Dear David sebenarnya rilis awal tahun lalu. Namun, ingatan saya akan film ini masih menganggu pikiran saya. Kini hal-hal yang masih mengganjal tersebut kian menjadi. Apa lagi setelah saya ikut bersama Fredel menghadiri perilisan bukunya Kalis Mardiasih yang berjudul Luka-Luka Lini Masa.
Di acara tersebut, ada peserta yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap karakter utama di film Dear David. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, Mbak Kalis hanya menjawab “Terkait film ini, kita bisa diskusi panjang lebar setelah acara ini”. Sehingga, kegundahan saya terhadap film ini belum tuntas.
Dear David berkisah tentang Laras (Shenina Cinnamon) yang menuangkan hasrat seksualnya dengan menulis cerita fantasi terkait teman kelasnya yang bernama David (Emir Mahira) pada blog pribadinya. Namun, suatu waktu ketika Laras membuka blog-nya di komputer sekolah, listrik tiba-tiba padam. Sedangkan Laras belum logout dari blog-nya. Alhasil, tulisannya tentang David dipublikasikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan menimbulkan kegaduhan di sekolah.
Berbagai respon mengiringi film ini ketika perilisannya. Terutama soal laki-laki yang dijadikan fantasi seksual perempuan di film ini. Berikut adalah komentar yang paling sering saya temukan: “Kalau posisinya dibalik: cewek yang dijadikan objek seksual, pasti bilangnya pelecehan”.
Saya tidak akan sembrono untuk bilang jika Laras sepenuhnya benar di film ini. Tapi kalau melabeli Laras sebagai pelaku “pelecehan”. Nanti dulu.
Sependek yang saya tahu, Fredel pernah bilang bahwa ada perbedaan mendasar antara fantasi seksual dan objektifikasi seksual. Sah-sah saja ketika kita berfantasi untuk having sex dengan seseorang. Namun, jangan sampai fantasi tersebut dijadikan dorongan untuk menempatkan seseorang sebagai target kekerasan seksual.
Misal fantasi tersebut berbuah perilaku catcalling, pemaksaan, pemerkosaan, serta perlakuan lainnya yang memposisikan seseorang sebagai objek, bukan manusia utuh. Ketika muncul perilaku tersebut, maka ranahnya sudah menjadi objektifikasi seksual.
Sedangkan apa yang dilakukan Laras, tidak memenuhi kriteria objektifikasi. Laras paham bahwa fantasi harus tetap ada di ruang privat. Makanya, tulisan-tulisan erotis tentang dirinya dengan David hanya disimpan sebagai draft dan hanya jadi konsumsi pribadi.
Laras juga tidak mencoba menempatkan David sebagai target kekerasan seksual dengan memaksakan apa yang ia fantasikan kepada David.
Laras hanya membayangkan bisa having sex dengan gebetannya dan itu hal yang umum dilakukan oleh kebanyakan orang. Tapi anehnya ketika perempuan seperti Laras menunjukkan hasrat seksualnya di ruang privat sekalipun, seolah hasrat seksual merupakan hal yang asing.
Padahal laki-laki seringkali menunjukan hasrat seksualnya di ruang publik dengan cara yang lebih cabul dan berujung objektifikasi.
Lain Laras, lain lagi dengan Dilla (Caitlin North-Lewis). Hanya karena sering mengunggah foto yang mengekspos bagian tubuhnya, Dilla dilabeli sebagai perempuan murahan, hingga disebut “pecun.” Bahkan ketika tulisan soal David menyebar di sekolah, Dilla adalah orang yang dicurigai sebagai pembuat tulisan tersebut.
Baik Laras maupun Dilla, baik yang menyimpan rapat hasrat seksualnya maupun yang terang-terangan mengekspresikan hasrat seksualnya, maka akan hadir kontrol sosial dalam bentuk macam-macam. Seperti stigma “perempuan murahan,” “perempuan enggak benar,” “pelacur,” dan sebagainya.
