Juan Rulfo tidak perlu menulis berjilid-jilid buku untuk dapat diakui sebagai penulis penting. Sepanjang hayatnya, hanya tiga butir judul ditelurkannya. Buku pertama adalah kumpulan cerpen bertajuk El llano en llamas atau Dataran dalam Kobaran Api (1953), novel berjudul Pedro Páramo (1955), dan kumpulan tulisan El gallo de Oro (1980, anumerta). Gabriel García Márquez sendiri mengakui bahwa Pedro Páramo menolongnya dari kebuntuan menulis dan berperan melahirkan mahakarya berjudul Seratus Tahun Kesunyian (1967). Gabo, panggilan akrab Gabriel García Márquez, bahkan berseru kalo semua tulisan Rulfo, “Yang jika dikumpulkan tidak lebih dari 300 halaman; namun bakal sama panjang dan sama awet belaka dengan naskah-naskah Sophocles yang sampai pada kita hari ini!”
Membaca Pedro Páramo dan cerita-cerita di El llano en llamas mengingatkan saya pada hantu-hantu, baik hantu “betulan” dan “hantu-hantu” Jacques Derrida. “Hantu-hantu” Derrida yang saya maksud adalah penjabarannya lebih lanjut atas “roh yang menghantui Eropa” di pengantar Manifesto Partai Komunis (Marx dan Engels, 1848). Penjabaran tersebut hadir dalam Spectres of Marx (1993) yang ditulis oleh Derrida. “Hantu-hantu” itu lalu menjadi gagasan filsafat yang disebut hauntology.
Hauntology atau hauntologi, awalnya bersumber dari sifat Marxisme yang tidak terikat waktu dan kecenderungannya buat menghantui dunia barat, bahkan setelah “kematiannya.” Hauntologi menggambarkan situasi pemisahan temporal dan ontologis yang mana masa kini, secara sosial dan budaya, digantikan oleh kenirmulaan yang tertunda maknanya. Maksudnya, yang kita pahami sebagai masa kini merupakan ruang pemaknaan yang kental atas wacana masa lalu yang ikut memberi kerangka makna atas masa depan. Pemaknaan menjadi nirmula karena pemaknaan bekerja di lintas waktu, bukan hanya terjadi di titik waktu tertentu. Pemaknaan menjadi tertunda pula, karena sifatnya di lintas waktu, makna menjadi sesuatu yang tidak akan pernah final—atau, tertunda.
Untuk memahami hauntologi dengan lebih gampang, yuk tengok bagaimana Pedro Páramo bekerja! Peringatan bocoran (spoiler alert) untuk paragraf selanjutnya!
Pedro Páramo: Ulasan Singkat
Pedro Páramo berlatar di Comala, kampung kecil di pelosok Meksiko. Novel ini diceritakan melalui enam puluh delapan bagian yang meloncati dan menggulir waktu, latar, narator, serta kejadian. Bagian awal menceritakan perjalanan Juan Preciado untuk mencari ayah kandungnya, Pedro Páramo, yang hilang. Juan berangkat ke tualangnya setelah ibunya, Dolores Preciado, mangkat. Dolores meminta Juan pergi ke Comala untuk membalas kelakuan Pedro yang telah abai akan mereka. Tapi, apa yang ditemui Juan bukanlah Comala yang subur, hijau, dan riuh seperti cerita-cerita ibunya. Comala di hadapan Juan adalah kampung kemarau, terabaikan, dan berhantu.
Bagian selanjutnya menceritakan Pedro muda di Comala yang masih subur dan hijau. Setelah hujan lebat, Pedro muda berfantasi soal pujaannya, Susana. Pedro sendiri merupakan suruhan keluarga Susana. Bagian kembali ke masa kini, di mana kawan lama Dolores bernama Doña Eduviges Dyada bertutur kepada Juan soal umur pernikahan Dolores dan Pedro yang tidak sampai setahun. Di luar, derap kaki hantu kuda baka terdengar mengitari Comala.
Kuda tersebut milik Miguel Páramo, anak lain dari Pedro yang tewas terjungkal. Kisah Miguel bergulir di bagian selanjutnya dari sudut pandang Romo Rentería. Miguel adalah seorang bangsat yang membunuh saudara laki-laki Rentería dan memperkosa keponakannya, Ana. Romo Rentería menolak memberkati Miguel, hingga Pedro memberinya sekantung emas. Miguel diberkati, tapi Rentería mengalami rasa bersalah yang mendalam. Ketika Eduviges mati bunuh diri, Rentería malah menolak memberkati.
