Di Samudera Nusantara, hukum digadang-gadang adil, tetapi ikan-ikan kecil segera dihukum sementara si hiu besar terus merajalela, hingga keberanian seekor ikan badut mengguncang tatanan yang timpang.
Ikan Hiu dan Pagar Laut

Pada suatu masa, di kerajaan bawah laut yang megah bernama Samudra Nusantara, hiduplah beragam makhluk laut dalam harmoni yang semu. Ada yang kecil mungil seperti ikan teri, berenang di sela-sela karang dengan takut-takut. Ada yang sedang seperti kerapu, diam tenang seolah tak tergoyahkan. Dan ada pula yang besar serta gagah seperti hiu dan lumba-lumba, menguasai perairan dengan kewibawaan yang sulit dilawan.
Kerajaan ini dikenal dengan hukum yang digadang-gadang tegas, ibarat rantai yang mengikat semua penghuni laut demi ketertiban. Namun, di balik kemegahan hukum itu, ada sesuatu yang kerap terlupakan: suara ikan kecil yang nyaris tak pernah didengar.
Raja Samudra, seekor paus tua yang dipuji sebagai lambang kebijaksanaan, sering mengadakan sidang besar, berujar bahwa keadilan adalah hak semua makhluk. Tapi, benarkah keadilan itu nyata, atau hanya gema kata yang tenggelam di kedalaman lautan?
Benar saja, di kerajaan yang menjunjung tinggi keadilan itu, ada sesuatu yang menciptakan riak kekaguman. Ketika seekor ikan teri kecil mencuri sebutir telur plankton dari ladang milik udang, pasukan kepiting penjaga segera bergerak—cepat seperti gelombang pasang yang tak memberi ruang untuk melawan.
Dengan cambuk rumput laut di tangan, mereka menggiring si teri mungil ke hadapan Raja Samudra, wajahnya penuh ketakutan. Dalam sekejap, tanpa banyak kata, hukuman pun dijatuhkan: membersihkan terumbu karang selama sebulan penuh tanpa istirahat.
Hebat, bukan? Pencuri kecil yang sulit ditemukan itu kini tertangkap hanya dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Lihatlah, hukum di Samudra Nusantara ini adil dan tegas!” seru Raja Samudra dengan kebanggaan yang menggema hingga dasar laut. “Tak peduli besar atau kecil, semua makhluk harus tunduk pada aturan kita!”
Namun, di sudut lain lautan, di antara bayang-bayang karang yang remang, seekor hiu besar bersantai setelah puas melahap bukan hanya sebutir telur plankton, tetapi seluruh ladang rumput laut yang menjadi tumpuan hidup ikan-ikan kecil.
Bukan hanya mencuri, si hiu juga memasang pagar-pagar karang, mengklaim wilayah yang seharusnya menjadi jalur kehidupan. Teriakan protes para penghuni kecil tak lebih dari bisikan rapuh yang teredam oleh gertakan si hiu. Mereka bungkam, terkungkung dalam ketakutan. Di hadapan keangkuhan si hiu, hukum kerajaan tampak seperti jaring lemah yang hanya sanggup menjerat yang kecil, tapi koyak saat menghadapi yang kuat.
Anehnya, pasukan kepiting penjaga yang begitu gesit menangkap ikan teri mendadak kehilangan kegesitannya saat mendengar laporan tentang si hiu. Mereka saling melirik, menggaruk-garuk cangkang dengan ragu, seolah-olah kata keadilan menjadi beban yang terlalu berat untuk diangkat.
“Kami masih menyelidiki,” ujar salah satu kepiting dengan suara pelan, seolah takut terdengar oleh si hiu. “Butuh waktu untuk memastikan siapa pelakunya.”
“Tapi bukankah sudah terang benderang bahwa si hiu pelakunya?” sergah seekor ikan badut yang kebetulan melintas. Ia menunjuk ke arah ladang rumput laut yang tandus, sisa kehancurannya jelas seperti bekas gigitan besar. “Dia bahkan dengan sombong mengakuinya di depan umum!”
“Ah, tidak semudah itu,” balas kepiting lain sambil menggelengkan antenanya, matanya menghindari tatapan si ikan badut. “Kami perlu mengumpulkan bukti lebih banyak. Lagipula, mungkin ini hanya kesalahpahaman?”
Hari-hari bergulir seperti ombak yang tak henti menghantam terumbu karang. Namun, si hiu tetap melahap sumber daya laut tanpa hambatan, puas menikmati kuasanya. Para penghuni kecil hanya bisa menggertakkan gigi di tengah desakan perut yang mulai kosong, sambil menggumamkan keluhan yang mereka tahu akan tenggelam di kedalaman tak berujung.
