Dalam rangka menindak lanjuti tulisan Mang Fahrul yang ini, saya jadi ingin ngomong juga. Kemarin, saya teleponan sama teman saya yang sudah lama bekerja di industri tambang. Saya rasa, semenjak Watchdoc merilis Sexy Killers, banyak mata lebih terbuka dan lebih awas terhadap industri tambang dan politik, tentu za. Terlebih sebelumnya, citra Jokowi memang domba banget, lah. Gak kelihatan sehelaipun bulu serigalanya.
Saya kemudian ngobrol sama teman saya ini. Ya macam-macam, mulai dari pertanyaan apa kabar, ketawa-ketiwi cerita lama, sampai ke isu demonstrasi kemarin. Kami kemudian saling ledek, hal-hal semacam:
“Gak nyangka sih kamu masuk industri sekotor itu. Kamu kan aktivis banget.“
Yang tentu saja sering saya balas “Aktivis rebahan mah iya.“
Mengotori Tangan Sendiri
Ledekan menjalar ke kehidupan cinta (yang dalam kasus saya selalu renyah) dan berlanjut pada kalimat
“Ya kita kan orang-orang yang harus berjuang, Bul. Gak bisa diam duduk dapat uang kayak orang-orang macam lakimu itu. Mereka kan gak usah kotor-kotoran, mereka itu bermartabat. Beda lah sama kita-kita.”
Untuk hal ini, saya setuju. Sangat setuju. Irisan pertemanan kami adalah tempat yang akan tipis-tipis mem-bully ketika tahu kami bekerja pada industri apa. Rasanya sama seperti, saya berkoar-koar meneriakkan anti-pelecehan, tapi diam-diam saya pelaku pelecehan. Rasanya sama seperti saya teriak anti-polisi tapi saya sering nyuap juga kalau kena tilang atau mau bikin acara.
Iya juga. Meskipun industri tempat saya bekerja bukan industri tambang, tapi toh kalau di story Whatsapp juga saya gak sevokal itu ngomongin hal-hal semacam ini. Saya masih harus ngotorin tangan saya bahkan untuk makan sehari-hari, dan itu bukti saya masih belum merdeka. Not even once.
Saya tidak ingat sejak kapan saya mulai membenci hal-hal berbau pemerintah dan beberapa waktu kemudian saya berkencan sama orang baso! Aaaaaaaak! Ingin rasanya berkata anyiiing!
Cinta kan gak bisa milih, hidup juga gak bisa milih. Saya gak bisa milih saya mau cinta sama anak siapa, saya juga gak bisa milih hidup saya seperti apa. Ini semua memang salah oposisi pokoknya!
Ditampar Realita
Saya kembali ke percakapan yang lain, saya mengamini kalimat teman saya tadi dan bilang,
“Iya juga, ya. Kanvas harus dibeli, cat harus dibeli, listrik harus dibayar, perut harus diisi, dapur harus berasap.”
“Ya itu dia! Orang-orang kaya kita ini udah gak punya pilihan lain. Mau usaha yang bener-bener bersih duitnya butuh berapa buat modal? hidup aja kita masih dicukup-cukupin.”
Sekadar informasi, teman-teman saya kebanyakan kerja di media, industri FnB, buruh pabrik seperti saya, dan sisanya menjadi sales pegadaian, mainin POD, hidup nyaman menjadi PNS, dan ada juga yang dia mengurusi bisnis warisan Bapak di segala lini. Ada yang kerja untuk diri sendiri, ada yang kerja untuk biaya happy-happy saja, ada juga yang kerja untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga dan orang tua.
Hidup memang bermacam-macam. Ada yang gajinya 3 digit untuk dia sendiri. Ada yang gajinya 2 digit untuk pasangan, ada yang gaji dibawah UMR untuk kasih makan keluarga besar.
Realitanya seperti itu, semua orang berjuang buat hidupnya masing-masing. Caranya aja yang kadang bikin pengen nge-bully tapi kalau tiba-tiba dikasih Blue Label ikut diminum juga. Ledekin orang duit kotor-duit kotor tapi anak lu mau sekolah minta tolong juga. Kan gitu, saya mah. Ya kalau kalian enggak gitu mah ya syukur lah. Tapi buat saya tetap, semua orang sama di mata duit. Hidup adalah tahi masing-masing! Nying!