Aku hanya bisa duduk termenung. Ragaku mungkin saja duduk di ruangan ini, tapi pikiranku melayang-layang ribuan kilometer jauhnya. Muncul dalam benakku sosok wajahnya yang keras dan tegas tanpa rasa takut. Dia sahabatku yang menyebabkan aku harus duduk berlama-lama di ruangan asing ini.
Sekitar dua bulan lalu, dia telah merencanakan sebuah aksi besar. Aksi yang mungkin akan membawa banyak perubahan di lingkungan kampus tempat kami berkuliah. Sebenarnya, hari itu aku sudah cukup lelah karena berbagai kegiatan, tapi melihat semangatnya yang seolah tak pernah padam itu membuatku enggan menolak ajakannya untuk berdiskusi.
“Selesai,” ucapnya tenang seraya membaca beberapa lembar kertas dengan cepat.
Hari itu juga, akhirnya ia merampungkan poin-poin tuntutan yang akan dibacakan pada saat demo nanti. Ia sengaja mengajakku bertemu malam itu. Dia berpesan supaya jangan sampai banyak yang tahu dulu soal aksi yang ia rencanakan.
“Bisa bahaya kalau bocor ke pihak kampus. Bisa-bisa mereka juga turut siap-siap,” tentu saja kata ‘siap-siap’ yang ia katakan berkonotasi buruk.
Aku hanya mengangguk pelan. Barangkali seperti inilah rasanya menjadi mahasiswa di negeri ini. Biaya kuliah yang mencekik, fasilitas yang gak memadai, lengkap dengan nihilnya tranparansi keuangan.
Meski ini sudah bukan zaman rezim orde baru, tapi jujur saja aku tetap merasa takut akan berbagai kemungkinan buruk yang terjadi. Di negara ini, bahkan hal-hal remeh temeh saja selalu berurusan dengan senjata, apalagi persoalan seperti ini. Dalam hatiku muncul ketakutan perihal keselamatan dia. Apakah suaranya masih akan terus lantang hingga keadilan ditegakkan? Atau suaranya akan lenyap seiring dirinya yang menghilang tanpa jejak?
Buru-buru kutepis segala bayangan buruk itu. Saat ini lebih baik membayangkan dan membicarakan hal-hal baik agar menjadi doa dan kenyataan. Sekitar pukul satu malam akhirnya kami berpisah, dengan matanya yang menyala-nyala itu dia berpamitan.
“Panjang umur perjuangan!” jjarnya sebelum hilang dari pandanganku. Kubalas tersenyum sambil mengepalkan tinju ke udara.
Tiga hari kemudian, barulah rencana besar itu disampaikan di depan banyak anggota organisasi. Rencana itu disambut dengan baik dan tanpa penolakan.
“Tidak ada keberanian, maka tidak ada perubahan! Panjang umur perjuangan! Hidup mahasiswa!” katanya berapi-api disambut tepuk tangan meriah dan kepal tinju ke udara.
Setelah itu terjadilah aksi demo besar-besaran di depan gedung rektorat esok harinya. Tak pernah terbayang jumlah mahasiswa yang ikut akan sebanyak itu. Rektor yang semula tak ada respons pun mulai turun. Mungkin dia takut dihabisi kalau-kalau tetap diam di gedung mewah yang dibangun dari uang mahasiswa itu. Sebagai seorang yang tak suka keramaian, aku hanya bisa berdiri di barisan belakang, melihat betapa bersemangatnya dia. Sesekali pandangannya mencariku dalam kerumunan, lalu tersenyum sambil mengangguk.
Bisa dibilang, aksi demo yang digelar dari pagi hingga menjelang malam itu berhasil. Pihak rektor akhirnya mau mendengar beberapa tuntutan dan berjanji mengabulkannya. Kukira itulah awal dari perubahan besar yang akan terjadi di kampus. Hingga beberapa minggu kemudian dia tak pernah lagi masuk kelas. Dihubungi juga sulit. Firasatku berkata bahwa ada sesuatu yang sedang menimpanya. Yang lebih membuatku terkejut adalah fakta bahwa dia tak lagi menempati indekosnya. Informasi itu kudapatkan dari kawan-kawan satu indekosnya. Hatiku semakin tak tenang mengetahui hal tersebut. Hingga di suatu malam ketika aku pulang kampus, sebuah amplop tergeletak di pintu kos. Isinya sebuah surat yang ditulis tangan. Bunyinya:
Taman belakang kampus, Rabu, 23.00 WIB.
Dahiku mengernyit saat membacanya. Timbul banyak pertanyaan dalam benakku. Tentang siapa yang mengirim surat, bahayakah jika aku memenuhi ‘panggilan’ tersebut, apakah ada kaitannya dengan sahabatku yang tak pernah lagi masuk kelas, dan lain sebagainya. Aku memutuskan untuk tutup mulut soal surat misterius itu, bahkan pada teman-teman satu organisasi.
