Pagi ke siang di hari Minggu. Sekitar pukul 11.00, gorden lusuh di jendela terbuka sudah melambai-lambai saja. Aku masih tak mau buka mata.
“Ini hari pasti cerah.” aku berkata dalam hati sendiri karena hangat di kakiku cukup kentara kena sinar pagi.
Mulutku masih bau Iceland dan pusing-pusingnya masih nempel, maklum kalau kumpul dengan teman-teman beginilah jadinya. Aku membuka mata kemudian. Di hadapanku tepat, seorang laki-laki yang baru kukenali kemarin-kemarin tertidur pulas. Biasanya orang bakal buruk rupa waktu tidur, tapi yang ini lain. Lengannya melingkar menutupi mulutnya. Menyisakan mata, hidung, dan alis saja.
Spotify gratisanku memutar lagu secara acak dan bunyinya masih menggema tipis-tipis. Di tahun ini, lagu-lagu cinta yang menyedihkan kalah populer dengan lagu self-healing yang punya nuansa katarsis. Masuk akal memang, sebab tahun ini patah hati tidak begitu menarik.
Lagu Hindia berhenti dan kemudian Kunto Aji menyala.
Bertepatan dengan itu, si tampan membuka matanya. Kami saling melihat dan diam saja. Kakiku terbakar sudah.
Serat-serat harapan masih terjalin suaramu terdengar masihlah nyaring dan bergema di ruang-ruang hatimu.
“Mata kamu bagus sekali.” begitulah buaya dalam diriku bunyinya
Dia menyapu wajahnya dengan sikunya dan senyum-senyum lucu. “Semalam kamu udah bilang 700 kali.”
“Oh, oke.”
Dia menarik tubuhku ke atas tubuhnya yang telentang. Lalu menghujaniku dengan ciuman yang meledak seribu kali di hidung, pipi, dahi, dan seluruh tempat di wajahku. Bagian ini seperti sudah lama gak kudapati. Aku merasa datang dari tempat yang jauh dan rampung melakukan perjalanan berbahaya untuk sampai di tubuhnya.
Tiba-tiba saja aku merasa mual. Aku merasa laki-laki yang saat ini kutemui adalah halaman terakhir pada buku yang belum tuntas kubaca. Seperti makanan yang sudah kutelan dan kumuntahkan lagi. Aku tentu tahu percis bau muntahnya, seperti minuman semalam saja. Aku lalu mengingat mimpiku tadi malam.
“Semalam aku mimpi.” aku menyeka kecupannya dan menjatuhkan kepalaku di dadanya.
Ia berhenti dan melingkari tangan di punggungku.
“Mimpi apa?”
Aku memang suka berlebihan. Mimpi bisa membuatku sedih dan nangis sejadi-jadinya.
“Aku mimpi ketemu sama teman-temanku. Banyak orang baru yang aku belum kenal tapi rasanya di mimpi itu aku udah kenal lama sekali sama mereka. Rasanya seperti teman beneran, seperti mereka udah tahu apa yang aku alamin sebelumnya. Di sana aku sama sekali gak ingat apapun soal kamu. Aku gak tahu kamu di mana, atau kayaknya aku gak kenal kamu atau bisa jadi juga kita belum ketemu.” buaya dalam diriku menjelma rusa
Lalu ia menepuk-nepuk punggungku seperti yang sering dilakukannya jika aku mulai merengek “Terus?”
“Terus kami ngobrol, lalu aku ditanyai,” aku menghentikan pembicaraanku.
Alisnya terangkat dan menyiapkan diri kalau-kalau aku nangis seperti biasanya, “Ditanya apa?”
“Kamu waktu 2020 ada di mana, Rin?” kataku meniru suara teman dari mimpiku semalam
“Ini kan 2019.” katanya
Aku menangis. Gak tahu juga kenapa, tapi ya ingin saja. Itu laki-laki juga malah ikut nangis dan kami berpelukan lagi.
Alarmku menyala. Bangun tidur-tidur lagi ternyata bikin keki. Mataku masih tertutup dan aku menjamah bantal mencari-cari ponsel. Aku menemukannya dan membaca beberapa notifikasi masuk dari beranda layar.
Sekarang 12 Agustus 2024. Aku menangis lagi sejadi-jadinya.