“Mengapa hukum seolah menjadi kilat bagi kami yang kecil, tapi berubah menjadi angin sepoi-sepoi saat menghadapi mereka yang besar? Di mana keadilan itu, jika bukti di depan mata sekalipun masih disebut khayalan?”
Di suatu malam yang tenang, di bawah sinar rembulan yang menembus lautan, seekor kura-kura tua yang sarat pengalaman berkumpul bersama para ikan kecil di sudut terumbu karang. Dengan suara pelan yang membawa beban kebijaksanaan, ia berujar,
“Anak-anak, hukum di kerajaan kita ini ibarat jaring ikan. Jaring itu dirajut dengan lubang-lubang kecil, cukup rapat untuk menangkap kalian yang kecil dan lemah. Tetapi, untuk si hiu, lubang-lubang itu terlalu kecil. Ia selalu bisa meloloskan diri, seolah jaring itu memang dibuat hanya untuk ikan kecil.”
Kata-kata itu seperti riak yang menyentuh hati mereka, membuat para ikan kecil menunduk dengan kesedihan yang tak mampu disembunyikan. Seolah angin dingin melintasi dasar laut, mereka merasa tak berdaya di hadapan kenyataan.
Namun, dari kejauhan, suara lantang seekor ikan badut kecil memecah keheningan.
“Kalau begitu, mari kita jahit ulang jaring itu! Kita rapatkan celahnya, agar tak ada lagi hiu yang bisa lolos!”
Kata-kata penuh keberanian itu seperti percikan cahaya di tengah gelap. Perlahan namun pasti, para ikan kecil mulai bergerak. Dengan sirip mungil mereka, mereka bekerja bersama untuk memperbaiki jaring hukum yang telah usang.
Jaring yang selama ini berpihak pada yang kuat kini mulai berubah. Benang demi benang diperkuat oleh semangat mereka. Karena mereka akhirnya sadar, keadilan sejati bukanlah soal siapa yang besar atau kecil, melainkan soal keberanian untuk berdiri tegak, menantang ketidakadilan, dan menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.
Hingga suatu saat, kabar tentang si hiu dan pagar-pagar karang yang mengekang kebebasan makhluk laut itu mulai mencuat ke jagat lautan yang luas. Isu ini menarik perhatian penduduk laut dari belahan dunia yang jauh, bahkan menggugah media-media besar untuk turun tangan, berharap dapat mewujudkan keadilan yang selama ini tertunda.
Akhirnya, pasukan kepiting pun diutus untuk menyegel kawasan yang telah dipagari oleh si hiu. Namun, segel itu—meskipun berwibawa—tampak lemah, bagaikan karang rapuh yang tergerus ombak. Si hiu, bersama anak buahnya yang tak kalah kuat, terus memperluas pagarannya, dan kerugian pun mulai dirasakan oleh banyak penghuni laut.
Namun, teriakan lantang dari ikan badut yang selama ini dianggap bodoh dan tak tahu diri tak dapat dipandang sebelah mata lagi. Kata-katanya yang sederhana namun penuh semangat menjadi bara api yang membakar hati ikan-ikan lain. Mereka bersatu, menuntut agar pagar-pagar karang itu dicabut dan si hiu ditangkap, seperti yang dijanjikan oleh hukum Samudra Nusantara.
Hari demi hari berlalu, dan akhirnya, Raja Samudra yang bijaksana, sang paus yang selama ini memimpin dengan keheningan, memerintahkan pencabutan pagar-pagar karang itu.
Namun, si hiu tetap berada di kedalamannya. Tak ada kabar apakah ia akan dihukum sebagaimana mestinya.
Apakah si hiu akan diadili? Ataukah ia akan terus melanjutkan kekuasaannya yang tak terbendung?
Waktu yang akan menjawab.
Namun, meskipun kisah ini berputar di sekitar si hiu dan ikan badut, sesungguhnya ini bukan tentang mereka. Ini adalah kisah tentang kita semua.
Tentang bagaimana kita berani melawan ketidakadilan yang menyelimuti kita, tentang bagaimana keberanian dari yang kecil dapat mengguncang dunia, dan bagaimana kita harus selalu menjaga agar hukum tidak hanya menjadi kata-kata, tetapi sebuah kekuatan yang berlaku tanpa pandang bulu.
Leave a Comment