Bagian kembali ke masa kini, saat Juan tidak dapat tidur karena erangan Toribio Aldrete. Seorang perempuan bernama Damiana Cisneros menawarkan Juan untuk tidur di tempatnya dan menceritakan asal-usul hantu Aldrete. Aldrete adalah korban fitnah kejam yang dirancang oleh Pedro demi menghapus hutangnya. Pedro menyuruh kacungnya, Fulgar Sedano untuk menikahkan Pedro dengan Dolores agar hutangnya lunas. Kemudian, Sedano memfitnah Aldrete dengan dalih kepemilikan tanah, lalu membunuhnya.
Juan menghabiskan malam pertamanya di Comala dengan suara-suara dan gema-gema gaib. Dia mengikuti Damiana, hingga tiba-tiba ia menghilang. Juan menguping perbincangan tentang marga Páramo yang sewenang-wenang. Seorang perempuan asing membawa Juan ke sebuah tempat di mana dia dapat tertidur pulas dan menghablur kenyataan serta mimpi. Sepasang sosok, Donis dan saudarinya, kemudian menduga-duga maksud Juan di Comala.
Saudari Donis mengaku mengunci diri seharian di rumah karena setiap malam mendengar suara-suara merintih di Comala. Kemudian ia mencair seperti lumpur dan Juan menemukan dirinya tercekik serta terbaring di samping mayat pengemis bernama Dorotea. Dorotea meninggal penasaran karena mencari anaknya yang tidak pernah ada.
Sebelum kematiannya, Miguel membayar Dorotea untuk membawakannya perempuan. Dorotea kemudian pasrah karena Romo Rentería menolak pengakuan dosanya. Miguel kemudian mati, dengan Pedro mengenang dirinya yang tidak berduka saat kematian ayahnya, Don Lucas Páramo. Romo Rentería dihantui rasa bersalah, karena dia pernah menasehati Pedro yang rajin bikin anak tapi tidak pernah peduli, untuk merawat Miguel setelah kematian ibunya. Romo Rentería berjalan ke Contla dan mengaku berdosa. Tapi, Romo di Contla mengatakan bahwa dosanya tidak terampuni.
Dorotea kemudian bercerita kepada Juan. Susana, pujaan hati dan cinta terakhir Pedro meninggal. Pedro begitu hancur sehingga Comala ia biarkan terbengkalai. Pedro menikahi Susana setelah berjanji untuk menaklukkan Comala—dan diam-diam, membunuh ayah Susana, Bartolomé. Mimpi buruk datang menghantui Susana yang tak beranjak dari kasur. Justina Díaz, sang perawat, mengabari Susana tentang kematian Bartolomé. Rasa lega malah melingkupi Susana, kemudian hantu Romo Rentería datang menghibur Susana atas kematian suami pertamanya, Florencio.
Di luar Comala, revolusi sedang melanda tanah Mexico. Sedano dibunuh oleh para pembangkang. Pedro mengkhawatirkan keadaan Susana. Sementara Susana sedang mengenang Florencio di atas kasur—hanya Florencio seorang yang dicintai benar oleh Susana. Pedro menyogok para pembangkang dan turut memberi bala bantuan agar menjauh dari Comala.
Susana sedang sekarat, hantu Romo Rentería kemudian datang untuk memberkati. Susana muntah, diusirnya Rentería karena ingin mati sendiri. Ketika Susana mangkat, gereja mendentingkan gema bel akbar. Semua penduduk Comala menganggap bel tersebut sebagai bel suka, alih-alih duka. Pedro muntah, dibiarkannya Comala meranggas.
Abundio Martínez adalah seorang kusir keledai yang ditemui Juan saat berjalan menuju Comala. Istri Abundio mangkat setelah sakit berkepanjangan, dan Romo Rentería tidak sempat memberkatinya—sebab Rentería mati di Pembangkangan Cristerio. Abundio hancur, istrinya tidak jadi masuk surga. Ia habiskan waktunya dengan arak dan berkeliling Comala.
Abundio bertemu tak sengaja dengan Damiana dan Pedro—yang tidak lain, merupakan ayahnya. Abundio meyakini bahwa setan mengirimkan Pedro kepadanya. Mabuk, Abundio mengayunkan dan menusuk pisau, membunuh Damiana dan melukai Pedro secara fatal. Rupanya, Damiana masih hidup dan Pedro terduduk sekarat, bangun memikirkan Susana, dan terkulai seperti tumpukan batu.
Hauntologi dan Perkara Waktu
Para pembaca bahkan perlu menggunakan skema atau peta pikiran (mind map) untuk memahami kisah Pedro Páramo. Wajar, sebab centang perenang bagian-bagian yang meloncat dan berpilin bukan sesuatu yang bisa diikuti oleh pembaca yang terbiasa dengan plot linear. Perangkat bercerita tersebut bukan semata gaya menulis, melainkan alegori atas hauntologi itu sendiri.
Prinsip dari hauntologi sendiri adalah “kebergentayangan masa lalu,” “keberhantuan masa kini.”
