Hal-Hal yang Pernah Kita Ingat di Suatu Pagi
Aku ingat hal ini di suatu puisi
Yang kutemukan di suatu pagi
Di suatu blog usang tak berpenghuni.
Demi sepotong sepi
(Ahh, masih berujung i)
Jadi gini… (i lagi >/<)
Kita rela membayar puluhan rupiah
Untuk meminum susu panas yang tidak enak, hanya untuk sepotong sepi.
Pernahkah menjadi manusia sepi, menjadi dinding tipis, pendingin udara untuk mendinginkan perangkat elektronik, bukan kenyamanan tubuhmu.
Pernahkah melintas hidupmu yang dulu
Tanpa aspal, tanpa kabel, selesaikan task ini.
Seperti cagar budaya elektronik, membangun dan merubuhkannya dalam semalam. Mitos para raksasa dan semut api lebih nyata dari sepotong kue ulangtahun ini.
Sepotong jejak sepi menaruh sendalnya di depan pintu, ruang tamu tak berpenghuni, menaruh bunga mawar di atas mejanya, mengisi air di bak mandi, kembali bersembunyi di balik susu tidak enak ini, karena tak ada lagi satupun kutipan kembang api, buku-buku puisi bola ping-pong, Rashomon yang membangun bayangan dari tubuhmu sebelum sempat kau menjangkaunya terlebih dulu.
Kucing di sampingku memegang ayat suci
Aku membiarkannya merapal sendiri.
Hari minggu nanti aku akan kembali memesan susu tidak enak, merapihkan kamar mandi, membangun kembali rencana untuk membakar sepi seorang diri.
Barorka
Juli, 2024
—
Pagi Paling Serius
Pagi ini aku hanya ingin sekedar duduk-duduk
Melihat langit menguap di jendela
Alarm berbunyi lebih dari biasanya
Ini waktu Granada, bebukitan Andalusia berterompet, menyanyikan lagu lagi, tapi kucing terselip di balik selimut ini. Ah, biar mode pesawat menukin dengan tajam.
Aku duduk di wajah ini, menikmati karavan para pandir.
Sisa kemegahan bintang mabuk
Berpendar di mata para tudor, bertanya arah
Ke segala penjuru – kemana alip membujur
Di sisi gelap bulan berlumut? Atau di sini saja?
Pagi ini tampak kambria
Deretan angka menguap dalam sekon prosais
Kontinen malam mengenakan facial mask, pori pori kisut menunggu kantong diisi air keran.
Angin tampak lebih purba dari biasanya
Aku mengunyahnya dalam-dalam.
Pernah aku menunggumu
Untuk hanyut di laut kemarin,
Kesepian manusia jelaga, meregang sanggurdi
Dalam pagi sekisut ini.
Oh kau tak pernah sampai di bukit mesiah
Tubuh semampai, zaitun berduri bergerigi
Biar beribu nahkoda melancar semut api
Melintas Karibia dijaga Mongol, dan kebangsatan yang lain, kau tak menjadi anggur di musim oranye ini.
Duduk tidak lagi
Taman di depan jendela tidak lagi taman
Pohon berbisik tak lagi berbisik
Tapi palem depan rumah
Menyapaku, nikmati pagi mu ini
Sampai kiamat menggenang
Di pesta tudor, para pemuntah pagi
Mencecar di udara meresap ke warung indomie
Sampai kopimu memutih dalam lagu lagu
Sampai meja berangkat injaki botol vodka
Aku hanya ingin tergenang di danau itu
Miyazaki, Akutagawa, Kurosawa
Bumi, lempeng loji segelap ekstasi.
Aku hanya ingin duduk di kursi malas ini
Menanti sore melukis langit
Dengan warna apa saja.
Jangan berdiri
Belum waktunya kita merogoh sepi
Demi kenakalan lain yang tersisa.
Barorka
Juli, 2024
—
Vakansi
Akhirnya aku tidak menemukan seorang yang mengerti bahasa hutan. Karena bumi hanya lempeng amarah dalam loji hitam pengarang gelap, aku tunaikan ibadah malam ini. Seperangkat kretek dan tanah gembur dari lahan tak bernama, kugarap semua nyawa dalam tarian tenggoret itu. Menyemai musim demi musim lain, matahari baja lain, lekuk tubuh mu hutanku, seperti sungai selalu memberiku air mata.
Tak pernah aku bisa lupa semua daun gugur di dalam kepalamu, setelah akarnya kita tanam bersama. Memandikan pesawat terbang, mengembara di hujan pematang, juga dalam debu dan kotoran jalan. Aku seperti melihat siluet rumah di dalam matamu yang tertanam jauh di dasar batu sungai itu. Seperti mengembara jauh menjadi pawang pawai belibis. Apa kau mitos para peri di pagi ini? Apa kau datang membawa perkakas untuk membangun lumbung padi? Apa kau datang bermalam di bawah bintang, berteman dengan hantu hantu hutan? Aku kira kau lebih berani dari semua itu, karena luka mengajarmu membangun rumah dari tidur panjangnya, dari mimpi ladang bintangnya.
Halo, ada seorang mengetuk rumput ilalang ini
Dengan meja makan lengkap sepotong kue bulan. Tak lagi hanyut di laut mana. Mengembara dan memburu siapa. Semua datang tak lagi pergi. Menyemai lagi sisa tanah yang bisa kita masak esok hari.
Barorka
Juli, 2024