Interogasi: Aksi Tembak Jitu

Isi video tersebut menampilkan wajah yang disensor dengan tulisan Tai, dan barisan polisi di belakangnya. Di akhir video muncul tulisan: “Usut tuntas kematian aktivis kampus!”

Cukup lama aku terpuruk setelah kepergian sahabatku tempo hari. Kadang, untuk mengobati kerinduan aku berkunjung ke makamnya di Jakarta. Mengajaknya berdialog meski nyatanya aku hanya berbicara sendirian. Makamnya selalu bersih dan bertaburan bunga, tentu karena banyak orang berkunjung kukira. Dia adalah orang baik, meski sifatnya yang keras kepala dan sulit diatur.

Aku menyadari bahwa aku bukan pemeran utama dalam drakor genre action, maka dari itu aku bingung harus membalaskan dendam dengan cara apa. Terlebih tak ada bukti kuat tentang siapa bajingan yang telah membunuh sahabatku. Tapi semesta seolah mendukung, seminggu berselang sebuah postingan lewat akun anonim menampilkan video berlatar lagu Fuck the Police milik N.W.A – sebuah grup yang menjadi cikal bakal hiphop dikenal di seluruh dunia. Isi video tersebut menampilkan wajah yang disensor dengan tulisan Tai, dan barisan polisi di belakangnya. Di akhir video muncul tulisan: “Usut tuntas kematian aktivis kampus!”

Aku tak tahu siapa orang di balik akun anonim itu, tapi itu adalah tindakan yang berani sekaligus berbahaya. Tak ayal, dalam waktu semalam postingan itu menjadi viral. Tak cukup sampai di situ, ternyata di hari-hari berikutnya selalu ada saja postingan bernada protes dan kritik keras. Perlahan, berita kematian sahabatku kembali mengudara. Pihak kampus yang mulai geram akibat nama baiknya mulai tercoreng pun kembali mengambil tindakan. Secara terang-terangan mereka berjanji akan menuntut dan memenjarakan orang misterius di balik akun anonim itu.

Hal itu sangat bertentangan dengan jiwaku yang ingin memberontak tapi tak bisa berbuat banyak. Mungkin juga ribuan mahasiswa yang nyalinya sempat ciut akibat kematian sahabatku merasa hal yang sama. Kehadiran orang misterius itu membuat kami kembali punya harapan. Bak pahlawan, namanya mulai dipuja-puja meski tak seorang pun mengetahui siapa sebenarnya dia. Dia hanya menggunakan nama samaran Biru Laut, seperti nama tokoh utama dalam novel Laut Bercerita. Kukira aku mulai menyukai caranya melawan, senyap, tenang, namun berdampak.

Esoknya, ia kembali beraksi. Akun Instagram milik kampus diretas. Kini, postingannya berganti dengan puisi-puisi Wiji Thukul, lagu Fuck the Police, dan meme yang kembali membuat pihak kampus geram. Dilihat dari keberaniannya, mungkin orang ini juga punya kuasa. Barangkali dia akan menjadi lawan yang seimbang dan momok menakutkan. Karena desakan dari ribuan mahasiswa, akhirnya pihak kampus kembali membuka kasus kematian sahabatku. Puncaknya adalah ketika rektor dan beberapa petinggi kampus bersedia diperiksa dan dimintai keterangan oleh polisi.

Namun aku sudah tahu ujungnya, pihak kampus akan dinyatakan bersih dan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan ini. Tentu saja itu karena para penegak hukum di negeri ini akan mudah tergiur dengan uang. Malamnya, akun Biru Laut kembali membuat postingan. Isinya: All Cops Are Bastards. Lagi dan lagi, postingannya membuat orang-orang di atas sana kebakaran jenggot. Puncak aksinya terjadi pada perayaan dies natalis kampus. Ia membuat postingan berisi peringatan. Dengan topeng anonymous dan suaranya yang diedit, dia berkata:

“Besok, semua kebenaran akan terungkap terang benderang,”

Mendengar kalimat itu, aku kembali teringat pesan terakhir sahabatku. Dan benar saja, esoknya seisi kampus kembali gempar. Sebuah file berisi rincian transaksi gelap para petinggi kampus terekspos. File itu dikirim serempak ke seluruh surel civitas akademika. Aku tertawa puas melihat hal itu. Akhirnya, momen ini datang juga. Momen di mana para bajingan itu tak bisa mengelak lagi. Setidaknya nama baik mereka sudah mulai pudar.

