyelam ke persoalan dapur rumah tangga orang lain.
Apa relevansi kabar tersebut dengan kebutuhan Gen-Z misalnya sebagai generasi yang masuk usia produktif di era sekarang? Iya, nggak ada!
Unsur kedekatan nggak masuk! Perselingkuhan emang ada di masyarakat, tapi nggak semua orang mengalami dan bisa relate dengan hal itu.
Unsur skala peristiwa tuh jadi peristiwa yang diberitakan menyentuh bagian seluas-luasnya sampai pelosok pedesaan. Berita kayak gini tuh nggak nyentuh persoalan di luar orang-orang urban yang melek rutinitas selebgram sekaligus atlet yang menjadi seleb.
Dramatis? Nggak juga, tapi ada upaya untuk mendramatisir hal ini—ditandai dengan tetap diproduksinya narasi yang sama: Aduh! Betapa nggak enaknya dikhianati!
Sebagai catatan, perselingkuhan itu nggak bisa dibenarkan iya, karena melanggar komitmen pernikahan atau pacaran dan menyakiti orang lain. Tapi bukan berarti narasi yang sama mesti diulang juga sampai bikin muak.
Lalu unsur eksklusifitas yang menekankan pada perbedaan dan pembatasan isu juga nihil sekali. Media hanya ngikutin dari media yang lain: tidak memiliki orisinalitas. Semua berfokus pada satu hal: apa isi chat antara Vennya dan Arhan.
Human interest? Nggak ada! Apa yang ada di pemberitaan ini tidak berupaya untuk mendalami kepentingan manusia seperti dampak perang, krisis pengungsi, dan pelanggaran HAM.
Dibilang unik juga jauh banget: perselingkuhan itu hal yang umum di masyarakat—salah satu alasan seseorang menceraikan pasangannya di pengadilan adalah karena perjanjian pernikahan dikhianati dan dilanggar.
Dari semua hal itu, kita tahu bahwa mutu media massa memang sebobrok itu! Dari total 10 syarat jurnalistik layak berita, hanya 3 syarat yang dipenuhi, sementara sisanya yang 7 syarat tersebut dibuang jauh-jauh dari meja mereka.
Pemberitaan yang Sampah adalah Pengalihan Isu
Jadi apa yang kita saksikan sekarang adalah usaha untuk mengalihkan isu baik secara sadar atau nggak dari hal-hal yang jauh lebih penting: persoalan lingkungan hidup, sosial, politik, dan ekonomi yang menggempur setiap hari.
Dalam hal lingkungan hidup misalnya, sudah muncul upaya ekspor pasir laut. Kegiatan ini tentu akan mencemari habitat laut, merusak daerah pesisir, dan membuat bencana alam bisa terasa lebih sakit menampar warga sekitar karena pantai kehilangan pasir untuk menahan gelombang pasang air laut.
Dengan adanya pengalihan isu, maka masyarakat merasa bahwa kondisi kekinian itu wajar. Pembiaran dan apatisme terhadap berbagai persoalan adalah imbas dari kesadaran palsu yang tertanam di masyarakat karena media gagal membingkai apa yang memang penting.
Peran Pengawasan Media
Ini tentu memprihatinkan. Tahun 1998, era yang terjadi dua dekade enam tahun yang lalu itu meruntuhkan kekuasaan Soeharto yang memberikan akses untuk kebebasan pers yang kita nikmati sekarang.
Melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasca reformasi, jaminan kemerdekaan wartawan untuk meliput itu bukan kebebasan kosong tanpa tujuan, tapi ada supaya kegiatan bernegara itu bisa diawasi.
Yang terjadi sekarang justru para insan media yang giat memberitakan isi chat Rachel Vennya dengan Arhan itu mengabaikan semangat jurnalistik yang profesional pasca reformasi.
Dari hal tersebut, setiap masalah kemudian menjadi tidak terselesaikan dan yang lebih buruk, penguasa mendapatkan ruang pembenaran untuk semakin membuat kerusakan.
Sebagai pembaca kritis, maka kita wajib untuk memperingatkan media massa apabila nalarnya sudah tumpul karena overdosis dibanjur duit pemasang iklan.
Landasan Hukum:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Referensi:
Virky Realdy – Sebelum Menulis, Pahami 10 Kriteria Tulisan Layak Berita (DIPStrategy).¹