Pada mulanya saya mengira jika makhluk yang baru terlahir ke bumi selalu dalam keadaan kosong, atau dalam pengertian epistimologi Jhon Locke disebut dengan Tabularasa (kertas kosong). Wajar saja jika sebagian besar menganggap demikian, sebab ketika makhluk terlahir ke bumi, ia berada dalam keadaan ringkih, lunak, dan menujukkan kelemahannya.
Dalam makna lain, kertas kosong tersebut harus diisi dengan coretan-coretan berupa pengalaman dan persepsi dari dunia luar. Berangkat dari pemahaman ini sebagai titik tolaknya. Bagi saya, anggapan bahwa manusia terlahir seperti halnya kertas kosong terlalu menyederhanakan potensi manusia. Manusia tentu lebih dari selembaran kertas kosong. Manusia juga merupakan kholifah (pemimpin) di muka bumi ini, tidak serta-merta ditunjuk sebagai pemimpin jika bukan karena dapat jatah kecerdasan lebih banyak dari Sang Pencipta.
Setiap makhluk yang terlahir ke bumi atau terlempar kedalam kehidupan ini, sejatinya telah mewarisi pengetahuan Tuhan dalam dirinya. Bisa disebut juga makhluk mewarisi genetik berupa kecerdasan penciptanya.
Pengetahuan Tuhan tersebut mengendap pada masing-masing potensi makhluknya waktu seseorang dilahirkan. Potensi yan hanya akan muncul ke permukaan bersamaan dengan momentum-nya masing-masing. Sebagai penjelasan, prinsip momentum adalah reaksi cahaya yang dapat menambah energi setiap kali terjadi tumbukan atau tabrakan pada sesuatu. Prinsip ini merujuk pada teori Arthur H. Compton.
Contohnya, proses momentum pada burung. Burung tidak akan seketika dapat terbang jika tidak ada proses yang men-trigger-nya, baik itu berupa lapar ataupun ancaman. Momentum tersebut memaksa seakan-akan agar burung tidak punya pilihan lain selain, ia harus terbang untuk mencari makan atau terbang agar terhindar dari predator yang memangsanya.
Perlu digaris bawahi bahwa demikianlah burung dapat terbang, karena ia mempunyai potensi bawaan sejak ia dilahirkan. Sedangkan teori Tabularasa menganggap jika makhluk atau secara sepesifik menyebutkan manusia, terlahir kosong dan tanpa isi mental bawaan. Bukankah pengalaman atau persepsi dunia luar hanyalah bagian dari informasi, hanya berfungsi menstimulus kecerdasan manusia yang sudah lama ada?
Manusia mulai berkeinginan untuk belajar lalu bekerja mencari uang, hal-hal semacam itu tentu tidak terlepas dari adanya momentum lapar. Sehingga mereka berpikir lebih keras untuk bisa dapatkan makan.
Seiring dengan perkembangan berpikir, manusia acapkali berupaya memenuhi segala kebutuhanya -dan seringkali juga memenuhi segala yang tidak dibutuhkannya. Wajar saja jika manusia dijuluki makhluk ambisisus. Apalagi, dengan kemampuan berpikir yang terus-terusan berkembang itu, ia juga menempati posisi penting di bumi untuk mendaya gunakan ‘potensi’ bumi.
Manusia dapat memaksimalkan potensi tersebut, tanpa harus menempuh proses momentum alamiah layaknya burung terbang tadi. Sebab manusia tak lagi harus menunggu lapar untuk makan, manusia tidak selalu harus benar-benar merasa butuh untuk mendapatkan semua yang diinginkannya.
Pada mulanya manusia merekayasa kecerdasan mereka dengan cara belajar, membaca, merasa, berlatih dan bereksperimen. Tidak butuh waktu lama untuk manusia menjadi sedemikian pintar, hanya dengan bermodalkan keinginan dan tekad yang kuat.
Tetapi sangat disayangkan, lambat-laun manusia semakin berambisi menujukan ciri-ciri kelewat batas, mulai berpikir untuk mendaptkan keuntungan sebanyak mungkin dengan usaha sedikit mungkin.
Hal-hal semacam ini tentu saja menyalahi hukum equivalent exchange (pertukaran setara) yang diyakini sebagai kebenaran universal, dan siapapun manusia yang tidak berpedoman pada hukum ini sudah dipastikan melenceng dari jalur kebenaran, dan menggapai segala cara untuk mencapai yang diinginkan. Semisal darmaji waktu makan gorengan di Warkop. Iya, darmaji. Dahar lima ngaku hiji. Di mana letak pertukaran setaranya ketika makan cireng 5 tapi cuma bayar 1?
Oleh sebab itu, potensi besar pada manusia sangat rawan menjadikannya makhluk kurang ajar dan angkuh. Seringkali melupakan tujuan besarnya di dunia ini.
Tetapi terlepas dari diskursus manusia sebagai makhluk pembangkang yang tak tau diri, yang perlu diingat adalah prinsip “momentum” merupakan cara Tuhan untuk mengeluarkan potensi terbaik makhluknya, seringkali berupa serangkaian masalah, kesulitan, ketakutan, perasaan cemas. Itu semua tentu saja terjadi atas dasar perhatian Tuhan, supaya manusia senantiasa tumbuh.
Bukankah dalam kondisi tertekan manusia dapat menunjukan performa terbaiknya? Dengan demikianlah potensi yang mengendap pada masing-masing manusia, akan muncul kepermukaan dan menjadi bekal untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Jadi, jangan pernah merasa takut saat kamu berpikir hidupmu saat ini begitu sulit. Tuhan pasti akan terus push you to the limit! karena Tuhan tahu kamu bisa dan itu pasti!