Dari beberapa hari lalu hingga sekarang, insta-story saya gaduh sekali dengan postingan nyimpangdotcom yang seliweran mengupload tulisan kawan-kawan dengan sukarela.
Dari banyaknya tulisan yang masuk, sayangnya cuma om Farid dan teh Yayu yang dekat dengan saya. Selain teh Yayu adalah mentor asmara dan teman saat gabut, saya juga pernah beberapa kali berkolaborasi dengan Nyimpangdotcom. Sisanya, saya nggak tahu. Jangan-jangan saya emang kuper atau mungkin terlalu pemalu untuk berteman.
Sebagai komunitas yang baru lahir kemarin sore, tentu saya takjub dengan buah pemikiran para om-om dan teteh penulis ini, selain karena tekadnya yang visioner membangun masa depan Purwakarta, blio-blio juga amat lihai saling menyindir satu sama lain.
Jauh dari cita-cita mulia para pejuang literasi babak lama, babak baru atau babak apalah itu, sebenarnya latar belakang berdirinya Baca Setara bukan karena dasar keresahan akan minimnya minat baca dan menulis anak muda di Purwakarta, tapi karena saya merasa nggak punya teman berbagi untuk menceritakan novel yang saya baca.
Lagipula bukankah kita semua ini pembaca? Pembaca buku, surat, angka, status media sosial, dll. Toh, saya pikir para pembaca di mana pun, kedudukannya kan sama di hadapan Allah SWT (takbeeer).
Ditambah saya sudah muak dengan para abang-abangan sekre yang selalu berpikir kalau dia lah yang paling keren di semesta ini hanya karena baru selesai baca buku seperti Madilog. Padahal, para pembaca komik One Piece juga nggak kalah keren (dan setia).
Isu yang kami angkat di Bacasetara memang lumayan berat, untuk menjadikan kegiatan membaca sama di hadapan Allah Swt. tapi kami juga baru merangkak ke arah sana, mengingat umur kami masih tiga bulan alias lagi lucu-lucunya.
Saya jadi ingat kejadian yang paling tidak mengenakan sepanjang pengalaman saya menjadi seorang pembaca buku. Seseorang merendahkan saya hanya karena saya senang baca novel bergenre romantis. “Mahasiswa mah bacanya buku teologi pembebasan atuh, euy! Masa baca buku bucin.” Katanya sambil bergidik.
Eh kunyuk, kalau novel genre romance emangnya kenapa?
Padahal, buku apapun yang saya baca, ya karena saya ingin. Boy Chandra, Eka Kurniawan, Tsana, Ziggy Z, Leila S. Chudori bahkan Aoyama Gosho semuanya punya karakteristik sendiri. Masa bodo dengan masa depan paradigma mahasiswa mau kayak gimana, emang siapa sih yang menetapkan standar konyol kayak begitu? Kurang-kurangin julid, deh, ngab.
Oh ya, kegiatan-kegiatan yang sudah kami lakukan pun nggak jauh dari bertemu di kafe atau sesekali piknik di jati luhur sambil menceritakan buku yang sedang dibaca, tidak jarang kami juga saling merekomendasikan buku-buku favorit kami, dan rencananya kami akan bertamasya ke Perpustakaan Nasional Jakarta.
Wow, kegiatan yang anak muda banget dan menyenangkan, bukan? Kalau mau ikut boleh lho~
Btw, saya merasa sangat beruntung karena sudah dirangkul dan diberi kesempatan untuk satu meja bersama para aktivis literasi di Purwakarta (kalau kata Teh Yayu mah para wali songo literasi, ceunah) walaupun saat bertemu om Farid kami tidak melulu bicara literasi. Kadang ya ngomongin film, julidin orang, jenis-jenis kopi, banyaklah…
Hal ini membuat saya berpikir, menurut saya literasi tidak sesempit itu. Ada hal lain yang tak kalah penting, meluaskan cara pandang, menghargai pendapat, melatih agar hati menjadi lapang saat hal semisal buku Fiersa Besari jadi bahan olok-olok, padahal juga bagian dari literasi.
Terima kasih ya, om Sebul atas tulisanmu yang nyentrik dan keren itu, saya jadi pengen belajar menulis biar bisa menuliskan keresahan saya dan menyindir orang-orang itu pastinya. Wqwq.
Salam anak bawang.