Dalam aksi #daruratdemokrasi kemarin, ada beberapa pendapat yang menurut saya terlalu subyektif untuk sekadar membenarkan satu pandangan, ya semacam “Idih sok aktivis!” “Repost-repost kayak gitu kayak yang ngerti aja.” “IWH. FOMO banget padahal gak ngerti apa-apa.” gitu lah. Ada juga yang tadinya aktif, terus sekarang terlihat tidak vokal lalu dibully “Mana nih yang katanya aktivis?” “Si paling aktivis kalau udah jadi buruh langsung bungkam, ya?”
Padahal, dalam perjalanan hidup, terutama dalam perjuangan yang menuntut komitmen dan dedikasi, tidak semua orang memiliki energi dan kapasitas yang sama. Ada kalanya seseorang merasa kelelahan, membutuhkan waktu untuk istirahat, atau bahkan merasa perlu untuk melepaskan diri. Di sisi lain, ada juga yang tetap berapi-api, dengan semangat yang terus berkobar. Semua ini adalah bagian dari dinamika yang alami dalam sebuah pergerakan atau perjuangan kolektif. Menghormati ritme individu dalam konteks perjuangan ini adalah kunci untuk membangun solidaritas yang ajeg dan kontinyu.
Padahal, ketika kamu lelah dan pingin diam dulu itu gakpapa, kok. Kamu capek teriak dan kamu minum dulu sedikit, itu gakpapa, kok. Yang penting adalah tubuhmu bisa refresh lagi. Orang hidup juga kan harus tidur dulu biar bangun lagi. Bukan terus-terusan bangun 24 jam, kan?
1. Yang Lelah, Istirahatlah
Kelelahan adalah sinyal alami dari tubuh dan jiwa yang meminta jeda. Dalam perjuangan yang panjang, seperti advokasi sosial, politik, atau gerakan komunitas, kelelahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mengakui kelelahan dan memberi diri waktu untuk beristirahat bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah keharusan untuk menjaga keseimbangan. Istirahat memberikan ruang untuk refleksi, regenerasi energi, dan memperbaharui perspektif. Dengan istirahat yang cukup, seseorang dapat kembali ke dalam perjuangan dengan kekuatan yang diperbaharui, siap untuk melanjutkan langkah berikutnya.
2. Yang Menyerah, Tentukan Batas Keterlibatanmu
Tidak semua orang dapat atau ingin terus terlibat dalam perjuangan yang intensif sepanjang waktu. Setiap individu memiliki batas keterlibatan yang berbeda, dan menghormati batas ini adalah penting untuk keberlanjutan diri dan kolektif. Menyerah atau mundur dari suatu perjuangan bukan berarti mengkhianati tujuan, melainkan sebuah langkah yang diperlukan bagi sebagian orang untuk menjaga kesehatan mental dan emosional mereka. Bisa berjuang dengan cara lain semampunya sesuai dengan peran yang dimilikinya.
Kebebasan untuk menentukan batas keterlibatan juga memberi ruang bagi orang untuk terlibat dalam cara-cara yang lebih sesuai dengan kondisi mereka. Mungkin mereka tidak berada di garis depan, tetapi masih bisa berkontribusi dengan cara lain—menulis, berdonasi, menggambar, bermain musik, melapak baca walau tidak ada yang baca atau sekadar menjadi pendukung moral. Dalam perjuangan yang besar, setiap kontribusi, sekecil apapun, tetap berharga.
3. Yang Berapi-api, Kamu Tidak Sendirian
Bagi mereka yang tetap berapi-api, yang semangatnya tak pernah padam, mengetahui bahwa mereka tidak sendirian adalah sumber kekuatan yang besar. Solidaritas adalah bahan bakar yang menjaga nyala api tetap menyala. Ketika seorang individu yang bersemangat menyadari bahwa ada orang lain yang juga berdiri di sisi mereka, yang berbagi tujuan dan visi yang sama, semangat mereka menjadi lebih kuat.
Perjuangan kolektif tidak hanya membutuhkan mereka yang berada di garis depan, tetapi juga jaringan dukungan yang luas, yang saling menguatkan dan menopang. Dalam solidaritas ini, mereka yang berapi-api dapat berbagi beban, merasakan kebersamaan, dan menemukan inspirasi dari rekan-rekan seperjuangan. Ini adalah pengingat bahwa perjuangan ini bukan hanya milik satu orang, tetapi milik semua yang terlibat.
Saya sepakat dengan tweet Pandji Pragiwaksono di akun X-nya,
“Yang ikut demo, disindir hanya ikut2an. Yang ga ikut demo, disindir tidak solidaritas kepada kawan. Yang menikmati, kubu lawan. Padahal sesungguhnya, tidak ada perjuangan kecil, tidak ada perjuangan besar.”
Setiap perjuangan, baik besar maupun kecil, adalah perjalanan yang membutuhkan keragaman peran dan ritme. Yang lelah berhak untuk istirahat, yang menyerah memiliki kebebasan untuk menentukan batas keterlibatannya, dan yang berapi-api tidak perlu merasa sendirian. Saling menghormati dan mendukung dalam perbedaan ini, kita dapat membangun sebuah gerakan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan kuat. Kebersamaan yang menghargai setiap individu, kita dapat mencapai tujuan bersama dengan lebih kokoh dan bermakna. Tapi, ingat ini bukan akhir dari perjuangan, masih banyak undang-undang yang belum disahkan seperti undang-undang perampasan aset, undang-undang tentang perlindungan pekerjaan rumah tangga dan masih banyak dosa-dosa negara lainnya. Maka teruslah melawan, jangan lengah, dan kalau boleh saran sering-sering begadang karena DPR memutuskan kebijakan hampir di tiap waktu malam hari serta dalam tempo yang sesingkat- singkatnya.