Orang bilang, “Negeri ini kaya raya” di mana gedung pencakar langit tumbuh lebih cepat dari pohon beringin di alun-alun—ada satu fenomena unik di dunia kesehatan: layanan kesehatan yang berkelas. Kelas-kelas kesehatan ini bahkan lebih sakral daripada ruang kelas sekolah dasar.
Di sekolah, kalau ruang kelas penuh, anak-anak bisa dipindahkan ke ruang lain. Sederhana, seperti memindahkan pion catur ke petak kosong. Tapi di fasilitas kesehatan dengan embel-embel BPJS, sistemnya lebih sakral daripada kitab suci.
Kalau salah satu ruang kelas penuh, pasien tidak akan ditempatkan di kelas lain yang kosong. Justru, pasien akan diajak “berwisata”—bukan ke ruangan kosong yang tersedia, tetapi ke rumah sakit lain yang belum tentu ada tempat juga. Kalau tetap tidak ada, pasien akan diajak ke lorong penuh doa dan harapan
Biasanya, ruang kelas yang sering penuh adalah ruang kelas untuk pasien kelas 3. Konon, sistem ini diatur berdasarkan prinsip keadilan. Tapi, adil untuk siapa? Ruangan kosong tetap terkunci rapat, seakan-akan dindingnya berbisik, “Kalian bukan tamu yang kami tunggu.”
Mari kita bahas IGD (Instalasi Gawat Darurat): sebuah akronim yang terdengar megah dan heroik. Tapi, mari kita kupas satu per satu.
Instalasi?
Ya, ini pasti instalasi—instalasi birokrasi yang lebih rumit daripada labirin tikus.
Gawat?
Tentu saja, gawat bagi pasien yang sudah megap-megap di kursi roda sambil menatap ruang kosong yang terkunci rapat.
Darurat?
Barangkali, yang darurat adalah kesabaran keluarga pasien yang mulai menipis, bukan penanganannya.
Jadi, IGD ini sebenarnya apa? Instalasi Gagap Doa? Atau mungkin Indo Gagal Diperhatikan?
Namun, di tengah lorong-lorong penuh ratapan itu, ada satu pemandangan yang menarik. Seorang pria dengan kondisi pasien yang tidak darurat membawa KTA (Kartu Tanda Ajaib). Ia berjalan santai menuju pintu bertuliskan “Kelas 1”. Ajaibnya, pintu yang sebelumnya terkunci rapat tiba-tiba terbuka lebar, seperti pintu surga yang menyambut para penghuni beriman.
Sementara itu, di belakangnya, pasien-pasien lain hanya bisa menatap dengan tatapan kosong. Mungkin mereka bertanya-tanya, “Apakah KTA kita bisa membuka pintu itu juga? Apakah KTA itu juga bisa membeli waktu yang tersisa di napas kita?”
Di sudut lain, di atas kursi emas yang tinggi menjulang, duduk para penguasa keputusan. Dengan setumpuk kunci di tangan, mereka tersenyum sambil menyeruput kopi panas. Kunci itu, konon, bisa membuka ruangan apa pun—asal jumlah uang yang disodorkan di atas meja sesuai dengan keinginan.
Sistem kesehatan kita tidak kekurangan profesional berbakat atau peralatan canggih. Namun, yang sering kali hilang adalah empati, rasa keadilan, dan logika dasar yang bahkan anak sekolah pun mengerti: jika ada ruangan kosong, kenapa tidak dipakai?
Tentu saja, biaya pembuatan KTA punya jawabannya sendiri. KTA yang bertuliskan “Kelas 3” dan “Kelas 2” tidak bisa memasuki ruangan kelas untuk KTA bertuliskan “Kelas 1” tanpa adanya biaya tambahan. Konon, KTA itu dicetak dengan tinta yang lebih mahal daripada air mata pasien rakyat biasa di ruang tunggu.
Ironis, bukan? Di negeri yang bangga dengan kekayaan sumber daya alamnya, kesehatan masih menjadi barang mewah. Sebuah ruang kelas di sekolah bisa berpindah tangan dengan mudah, tetapi ruangan di fasilitas kesehatan? Ah, itu cerita lain. Cerita tentang kunci emas, Kartu Tanda Ajaib, dan tas penuh uang.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap semoga pintu-pintu ruangan kosong tak lagi memilih tamu berdasarkan KTA atau tebalnya dompet.
Sementara harapan itu masih menggantung di udara, kita bisa duduk di lorong rumah sakit sambil bertanya dalam hati, “Jadi, IGD itu apa? Apa yang gawat darurat? Instalasi atau Indo apa?”