Silakan skip tulisan ini jika kamu punya ekspektasi lebih dari tulisan ini, saya akan berbagi siasat bagaimana cara menyaingi Tere Liye atau J. K. Rowling. Tentu saja, karena realitanya saya jelas belum bisa menyaingi beliau berdua, tapi memang kali ini saya telah memutuskan akan kembali menjadi pendongeng.
Dari Perjalanan Panjang Kelahiran Oday Ingin Jadi Anjing, saya sudah mendongeng panjang lebar mengenai perjalanan kepenulisan saya sampai akhirnya bisa melahirkan kumcer pertama. Maka, kali ini saya akan kembali mendongeng panjang lebar mengenai perjalanan panjang tentang kepenulisan saya dalam konteks mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
Beberapa orang mungkin sudah tahu, saya pertama kali mendapat ‘honor’ dari menulis saat masih duduk di bangku SMP. Saya tidak terlalu ingat bagaimana semuanya bermula, saya yang kala itu baru mulai mengenal Facebook terhubung dengan seseorang yang menawari saya pekerjaan untuk menulis artikel topik kesehatan. Kemumetan yang tercipta dari proses menulis artikel yang bahan-bahannya saya ambil dari buku tentang herbal yang dibeli ibu saya waktu dihargai voucher pulsa 3 ribu rupiah.
Tapi sayangnya, kala itu saya hanya bisa mencicipi honor dari 1 tulisan saja, karena saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu setelah tidak terima mendapat masukan dari si klien pertama saya itu kalau tulisan saya masih ada sedikit kekurangan dan perlu dipoles di beberapa bagian.
Masuk ke jenjang SMA, saya tak begitu tertarik menjadikan menulis sebagai sarana mengumpulkan uang jajan. Hidup di Pesantren selama setahun di awal SMA membuat saya lebih tertarik tebar pesona kepada teman-teman lain sebagai seorang yang (merasa dirinya sendiri) cakap menulis dengan ikut-ikutan mengisi mading pesantren. Dua tahun sisanya saya habiskan untuk mencari pengakuan dan tambahan uang jajan dengan ikut ajang olimpiade sains.
Barulah saat duduk di bangku kuliah, saya kembali mencoba mengumpulkan uang jajan dengan menulis. Setelah beberapa kali percobaan, tulisan saya akhirnya dimuat di salah satu surat kabar di Jogja. Honor yang setara seperempat jumlah kiriman bapak saya setiap bulan itu habis setelah 2X nraktir mas pacar kala itu ke warung kopi. Ckckck bucin ngenes.
Sejak saat itu saya juga mulai lebih intens menulis dan beberapa kali mengikuti perlombaan menulis yang tentu bukan hanya sekedar untuk mencari eksistensi tapi juga agar bisa sering-sering nraktir mas pacar kala itu ke warung kopi. Ckckck bucin ngenes (lagi).
Saat akhirnya harus pulang ke rumah, pada awalnya saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk meratapi keadaan. Sampai akhirnya, akibat kebodohan saya sendiri yang membiarkan seseorang menggunakan KTP saya untuk mengajukan pinjol, seorang debt collector datang ke rumah. Dia menagih pembayaran yang mengatas namakan saya. Merasa tak punya banyak pilihan (tak mungkin juga meminta kepada orang tua yang memang tak sekaya Raffi Ahmad atau Tasya Farasya), saya mencoba mencari cara mendapatkan uang dengan kondisi yang tak bisa pergi kemana-mana itu.
Setelah beberapa waktu mencari, saya akhirnya mencoba mengirim penawaran di salah satu grup freelancer di Facebook. Berbekal narasi yang menjual kesedihan tentang kondisi kesehatan saya dan pengalaman pernah menulis artikel (yang padahal cuma satu artikel itu), saya kembali mendapat tawaran pekerjaan untuk menulis artikel yang lagi-lagi soal topik kesehatan. Tentu saja kali ini honornya sedikit lebih manusiawi. Ya walaupun setelah diingat-ingat dan dipikir-pikir honor 50 ribu rupiah untuk 4 tulisan 1000 kata itu lumayan mencekik juga. *Apalagi nyimpang meureun:(
Seiring berjalannya waktu, saya mulai melebarkan sayap ke bidang kepenulisan yang lain. Bukan hanya artikel informatif, saya juga mulai mencoba menulis artikel-artikel soft selling untuk keperluan promosi produk atau layanan klien. Uang yang terkumpul sedikit demi sedikit itu juga pada akhirnya membuat saya mendapat surat lunas dari debt collector bahkan masih tersisa untuk mengambil kelas-kelas kepenulisan berbayar.
Saya juga terus melebarkan sayap ke penulisan-penulisan berbayar lainnya termasuk menulis script untuk keperluan konten-konten YouTube klien dan copywriting. Belakangan saya juga memutuskan untuk bergabung ke digital agency sebagai pekerja full time yang mendapat gaji + bonus setiap bulan seperti pegawai pada umumnya.
Kebanyakan pekerjaan itu saya dapat dari grup-grup freelancer di Facebook. Siapa sangka kemampuan menulis a la kadarnya yang saya miliki bisa membantu saya melunasi utang bahkan kemudian membantu saya membeli barang-barang impian menggunakan uang sendiri? Meskipun upah menulis saya saat ini belum setinggi UMR tertinggi di Indonesia, saya cukup merasa bahagia bisa tetap memenuhi hasrat jajan yang menggebu-gebu dan menyambung hidup menggunakan upah yang didapat dari menulis.
Bisa jadi akan ada yang kurang setuju dengan langkah saya menjadikan proses menulis yang digadang-gadang setara ritual keagamaan yang sakral nan luhur ini sebagai sarana mengais rupiah. Toh saya pun sering berfikir demikian. Saya sering menganggap seseorang yang telah memutuskan untuk menyebut diri sebagai penulis harus benar-benar mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menulis. Hanya untuk menulis, tanpa embel-embel dan pamrih apapun. Karena sekali lagi, kegiatan menuangkan ide dan pemikiran lewat tulisan itu benar-benar sakral seperti halnya ritual keagamaan. Bagaimanapun juga, seseorang yang telah memutuskan untuk menyebut diri sebagai penulis harus kaffah dalam memperjuangkan hidup untuk terus menulis, bukan menulis untuk melanjutkan hidup.
Tapi belakangan saya rasa, baik hidup untuk menulis ataupun menulis untuk hidup sama-sama tak ada yang salah. Saya masih menganggap orang yang menulis untuk menuangkan isi kepala dalam bentuk yang tanpa unsur paksaan apapun, terutama urusan keuangan adalah puncak kekerenan yang hakiki. Tapi di sisi lain, untuk beberapa kesempatan saya juga mengamini seseorang boleh tetap menulis untuk melanjutkan hidup. Seseorang boleh tetap menulis agar tetap bisa mempertahankan eksistensinya di dunia. Dan terakhir, seseorang juga boleh tetap menulis dan menerbitkannya bersama Nyimpang agar ketika gebetannya mencari namanya di mesin pencari kelak, yang muncul bukan hanya profil Facebook dan database NISN Kemendikbud.