Tapi setelah file itu, ada lagi satu pesan yang masuk. Sebuah file berisi rincian kasus yang terjadi puluhan tahun silam. Tapi rasa-rasanya, ini hanya dikirim untukku. Karena di sana jelas tertulis: untuk R di tempat. Kubaca dan kupelajari file itu. Kurang lebih intinya adalah: puluhan tahun silam, sekelompok mafia yang dipimpin oleh Pria bernama Ato berhasil dibubarkan polisi. Meski Ato sang raja terakhir berhasil lepas tanpa jejak hingga saat ini. Jaringan mafia itu bergerak di bidang pasokan senjata ilegal. Kuat dugaan bahwa ada seorang mata-mata dalam kelompok itu, yang menyebabkan gerakan mereka terendus.

Tahu siapa mata-mata itu? Dia adalah seseorang yang punya kuasa tinggi di kampus ini. Masa lalunya kelam dan gelap. Lalu dia dibesarkan oleh seorang paman yang kasar di panti asuhan. Setelah dewasa ia berganti nama dan diberi kesempatan sekolah setinggi-tingginya. Sebagai imbalan dan balas budi, ia memberikan sejumlah uang. Konon, ia dan pamannya membentuk mafia baru dan pasukannya selalu siap kapan pun dibutuhkan. Kini aku mengerti dan mulai menemukan titik terang dalam kasus pembunuhan sahabatku. Amarah dalam diriku semakin bergejolak.

Pesan demi pesan berdatangan dari orang misterius itu. Dia juga mengirimkan sebuah alamat yang harus kutemui, alamat Ato si raja terakhir. Tanpa pikir panjang aku mendatangi Alamat itu.

Sebuah rumah kumuh di gang sempit. Aku mengetuk pintu.

“Siapa?” suara berat itu menyambutku.

“Kiriman Biru Laut,” itu adalah kode yang diberikan orang misterius kepadaku.

Tanpa pertanyaan lagi, orang itu membuka pintu dan buru-buru menggiring aku masuk. Rupa-rupanya, orang misterius di balik akun itu ada hubungannya dengan Ato. Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku. Dia tak banyak bicara, malah langsung menyodorkan tas hitam besar. Isinya membuatku tercengang, sebuah senapan sniper dengan tipe Barrett M82.

“Saya sudah mendengar cerita itu dari orang yang mengaku Biru Laut kepada kamu. Dia adalah teman saya. Dulu sama-sama jualan senjata. Tapi sejak kejadian itu, kami jarang ketemu. Saya juga sudah berhenti dari dunia kelam itu. Sempat ditahan juga beberapa tahun. Dan selama masa tahanan itu, saya tahu bahwa ada orang yang berkhianat dan melanjutkan bisnis gelap itu, bahkan dia berbaur dengan masyarakat dan menjadi seorang petinggi kampus. Mendengarnya tentu membuat saya geram. Puncaknya, saat berita kematian sahabatmu itu ramai. Akhirnya, saya dan Biru Laut memutuskan untuk melawan, dengan bantuan kamu tentu. Di negeri ini, kita tidak bisa selalu berharap pada tegaknya keadilan. Karena ya, kamu tahu sendiri lah. Maka dari itu, hanya kejahatan yang bisa menumpas kejahatan itu sendiri. Membunuh satu anjing untuk keselamatan ribuan manusia itu lebih baik daripada membiarkannya tetap berkuasa.”

Malam itu juga aku tahu, aku sedang berada di persimpangan jalan. Maju untuk menjadi seorang pembunuh demi kebaikan ribuan manusia. Atau berhenti, membiarkan ketidak adilan terus terjadi di depan mata.

Aku akan memutuskannya sekarang.
“Iya, saya akan lakukan,” ucapku penuh keyakinan.

“Kamu gak perlu khawatir. Dia memang menguasai sejumlah besar mafia dan polisi, tapi jangan lupa kalau saya juga mantan mafia.”

Waktu telah ditentukan. Hari ini, dia akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Aku harus bergerak beberapa jam lebih awal untuk mencari posisi. Inilah saatnya aku menggunakan hasil latihan sebulan ini. Senja telah tiba tatkala dia berjalan ke arah mimbar. Ruangan aula yang sekelilingnya dipasangi jendela transparan membuatku bisa leluasa membidik. Satu … dua … tiga

Dooor

Peluru itu melesat seperti kilatan petir. Jendela pecah, tak lama kemudian tubuhnya tumbang. Kepalanya berlubang. Kulihat darahnya membanjiri lantai. Itulah harga mahal yang harus kau tebus atas semua kejahatanmu, bajingan.

Related Post

No comments

Leave a Comment