Kerbau itu berdiam di tengah sawah. Warga yang sudah mengepungnya berdiam tak berdaya. Mereka tak sanggup untuk menangkapnya, karena menginjak sawah yang baru rampung ditandur adalah suatu pantangan bagi warga Hulawes.
Kerbau itu kabur dari kandangnya secara membabi buta dan berdiam diri di tengah sawah seharian. Yang mengherankan warga, tak ada satu pun benih padi yang terinjak oleh Si Kerbau yang merangsek masuk ke tengah sawah itu. Betapa hati-hati sekali dia melangkah, tanya hati warga setempat.
“Kerbau edan!” seloroh Pak Herman, Si Kepala Hansip Desa Hulawes.
Seharian, seluruh warga yang hendak menangkap kerbau itu hanya berjajar di pematang sawah. Menyaksikan kerbau dan menunggunya yang tak kunjung keluar sawah untuk kemudian dapat ditangkap. Tidak bisa diapa-apakan lagi, Si Kerbau tetap diam saja di tengah sawah seakan sedang menunggu menunjukkan sesuatu.
“Para warga sekalian, sekarang lebih baik kita pulang dulu saja. Hari sudah mulai gelap. Besok, kita bisa berusaha menangkap Si Kerbau lagi. Atau bagi yang free, silakan, mungkin nanti malam saya akan ke sini sama Pak Herman. Terimakasih sudah pada membantu.” imbau Pak Joha, si pemilik kerbau.
Semua orang berlalu, kerbau itu tetap terpaku di tengah sawah.
Pak Joha tak habis pikir, kerbau yang rutin ia beri makan, mengapa sampai hati mendobrak kandang, menerobos pagar bambu rumahnya, menabrak apa-apa yang menghalangi larinya, dan kabur begitu saja.
*
Setelah isya, Pak Joha dan Pak Herman beserta pasukan Hansip sudah berada di sawah. Sampai larut, kerbau itu tetap tak terpaut. Sudah melemparkan tambang berkali-kali, tak sekalipun menyangkut di kepala Si Kerbau untuk kemudian dapat menariknya keluar sawah. Sehingga, mereka berupaya melancarkan aksi lain dengan mendorong-dorong Si Kerbau dari jauh, menggunakan bambu. Namun kerbau itu tetap tak bergeming. Seketika upaya itu dihentikan karena dirasa dapat melukai Si Kerbau.
Semuanya kehabisan cara. Tak berdaya. Kecuali Erwin, Ia lantas melambai-lambaikan rumput segar, itu cara terakhir, menurutnya. Memancing kerbau dengan menggunakan makanan favoritnya.
“Kamu ngapain Erwin?” Sentak Elwin.
“Mancing! Kan ini kesukaannya?!” timpal Erwin, sambil menunjukkan rumput.
“Edan! Ya, gak kelihatan kali rumputnya juga!”
“Eh, iya, ya! Malam ya,”
Pak Herman menahan senyumnya seraya menatap mata Pak Joha yang matanya berbinar keluhan, menyaksikan tingkah kedua prajuritnya itu. Malam semakin larut, namun Pak Herman beserta pasukan bersiap untuk turut menemani Pak Joha di sawah semalaman, sampai dapat menangkap kerbaunya.
Saat Pak Joha mempersilakan Pak Herman beserta pasukan untuk pulang supaya dapat istirahat dengan nyaman, biar besok pagi saja ke mari lagi, Pak Herman mengatakan, “Kami pantang pulang sebelum menang.”
Pak Joha tersenyum, menyepelekan tekad heroik dari jajaran Hansip yang dikomandoi Pak Herman itu. Dan terbukti, tidak lama dari situ, mereka semua lantas tertidur pulas. Pak Joha hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, menahan senyumnya, memaklumi semuanya, meski benaknya masih dalam keadaan was-was.
Melewati tengah malam, kerbau itu tetap tegar berdiri di tengah sawah. Pak Joha yang kelelahan, akhirnya tumbang juga, tertidur pulas.
**
Adzan subuh mengantarkan semua kembali ke tempatnya masing-masing. Setelah bersiap-siap dari rumah, mereka bergegas lagi untuk pergi ke sawah dengan optimisme tinggi bahwa hari ini kerbau itu pasti bisa ditangkap. Ditambah lagi, warga yang lain bersiap pula untuk membantu. Mereka semua bergegas bersama-sama.
“Woy, lihat!” seru Erwin. Ia menunjukkan tahi kerbau yang menggunung di pinggir jalan, seberang pematang sawah.
Semua warga tercengang. Tapi itu adalah pertanda bagus bahwa Si Kerbau ternyata mau keluar juga dari sawah, pikir Pak Joha. Apa yang ditemukan Erwin itu pasti dari kerbaunya. Sebab kemarin, seharian ia di sawah, tak ada satu pun kerbau lain yang berlalu ke daerah itu.
