Her (2013): Mampus Joker Dikoyak-koyak Sepi

Arini

Potret kesepian manusia dalam pelukan teknologi.

Kita menghabiskan 1/3 waktu kita dalam 1 hari untuk tidur, mungkin hanya di waktu itu lah kita benar-benar merasa bebas. Begitulah kata-kata dari karakter Amy dalam Her, 2013

Ketika menulis ini, saya membayangkan Arini 18 tahun sedang menemani kekasihnya yang waktu itu lagi skripsian sambil memutar lagu The Moon Song.

Saya kemudian bertanya, “Ini lagu apa sih?”

Si mantan menjawab, “The Moon Song, ini tuh soundtrack film tapi aku belum nonton, nanti kita nonton sama-sama ya. Lihat reviewnya bagus.”

Sebagai sesama penyuka film (genre film yang kami gandrungi juga sama), saya dan si mantan sepakat untuk menonton film itu. Akhirnya kami melipir dan memesan film ke sebuah tempat bernama Gorila.

Sedikit mengenang, di Jatinangor tuh ada loh tempat jual film yang kita tuh tinggal bawa flashdisc dan isi flashdisc kita pakai folder film yang ribuan di Gorila itu. Tempatnya kayak warnet, tapi gak ada sekatnya gitu. Memang kamuflasenya begitu. Ya sistemnya seperti tempat jual game PS. Kalau gak ada film yang kita mau, biasanya kita harus request ke si Abangnya biar dia yang download di Ganool. Wkwk.

One day, nonton lah saya film Her yang soundtrack-nya The Moon Song itu. Itu tahun 2016 atau 2017 gitu, dan pertama kali nonton memang bagus filmnya. Cuman, saya belum bisa relate karena saya tidak terbiasa dengan teknologi. Lagipula di tahun segitu kayaknya belum ada tuh AI di Jatinangor.

Sesuai kebiasaan saya, saya selalu menonton ulang film yang menurut saya bagus dan saya jarang menonton film baru. Maka di tahun-tahun berikutnya saya kembali menonton film itu di waktu senggang, Baru kemudian di tahun 2019an, saya akhirnya bisa merasa relate dan “masuk” ke film.

Her mengisahkan perjalanan hidup seorang bernama Theo, yang lagi galau-galaunya karena akan bercerai dengan si istri. Theo ini seorang ghost writer surat gitu. Jadi dia kerja di biro “pengirim pesan”, nanti pelanggan mereka tuh bisa request isi suratnya seperti apa. Ya begitulah.

Sebagaimana penulis pada umumnya (Arini misalnya), Theo orangnya kalem dan banyak menyimpan perasaannya sendiri. Dia udah pisah ranjang sama si istri sekitar setahunan gitu. Dia menjalani hidup kayak masyarakat urban lain. Bangun, kerja, pulang, main game, tidur. Udah gitu aja.

Nah, satu hari Theo beli produk AI yang dia install di HP dan komputernya. Pokoknya semua email, telepon, dan data yang ada di HP dan computer  itu di-arrange sebaik mungkin dengan AI ini. Mirip-mirip Siri kalau zaman sekarang. Bahkan mereka jadi sering main game bareng gitu.

Hari ke hari, Theo dan Samantha (nama AInya) semakin dekat. Menyapa kalau Theo baru bangun, terus having conversation seperti orang LDR teleponan gitu lah, sampai mereka pun suka deeptalk. Samantha pun semakin autopilot tuh. Dia suka baca-baca emailnya Theo termasuk email yang dikirim istri Theo buat nyuruh cepetan Theo tanda tanganin surat cerai.

Lalu berdasarkan percakapan Theo dan Sam tiap hari, Samantha jadi mulai punya simpati. Singkat cerita, dengan seluruh kecerdasannya itu, si Sam mulai punya intuisi dan ‘perasaan’.

Pada sebuah deeptalk yang kesekian, Theo nanya ke Sam,

Kalau kamu, apa yang kamu pikirkan sekarang?”

“Aku memikirkan aku punya tubuh dan aku bisa disentuh. Aku membayangkan diriku jadi manusia, bisa ngobrol sama kamu, tidur di samping kamu, atau ketawa sama kamu.

Wah ini dalam, sih. Untuk yang sedang LDR rasanya kayak langsung jleb gitu ngedengernya. Menangys.

