Ockham’s Razor, atau Pisau Ockham, adalah prinsip berpikir yang dilontarkan William Ockham, ahli logika abad ke-14 asal Inggris.
Bunyinya kurang lebih seperti ini, “Kalau ada banyak model penjelasan untuk sebuah fenomena, pilihlah yang paling sederhana—atau yang paling sedikit asumsinya.”
Misalnya, keran terdengar mengucur sendiri di tengah malam. Penjelasannya bisa macam-macam. Bisa jadi itu kunti buang air, atau suara dari kamar mandi tetangga yang merambat di udara. Pilihlah yang kedua. Karena penjelasan itu lebih sederhana dan melibatkan lebih sedikit asumsi. Kira-kira seperti itu.
Teman saya, Derik Al-Kiri, percaya bahwa satu-satunya cara untuk memahami alam semesta adalah lewat nalar materialisme. Gampangnya, kalau gak bisa dilihat, berarti gak ada. Simple. Tapi tiga tahun lalu, saat kami nongkrong di kedai pertama kami di sisi kuburan, tepat pukul dua dini hari, mesin potong kain di lantai dua tiba-tiba nyala sendiri. Derik merinding dan matanya menatap kosong ke arah saya.
Saya sama melongo dan bingungnya. Tiga bulan kemudian pandemi datang, dan usaha kafe kami semua bangkrut. Hari itu saya resmi bergelar kreditur Bank Mandiri dan Homecredit, dengan total utang 30 juta. Di masa itu, ringtone handphone saya lebih menakutkan dari suara gemericik gaib di kamar mandi.
Setiap selesai kuliah, Senin sampai Rabu, saya selalu nongkrong di kantin UIN 2 yang riuh itu bareng teman-teman yang doyan ngopi juga. Umumnya, usia kami ada di rentang 25 sampai 30-an. Usia kagok, kata orang. Terlalu ugal-ugalan untuk disebut dewasa, tapi terlalu tua untuk disebut remaja. Obrolan kami cuma soal mata kuliah tadi, tugas minggu depan, dan sedikit tentang kerjaan atau gadis yang kami taksir.
Intinya, kami bikin lingkaran yang menganut ideologi ngobrol santai, kayak kurang spaneng saja sama kehidupan. Tapi, selalu ada saja teman yang bawa-bawa obrolan berat ala anak semester satu jurusan Aqidah Filsafat. Sebutlah dia Icun, yang termuda di antara kami. Saat kami ngobrol soal liburan enakan ke pantai atau gunung, dia nyeletuk, “Mas, menurutmu Tuhan itu ada gak?” Sungguh perusak suasana.
Syukurlah saya sayang sama Icun. Selain kasihan dengan lagaknya yang seperti baru baca quote, “Tuhan telah mati,” dia juga mengingatkan saya pada Plato. Seorang filsuf yang suka keliling pasar, mendekati orang-orang yang sedang ngobrol, lalu bertanya hal-hal “mengganggu,” sebutlah seperti, “Dari mana kita berasal?” “Apa asal mula alam raya?” “Bagaimana kita bisa ada?”
Minggu lalu, Icun bertanya, “Mas, percaya santet gak?” Saya lupa jawab apa. Meski pertanyaan itu sudah lewat dua minggu, sampai sekarang saya merasa dihantui. Pertanyaan itu berubah jadi, “Apa itu hantu?” Entah kenapa. Mungkin karena santet dan hantu sama-sama punya elemen, “Percaya gak?”
Demi mengeksplorasi tema “Hantu,” saya mengulang tontonan The Haunting of Hill House dan The Haunting of Bly Manor. Pokoknya, yang ada Victoria Pedretti-nya. Hehe. Saya terpikat dengan salah satu dialognya: “Saat kecil, kita belajar melihat yang tak ada. Saat dewasa, kita belajar mewujudkannya.”
Waktu kecil, saya merasa punya pengalaman supranatural. Gampangnya, ngelihat jin. Lalu di umur 20-an, saat tertarik dengan psikoanalisis, saya mencoba memahami lagi apa yang saya lihat waktu itu. Kesimpulan saya cuma satu: tempat itu layak dibakar sampai jadi abu. Seperti para penghuni Bly House, yang akhirnya meninggalkan rumah sialan itu. Hantu, santet, dan jin lebih gampang dilihat daripada pikiran menyakitkan yang membayangi hidup kita.
Tahun 1950, Peter Higgs bertanya-tanya, bagaimana partikel memiliki massa? Pertanyaan ini sempat tersingkir dari pembahasan fisikawan kala itu. Mungkin karena sama mengganggunya dengan, “Mas, percaya santet gak?” Tapi pada 1962, pertanyaan Higgs ini mulai muncul di jurnal-jurnal fisika. Higgs menghitung, hanya dengan matematika, bahwa ada partikel yang membuat alam semesta memiliki massa.
Antara 1998-2018, CERN (alias kelompok orang-orang Eropa dengan fetish nuklir) membangun LHC, akselerator partikel sepanjang 27 kilometer yang terletak 175 meter di bawah tanah. Salah satu tujuannya: memahami bagaimana alam semesta bermula, melampaui fisika teoritis. Anak kiri menyebut ini, “Praksis, praksis, praksis”. Artinya, hitungan Peter Higgs dari tahun 1962 tadi akan diuji.
Pada 2012, CERN mengumumkan bahwa mereka telah membuktikan keberadaan partikel Higgs, atau Higgs Boson. Media barat dengan semena-mena menyebutnya, “God Particle.” Higgs tidak suka penyebutan berlebihan itu, tapi dia bilang, “Kadang, menyenangkan menjadi benar.” Sebuah kerendahan hati yang tak dimiliki tukang santet.
Jadi, apakah kamu percaya santet? Apakah hantu cebok di kamar mandi? Apakah dukun santet tak pernah berbohong?
Ada banyak model jawaban untuk setiap pertanyaan tersebut. Dari nalar mistis ala anak skena psikedelik, nalar ala anak hijrah, sampai nalar fisika kuantum.
Setiap orang punya hantunya masing-masing. Ia tak selalu berbunyi, “Apakah hantu itu ada?” Kadang hanya, “Apakah saya orang baik?” “Bisakah saya jadi suami yang baik?” “Apakah saya sebuah kegagalan?” Tapi masih ada Ockham’s Razor, yang membantu kita memilih jawaban paling sederhana dari semua pikiran yang membayangi kita.