“Saudara-saudara! Ini bisa kita jadikan sebagai informasi untuk bahan analisis. Bahwa ternyata Si Kerbau mau keluar juga dari tengah sawah. Jadi menurut Saya, kita jangan mengepungnya dari dekat seperti ini, tapi harus mengintainya dari jauh. Kita tunggu sampai nanti kerbau itu keluar lagi dari tengah sawah, baru kita sergap bersama-sama!” imbau Pak Joha.
“Maksudnya nunggu kerbau itu mau berak lagi, Pak?” seloroh Erwin.
“Ya gak perlu pake nanya lagi dong, Win!” Pak Herman menimpali.
Seluruh warga menyoraki Erwin yang bersoloroh seperti itu. Lantas melaksanakan intruksi Pak Joha.
Sore menjelang, Pak Joha bersama warga mengintai dari jauh dan dari tadi. Oleh sebab itu, diantara mereka ada yang tertidur lelah, ada yang mengeluh kelamaan, ada yang riang menunggu aksi, ada yang santai sambil makan camilan, ada yang ngopi sambil diskusi soal negara, ada yang main gaple, bahkan ada juga yang memilih pulang; pergi dari persawahan.
Namun fokus Pak Joha tak terpengaruhi oleh itu semua. Ia tetap mengintai dan berterima kasih kepada warga yang telah membersamainya dalam usaha apalagi doa. Kala mentari hendak membenamkan diri, semua warga mulai berdiri untuk menentukan sikap. Karena apabila hari mulai gelap, itu artinya mereka harus menyalakan lampu-lampu di rumahnya, menutup gorden, merapatkan pintu, membasuh jiwa raga, sebelum menggelarkan kain kenyamanan.
Mentari yang turun sedikit demi sedikit, begitu romantis dilihat warga yang melihatnya. Sedikit demi sedikit pula, mereka menyiapkan diri untuk segera bergegas. Pandangan Pak Joha yang tak lengah sedikitpun melihat kerbaunya, tak kalah merasakan keromantisan itu. Ia melihat kerbaunya sedikit demi sedikit berjalan ke luar sawah. Tak peduli apakah kerbaunya mau berak atau apa, Pak Joha menyeru semuanya berdiri siap siaga untuk menyergap; menangkap kerbaunya.
Sebagian warga yang sudah berdiri sedari tadi, akhirnya menentukan sikapnya yaitu hendak membantu Pak Joha. Ketika kerbau itu keluar dari sawah, sergapan warga masuk. Dan Pak Herman beserta jajarannya mampu menjerat Si Kerbau. Kemudian Pak Joha menutup kepala Si Kerbau dengan kain, sebagai jurus pamungkas untuk menundukkan kerbau gila; yang membabi buta. Tambang berhasil diikatkan di lehernya, Si kerbau berhasil dikuasi dan dibawa pulang kembali ke kandang.
“Allahu Akbar!” “Alhamdulillah!” Dzikrullah dikumandangkan oleh orang-orang yang menyaksikan keagungan-Nya.
“Huuhhhuuuu!” “Horeeee!” Sorak sorai menjadi ekspresi kekuatan yang tetap terjaga, sebab berangkat dari kebersamaan.
Kegembiraan, rasa syukur, mengiringi langkah semuanya kembali ke perkampungan. Kain yang menutup muka kerbau, tak dilepaskan, sampai Pak Joha menentukan sikap. Apakah hendak melanjutkan penggembalaannya, atau mau mengeksekusi mati hewan gembalaannya itu?
***
Keesokan harinya, muka kerbau masih tertutup. Sedang Pak Joha membuka silaturahmi bersama Pak Dadi, pemilik sawah yang kemarin kerbaunya berdiam di sana. Pak Joha memohon maaf atas kerbaunya yang barangkali merusak sawah Pak Dadi karena sekonyong-konyong merangsek masuk ke tengah sawah.
“Tidak apa-apa Pak Jo, kemarin itu kan musibah. Lagi pula, tidak ada kerusakan kok di sawahnya. Kemarin kan kita lihat tidak ada benih padi yang terinjak Si kerbau.” reaksi Pak Dadi.
Pak Joha yang masih merasa tidak enak dan dalam keraguan, mengajak Pak Dadi untuk melihat sawahnya lagi bersama-sama. Supaya dapat dipastikan bersama, apakah ada kerusakan atau tidak. Pak Dadi mengiyakan. Karena kebetulan Beliau memang hendak berangkat ke sawah saat itu.
Dari kejauhan, terlihat ada orang yang sedang jongkok di sawah Pak Dadi. Posisinya yang tampak berada tidak di pematang sawah, membuat langkah mereka berdua dipercepat. Semakin dekat, semakin jelas. Orang itu jongkok di dalam sawah, tanpa celana. Baju compang-camping, kulit dekil dan juga rambut gondrong lengket yang tampak, membuat Pak Dadi geleng-geleng kepala.
“Woy, sedang apa woy!” sentak Pak Joha.
Orang itu berak di sawah.