“Kebergentayangan masa lalu” bersumber dari keluwesan masa lalu untuk ditafsirkan dan membentuk masa kini. Masa lalu menjadi daya dan relik yang membentuk kesadaran kita di masa kini, yang mana berpotensi untuk memberi pemaknaan baru atas masa lalu.
Sebagaimana Juan yang dihadapkan dengan Comala yang gersang, sementara Juan mengetahui Comala yang subur. Sebab gersang Comala adalah apa yang kemudian ditemukan Juan melalui para hantu-hantu. Ingatan Juan menjadi petunjuk untuk menemukan kepingan-kepingan teka-teki yang menyuapi Juan, makna atas Comala, dan sejarah keluarganya. Hantu-hantu dan kisahnya kemudian menjadi instrumen harfiah untuk menyatukan kepingan tersebut, memberi pemaknaan yang lebih baru.
“Keberhantuan masa kini” adalah tentang masa lalu yang tidak saja gentayangan, melainkan secara aktif menghantui masa kini. Tindakan menghantui ini turut menggenapi ingatan, identitas, dan cara pandang dalam melihat dunia. Juan dan para pembaca secara bersamaan mengenali sejarah Comala dan keluarga Páramo melalui hantu-hantu Eduviges, Rentería, Abundio, dan Donis.
Hantu-hantu tersebut adalah penjelmaan ingatan atas Comala dan kesejarahannya, yang kemudian secara pamungkas menggenapi pemaknaan di kepala Juan tentang asal-usulnya. Penggenapan ingatan ini kemudian menjadi teropong bagi Juan untuk melihat dirinya dan dunia di sekitarnya.
Sebagai sebuah desa kecil di pelosok Mexico, Comala juga tidak terhindarkan dari kesejarahan material di sekelilingnya. Revolusi Mexico menjadi latar, corak, dan motivasi beberapa titik plot dalam Pedro Páramo. Karenanya, warga Comala adalah warga pinggiran sejarah. Revolusi Meksiko adalah peristiwa besar dengan wacana dan makna yang termapankan dan nyaris tidak goyah, sementara cerita-cerita warga dan hantu Comala adalah catatan kaki yang terpinggirkan. Hauntologi di sini berperan “menyelamatkan” warga Comala dari kutukan wacana akbar kesejarahan. Absen dari narasi agung sejarah revolusi, para warga dan hantu-hantu Comala menjadi penanda atas sebab akibat peristiwa sejarah di tingkat nama-nama: dari Páramo hingga Sedano. Menjadikan “sejarah” sebagai entitas yang luwes dimaknai.
Pemaknaan dan pembacaan atas makna dalam Pedro Páramo kemudian menjadi kerja-kerja yang tidak lagi dipenjara titik waktu tertentu. Pedro Páramo berhasil menggambarkan, kalo memaknai adalah pekerjaan lintas masa dan senantiasa tertunda karena sifatnya yang tidak lekang oleh waktu. Masa lalu tidaklah ajeg; tidak beku dalam potret. Masa lalu selalu punya makna terselebung yang hanya bisa disingkap oleh masa depan melalui wacana yang beredar di masa kini. Begitulah cara kerja hauntologi.
Makna Gentayangan, Sejarah Menghantui
Yang unik dari hauntologi adalah tidak terbatas sebagai perangkat, perkembangan wacananya melalui pemaknaan ulang dan tertunda pula. Dari filsafat, antropologi, sastra, hingga musik, hauntologi mempunyai pergulatan ide hingga definisi sendiri. Pembacaan metakritis (kritik atas kritik) ini tersemat suai (befitting) belaka dengan tabiat hauntologi.
Misal, Mark Fisher sendiri meletakkan prinsip kedua hauntologi sebagai pernyataan atas hilangnya optimisme akan masa depan sebab kapitalisme mutakhir. Dari sini, Fisher mengembangkan paradigma kritik kebudayaan retrofuturisme dan patahan temporal yang hadir dalam musik dan film, yang secara literal terjelma dalam genre steampunk. Di bidang antropologi, Martha dan Bruce Lincoln menciptakan istilah gentayangan primer dan sekunder, merujuk kepada peristiwa gentayangan secara literal dan residu kesejarahan yang bertengger di museum.
Lewat Pedro Páramo, pembaca lalu bisa melihat bagaimana hantu-hantu ikut menggenapi dan membongkar makna dan ingatan di lintas waktu. Sejarah lalu menjadi sesuatu yang tidak akan pernah mapan bagi masa kini, sebagaimana masa kini akan selalu tertunda maknanya untuk menengok masa lalu dan membayangkan masa depan.
Bacaan Lebih Lanjut:
- Coverley, Merlin. Hauntology: Ghosts of Futures Past. Oldcastle Books, 2021.
- Derrida, Jacques. Spectres of Marx. Routledge, 1994.
- Fisher, Mark. Ghosts of My Life: Writings on Depression, Hauntology and Lost Futures. Zero Books, 2014.