Dalam struktur patriarki, perempuan yang menunjukan hasrat seksual dianggap sebagai ancaman. Maskulinitas yang rapuh akan melihatnya sebagai pengebirian. Struktur patriarki juga selalu memposisikan perempuan sebagai objek pasif, tak heran jika banyak yang kaget ketika melihat perempuan sebagai subjek yang bergerak.
Seperti kata Nosa Normanda dalam tulisannya berjudul “Laut dan Daratan: Keterasingan Perempuan dalam film Mudik.” Kepala Medusa harus dipenggal; Kepala Kuntilanak dan Sundel Bolong harus dipaku; Mary Wollstonecraft, feminis pionir itu, harus dirusak namanya dengan buku memoir yang ditulis suaminya, William Godwin, setelah kematiannya; sedangkan Kartini, harus menjadi istri keempat dan meninggal lima hari setelah melahirkan di usia 25 tahun.
Perempuan yang menjadi subjek dan punya cerita dianggap mengebiri laki-laki serta membuat penis kehilangan fungsinya, selalu sulit lepas dari kontrol. Kemarahan netizen terkait karakter Laras, bisa jadi hadirnya dari sini. Perasaan kaget ketika perempuan yang menjadi subjeknya, sehingga timbul kontrol.
Balik lagi ke hasrat seksual. Hasrat seksual itu biologis. Sama seperti perasaan lapar ketika ingin makan atau ngantuk ketika ingin tidur. Laras punya. Laki-laki punya. Perempuan punya. Semua manusia punya hasrat demikian. Tapi seringkali hasrat seksual perempuan dianggap tabu.
Kalau mau blak-blakan. Coba ingat ketika kalian masturbasi, umumnya siapa yang diproyeksikan di pikiran kalian? Gebetan? Celebrity Crush? Bintang Porno Favorit?
Contohnya gini deh: kalau kita balik ke masa-masa puber saat gairah kepada lawan jenis tengah meletup-letup, di sana kita pasti sering mendapati diri kita berandai-andai untuk berhubungan seks dengan seseorang yang kita sukai. Persis, seperti yang dialami Laras di film ini.
Tapi yang perlu digarisbawahi, hal seperti itu harus disimpan rapat di pikiran kita. Jangan dibicarakan ke orang lain, apalagi mencoba diaplikasikan ke orang yang kita fantasikan tanpa konsensus sehingga membuat orang tersebut merasa tak nyaman dan merasa terancam.
Kalau mau cari siapa pelaku objektifikasi di film ini. Tunjuk saja hidung teman-temannya David yang mencoba menelanjangi David dan menseksualisasi lewat meme atau guru yang memandangi David penuh nafsu setelah cerita David tersebar. Merekalah yang memanifestasikan cerita David menjadi tindakan pelecehan.
Memang sih, batas antara fantasi seksual, dan objektifikasi itu sangatlah tipis. Sehingga rawan menimbulkan kesalahpahaman. Gagasan tentang etika berfantasi memang jatuh ke dalam ruang logis yang menarik. Di mana moralitas dan legalitas sifatnya terpisah. Kita dapat membayangkan apa pun yang kita inginkan. Walaupun di dunia nyata hal yang kita bayangkan tak etis secara moral. Hal tersebut tetap legal, selama hanya ada dalam pikiran kita. Misalnya, ini mah misal: Kita membayangkan dapat menendang kepala dosen kalkulus tepat di ubun-ubunnya. Hal itu tetap legal untuk dibayangkan, walaupun secara moral tidak etis jika dilakukan di dunia nyata.
Dengan isu yang luar biasa kompleks, Dear David tidak mencoba mengambil jalan aman. Sebaliknya, ia justru membuka diskusi alot. Lucky Kuswandi selaku sutradara, menempatkan saya dan penonton lainnya di posisi yang teramat sulit sehingga polarisasi penonton pun tak terelakkan. Dear David memang tidak sempurna sebagai sebuah film. Tapi isu-nya segar sehingga menyenangkan ketika banyak hal yang dapat dibicarakan setelah menontonnya.