“Woyy!!!” Kencang teriak Pak Joha.
Orang itu langsung terbirit-birit.
“Orang gila,” Pak Joha melongo.
Dalam kagetnya, Pak Dadi menahan senyuman seraya berkata, “Segila-gilanya kerbau (kemarin), dia enggak berani berak di sawah. Tapi orang gila, …. haduuuh,”
Pak Dadi lantas menunjukkan kepada Pak Joha bahwa sawahnya tidak mengalami kerusakan. Selain dikotori kotoran yang baru saja ada yang membuangnya sembarangan ke sawah. Pak Joha menganggukkan kepalanya kemudian menggeleng-gelengkannya. Tanpa basa-basi, Beliau langsung membuang kotoran itu dari sawah. Ya, Pak Joha menginjak sawah, masuk ke sawah. Ada urgensi yang memaksa untuk mendobrak suatu pantangan. Mau bagaimana lagi?!
****
Itu cerita yang didapat Adam dari Ayahnya, di sela-sela makan bersama keluarga untuk pertama kalinya lagi setelah Ayahnya pulang dari Hulawes.
“Tapi, Pak, kan kerbau mah gak punya akal, kenapa bisa disebut gila?” tanya Adam.
Ayahnya tersedak, kemudian tertawa kecil. “Ini nih, yang Bapak kangen dari kamu, Dam. Nanti sesudah beres makan, kita diskusi ya, di teras.” kata Ayah Adam. Beliau lanjut minum.
Adam menjawab, “Mau diskusi tentang apa, Pak? Adam kan belum tahu, belum persiapan, belum baca-baca dulu. Tapi, ya udah, sok, Pak, mau diskusi tentang apa, tapi Adam minta waktu, biar baca-baca dulu.”
Ayah Adam melanjutkan tawa kecilnya, seraya berkata, “Sekarang metodenya dibalik aja, membacanya setelah diskusi. Setelah berdiskusi, Kamu kan pasti mendapatkan informasi baru. Nah, baru nanti kamu baca-baca bacaan buat verifikasi. Bisa kan gitu?!”
“Wah, iya, sih, Pak, bisa. Tapi itu gimana Pak, kerbau kok bisa disebut gila?” penasaran Adam.
“Jadi gini, persoalannya karena kerbau itu kan udah dikasih kandang, udah diurusi, tapi malah milih ingin diam di tengah sawah, dengan membabi buta pula, pergi ke sana. Makanya disebut gila. Bukan soal punya akal.” jelas Ayah Adam, tersenyum.
Di Teras
“Menurutmu, padi, gabah, beras, dan nasi itu adalah hal yang satu atau hal yang berbeda-beda?” tanya Ayah Adam.
Adam bingung. Benaknya ingin menjawab beda, tapi apa yang dipertanyakan itu memang adalah suatu kesatuan. Adam hanya menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Tapi, ya, kalau kamu ingin kenyang, yang harus kamu makan itu kan nasi. Meski dengan begitu, bukan berarti kamu harus memberangus eksistensi padi, gabah, atau beras kan, ya?!” Papar Ayah Adam.
Adam terdiam, mencerna pemaparan Ayahnya.
“Umpamanya, benih padi itu suhuf, padi itu zabur, gabah itu taurat, beras itu injil, dan nasi adalah al-quran, maka kalaulah perdamaian itu seumpama kenyang, kita mafhum kan harus memakan apa.”
Adam berpikir dalam-dalam, merenungkan apa yang diungkapkan Ayahnya. Lantas Ia mengungkapkan pula apa yang terbersit dalam benaknya. “Aku pikir, Bapak itu termasuk kaum intelektual. Dulu Bapak kuliah di mana sih?”
Dan lagi, Ayah Adam dibuat tertawa kecil oleh puteranya. “Kalau boleh jujur, yang namanya kaum intelektual itu sebenarnya adalah seorang pembaca, bukan seorang mahasiswa. Tapi kalau pikir Adam bahwa kaum intelektual itu mahasiswa, ya itu harus bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, Adam sebagai mahasiswa harus menjadi orang yang giat membaca. Karena di luar sana, banyak orang yang terpaksa tidak bisa masuk dunia kampus, tapi terstruktur, sistematis dan masif dalam giat membaca. Sekarang mulai banyak orang yang berkuliah di universitas alam semesta. Mengambil jurusan ilmu kehidupan. Bahkan dengan kejujurannya dalam menimba ilmu, mereka mampu komprehensif dalam belajar. Tidak sekuler! Lagi pula, kalau Adam banyak-banyak membaca, jadi sudah siap sedia setiap saat kan untuk berdiskusi dengan Bapak,”
Adam mengangguk-angguk, mengamini yang disampaikan Ayahnya. Lantas ia mencium tangan Ayahnya seraya kembali bertanya, “Menurut Bapak, kalau di negara ini masih ada yang kelaparan, itu kenapa?”
“Ya artinya, nasi masih belum benar-benar dijadikan makanan pokok.”