
Malam ini begitu sunyi dan dingin, hampir mencekam, dan di malam ini, akan kuberanikan diriku untuk mengusulkan hal gila pada suamiku. Hal yang dulu sama sekali tidak ada di pikiranku, bahkan mungkin tetap tidak ada, jika saja aku tidak putus asa.
“Papa, bagaimana kalau kita pergi ke Gunung Slamet, untuk menemui Ki Joko Sumantio, dukun beranak, untuk diberi wejangan, agar saya bisa hamil,” kataku dengan nada halus.
“Mama, Mama kok bisa kepikiran seperti itu? Itu dosa, Ma!” kata suamiku setengah membentak.
Ya, aku tahu ini dosa. Aku dibesarkan dengan ajaran agama selalu disuapi padaku. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku sudah putus asa!
“Papa, sudah 10 tahun kita menikah, tetap belum dikaruniai satu pun anak. Mama mau punya anak, Pa. Anak kandung Mama sendiri.”
Suamiku hanya bisa memalingkan pandangannya dariku. Kami sudah melakukan berbagai cara. Bahkan, sudah ratusan rumah sakit dan puskesmas kami datangi. Berbagai macam pengobatan dan metode tradisional kami jalani. Semua itu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Semua itu, hasilnya nihil.
Aku sudah bermimpi menjadi seorang ibu sejak aku masih berada di sekolah dasar. Seorang ibu yang dapat menggendong anaknya, lalu menemaninya berangkat ke sekolah saat sudah waktunya. Kini, jangankan menggendong anakku sendiri, hamil saja aku belum bisa.
Aku juga takut, bagaimana jika suamiku juga seperti itu? Mau menjadi ayah. Ayah yang disambut oleh anaknya setelah lelah seharian menghitung pajak perusahaannya. Bagaimana kalau ia sudah lelah menungguku? Bagaimana kalau ia sebenarnya main dengan perempuan lain di luar? Perempuan yang dapat memberinya anak.
“Mama, kita sabar aja. Terima aja. Mama enggak usah mikir yang macam-macam.”
Suamiku biasanya selalu bisa menenangkanku dengan kata-kata seperti itu. Dia adalah laki-laki yang sabar, pengertian, dan disukai banyak orang. Dulu, ia tak pernah lelah menemani dan membantu diriku mencari cara agar aku punya anak. Dia juga dulu pernah mengusulkan agar kami mengambil anak penyegar rahim—anak angkat yang dipercaya bisa membuka jalan agar seorang istri hamil. Tapi aku menolaknya. Aku tidak mau mengurus anak orang lain. Aku mau anakku, darah dagingku. Tapi itu dulu, ia tak pernah lagi mengusulkan hal serupa dan terus bersamaku menjalani berbagai terapi untuk membuatku dapat hamil. Namun, kali ini, aku tidak tenang.
“Kita coba dulu, Papa. Mama sangat ingin hamil. Sangat ingin memiliki anak.”
Suamiku terlihat memikirkan jawaban yang akan membuatku tenang.
Tapi aku ragu aku akan tenang. Bukan hanya aku sudah lelah dengan semua terapi dan pengobatan yang kujalani, ia, suamiku, juga berubah akhir-akhir ini. Ia menjadi lebih apatis padaku, lebih banyak mengeluh saat menjalani terapi bersama. Wajar, kan? Bila aku menjadi takut akan ditinggalkan. Tapi tentu aku tidak bisa mengungkapkan semua ini padanya.
“Udah, Ma. Sabar, yang ikhlas. Kan kita mau terapi lagi besok. Kata Dokter Anisah juga, kan, kalau kita rajin-rajin terapi, kita bakal cepat punya anak.”
Ya, kami akan menjalani terapi lagi dengan Dokter Anisah besok. Dokter Anisah, dokter muda yang sudah kami anggap keluarga sendiri, karena ia sudah lama mendampingi terapiku. Dia selalu ramah pada kami, selalu tersenyum saat kami datang. Dia dengan sabar terus membantu kami melakukan terapi. Ia dokter yang paling dipercaya suamiku, dia tidak akan berpikir untuk ke dokter lain kalau belum berkonsultasi dengan Dokter Anisah. Aku juga mempercayainya. Mendengar namanya, aku tidak bisa membantah lagi.
Aku hanya bisa menundukkan kepalaku sambil mengucapkan iya dengan pelan.
Tiba-tiba ada ketukan pintu, menggebu-gebu, dan salam dengan suara yang besar, hampir seperti teriak. Itu Dokter Anisah! Suamiku langsung menuju lantai bawah untuk membukakan pintu, aku tepat di belakangnya. Sampai di depan pintu, suamiku kelihatan ragu dan bingung. Aku tidak menghiraukannya dan membukakan pintu.
“Dokter, ada apa? Kok malam-malam ke sini?” tanyaku heran. Tenaga yang hilang karena kesedihan tadi muncul kembali dalam bentuk penasaran. Suamiku terlihat menundukkan kepala, ia terdiam.
Dokter Anisah, dengan raut muka sedih, bingung, dan marah yang bercampur, menatap wajah suamiku sebelum berkata, “Kamu mau anak, kan, Mas? Tuhan sudah mengabulkan doamu! Aku hamil, Mas!” kata sang dokter dengan bibir tersenyum getir dan mata berlinang air mata.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.