Mereka pun akhirnya semakin dekat dan punya hubungan yang unik. Si Theo sering bawa Samantha which mean literally dia bawa HP, dan ngantongin HPnya dengan kamera ngadep ke luar, jadi si Samantha seolah bisa liat apa yang Theo liat. Ya, seperti orang kalau lagi LDR banget, lah.

Tapi latar waktu dalam film ini tuh memang sangat sesuai dengan kondisi sekarang. Orang tuh kayak gak peduli gitu. Bahkan Theo pun sering double date sama temannya (yang punya pacar manusia), mereka pun bisa paham itu.

Film ini dirilis tahun 2013 dan sedemikian canggihnya bisa sangat sesuai di zaman sekarang. Apakah penulis naskahnya adalah bagian dari elit global? Entahlah.

Funfact, di tahun yang sama saat saya ngerasa relate banget sama film ini, film Joaquin Phoenix yang lain rilis (Joker). Yes. Joaquin Phoenix memang ahli jadi orang kesepian.

Di film Her (2013), dia meranin figur kesepian yang penuh kebingungan tapi gak banyak neko-neko, tetap menyedihkan, dan pas gitu porsi menye-menyenya. Meanwhile di film Joker, dia berhasil pula meranin figur kesepian dengan lebih liar. Wajar aja lah kalau namanya juga jadi naik, karena emang Joaquin Phoenix cocok dikasih 1 film yang pemeran utamanya itu memang gak banyak interaksi sama yang lain dan bergulat dengan dirinya sendiri.

Samantha yang di-dubbing sama Scarlett Johansson pun entah kenapa rasanya pas banget gitu ya. Pas di tahun 2025 saya balik nonton Her tuh rasanya kayak lagi liat Joker sama Lucy pacaran. Iya, Lucy yang itu. Yang jadi fana karena menggunakan 100% otaknya.

Latar di film Her pun so urban dan sangat sesuai dengan yang dirasakan saat ini. Ada satu scene, si Theo masturbasi sambil phone sex gitu sama perempuan di situs-situs semacam itu lah. Cuman ya tetap aja rasanya hampa, dan anjay so good. Sangat mewakili kondisi kita saat ini yang saling gak peduli dengan siapa kita berhubungan intim, dan begitu urusan selesai tuh ya sudah.

Gak ada yang peduli lagi. Mau lo ngomong atau nangis dan terlihat berbicara sendiri di telepon tuh hal yang wajar banget. Lo pacaran sama AI pun wajar di film ini.

Sebagai masyarakat urban yang gaptek dan baru mengenal teknologi, saya akui film ini futuristik di zamannya. Film yang layak ditonton di masa-masa kesepian. Minimal biar kita jadi berhenti main hp kalau lagi nongkrong dan kumpul sama manusia.

Nilai plusnya, saya suka filmnnya karena tone-nya comfy, pemilihan warnanya bagus, dan calm. Sangat sesuai dengan suasana yang dihadirkan di film itu. Musiknya juga bagus-bagus.

Penonton dikasih waktu untuk memahami karakter dan dunia yang dihadirkan di film itu. Berdurasi kurang lebih 2 jam, rasanya gak ada satupun yang bikin bosan. Semuanya pas. Gak ada scene yang ngganggu. Musiknya pun tepat dan bagus.

Banyak juga hal inti yang gak bisa saya sebut di tulisan ini, yang bikin kita ngangguk-ngangguk bahwa kehadiran teknologi perlahan mulai menggerus makna batiniah manusia kita. Anjay ngomong naon sih?!

Ya karena sesuai dengan quotes di awal, “Kita menghabiskan 1/3 waktu kita dalam 1 hari untuk tidur, mungkin hanya di waktu itu lah kita benar-benar merasa bebas.” Begitulah kata-kata dari karakter Amy dalam Her, 2013

Sebab mungkin kita akan berhenti berinteraksi dengan gawai tuh ya pas tidur doang. Semua-muanya sudah sama gawai dan kita seolah gak bisa lepas begitu saja dari gawai kita, kecuali kalau tidak sedang LDR karena aku cuma bisa berhenti main HP kalau lagi sama kamu. Auuuuu~

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik. Buku kumpulan puisinya As Blue As You telah diterbitkan di Pustakaki Press. Juni 2023 telah mengadakan Pameran Tunggal bertajuk A Quarter Century untuk mempertunjukkan hasil lukis sekaligus merayakan kelahiran buku keduanya, Jayanti. Buku ketiga, Notes of The Lost Sheep baru saja diterbitkan.

Related Post

No comments

Leave a Comment