Semakin sedikit orang yang tahu, maka akan semakin baik. Akhirnya, tibalah saatnya pertemuan itu. Untuk berjaga-jaga, aku telah menyiapkan ponsel di saku dengan perekam yang menyala. Aku juga memakai pakaian serba hitam untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, agar aku bisa kabur dan sulit terdeteksi dalam kegelapan malam.
Aku juga harus mengendap masuk lewat belakang sekretariat BEM FKIP. Suda pasti timbul kecurigaan kalau aku masuk lewat gerbang utama yang selalu dijaga. Keadaan sudah benar-benar sepi, bahkan tempat parkir yang setiap hari penuh dengan sepeda motor pun kosong. Satu menit, dua menit, tiga menit, belum ada seseorang yang datang. Hingga sesosok tubuh menepuk bahuku dari belakang. Aku hampir saja refleks melayangkan pukulan kalau-kalau dia tidak membuka masker hitamnya.
“Ssssssst” dia membekap mulutku, lalu membawaku ke sebelah gedung FKIP.
“Ini aku,” ucapnya bisik-bisik. Aku merasa lega saat mengetahui bahwa dia adalah sahabatku.
“Ada apa?” tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulutku, seolah merangkum segala pertanyaan selama dia tak pernah masuk kelas lagi. Setelah itu dia mulai bercerita.
“Aku diikuti orang tak dikenal, sudah lama. Mungkin satu minggu setelah aksi demo di depan gedung rektorat. Aku juga diteror beberapa kali melalui SMS dan telepon bernada ancaman pembunuhan. Kau tahu kan siapa yang sedang kita hadapi? Sebab itu aku memilih menghilang dan tidak melapor dulu. Aku juga belum pulang sejak diikuti dan diteror, terlalu berisiko kalau alamat rumahku bocor. Nah, aku minta tolong sampaikan ini ke orang tuaku. Aku akan kembali kalau keadaan sudah membaik,” ucapnya pelan sambil menyerahkan sepucuk surat. Aku mengangguk.
“Perkembangan demo kita bagaimana kabarnya? Sudah ada kejelasan?” lanjutnya.
“Belum,” kujawab lesu. Lalu tak lama kemudian dia pergi entah ke mana. Bahkan dia enggan memberi tahuku tempat tinggalnya sementara ini. Terlalu berbahaya katanya.
“Percayalah, suatu saat kebenaran akan terungkap terang benderang. Panjang umur perjuangan!” itulah pesan terakhirnya sebelum pergi.
Kini, aku mengerti mengapa dia seolah merahasiakan persahabatannya denganku dari pihak manapun. Dia telah memperhitungkan kemungkinan ini, dan karena aku adalah sahabat yang tak pernah diketahui teman-temannya yang lain, atau teman satu kampus sekalipun, maka dia bisa dengan bebas menemuiku. Jika diibaratkan, dia adalah seorang tentara yang sedang menjalankan tugas penuh dengan perhitungan.
Untuk memastikan surat titipannya aman sampai ke tangan orang tuanya, aku mengantarkannya sendiri. Meskipun harus diam-diam dan tak bisa berlama-lama berbincang dengan orang tuanya yang menanyakan banyak hal. Esok harinya, aku terkejut saat melihat berita seorang pemuda ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala. Jasadnya ditemukan di bantaran sungai. Menurut tim forensik dari pihak kepolisian, jasad pemuda itu sudah empat hari berada di sana. Ya, pemuda itu adalah sahabatku.
Jika dihitung, empat hari itu berarti tepat setelah pertemuan terakhirku dengannya Rabu malam. Kemungkinan besar lokasinya terendus dan langsung dibunuh. Saat itulah aku sadar bahwa orang yang sedang kami hadapi bukanlah orang biasa. Dia punya kuasa tinggi, bahkan punya akses untuk melakukan kejahatan dengan sejata api. Memang bangsat bajingan itu. Seketika lututku lemas, tubuhku ambruk. Dan hari ini, aku diinterogasi karena akulah orang terakhir yang bertemu dengan dia.
Satu bulan berlalu, dan kampus masih gempar oleh kasus pembunuhan itu. Perlahan, tuntutan-tuntutan yang dilayangkan mahasiswa pun dilupakan. Pihak rektor mengulur waktu dan beralasan sedang mengusut kasus pembunuhan itu terlebih dahulu. Pada akhirnya, tak pernah ada kejelasan mengenai siapa bajingan yang telah membunuh sahabatku. Para mahasiswa yang berjumlah ribuan pun perlahan ciut dan menyadari ancaman dan bahaya yang akan mereka dapatkan kalau-kalau tetap melawan. Suara kami dibungkam paksa.
Setiap hari aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Seandainya aku bisa berbuat banyak, seandainya aku bisa melindungi sahabatku malam itu. Tapi aku sadar, bahwa ‘seandainya’ hanyalah ibarat menggarami luka yang basah. Kini, demi sahabtku, aku yang akan mencari bajingan busuk itu sendiri. Meski keselamatanku dalam bahaya, ini adalah upaya terakhir yang bisa kulakukan. Inilah nasibku, seorang pemuda yang dipaksa sehat di negeri yang sakit, yang dipaksa baik-baik saja di negeri yang busuk.