
H-1 Launching
Jumat, 25 Juli 2025, saya bertolak dari Cikampek menuju Yogyakarta. Ini kali kedua saya naik kereta jarak jauh setelah Cirebon. Iya, Cirebon. 1,5 jam sampai dan untuk saya yang nempel molor alias pelor ini, saya hanya tinggal tidur saja. Namun, 6 jam perjalanan menuju Jogja? argh! Saya tidak kira ini akan menyenangkan.
Terlebih, saya mabuk berat tahun lalu ke Jogja pakai bus. Memang dalam beberapa kesempatan, saya payah sekali naik bus. Dari Bandung ke Pangandaran saja saya muntah berkali-kali. Memang saya disetel Tuhan untuk naik mio selah hijau itu sepertinya, tapi saya tetap excited dengan perjalanan kali ini karena seperti biasa, dalam rangka memanfaatkan fasilitas saya, saya akan launching buku keempat saya, Yusuf dan Sapi Betina di Yogyakarta!
Oh iya, anggap saja buku ini merupakan hadiah terakhir saya untuk Yusuf, ayah saya. FYI, ayah saya seorang Gemini, dan saya seorang Cancer. Saya pun berupaya untuk menerbitkan buku ini bersamaan dengan perayaan Idul Adha, karena ya judulnya juga sapi. Namun karena Ammar sedang sibuk-sibuknya, jadi gak keburu dan gakpapa. Saya ingat, satu hari di Kosambi waktu sedang Idul Adha, kami semua berkumpul di rumah nenek di Kosambi. Lalu semua anak-anak (sepupu-sepupu saya yang banyak bukan main itu), pergi ke Al-Mujahidin (masjid hijau pinggir jalan itu), mereka asyik mengintil tukang jagal.
Sepupu saya yang lain yang usianya remaja sibuk menakut-nakuti dan mengageti anak-anak kecil dengan mengayun-ayunkan buntut sapi yang sudah lepas dari bokongnya. Sedangkan saya, mengumpat di balik gamis saudara perempuan saya dan menangis kencang waktu melihat seekor sapi disembelih. Saya menangis kencang sekali sampai saya diboyong ke rumah nenek dan dimasukkan ke dalam kamar. Saya disuruh berhenti menangis, dan sepupu saya yang mengayun-ayunkan buntut sapi itu masuk dan mengisengi saya supaya tangisan saya lebih kencang lagi.
“Hih buntut sapi, nih! Buntut sapi!”
Anjing betul:( Saya capek menangis dan melanjutkan nonton Doraemon edisi spesial liburan saja.
Ya, banyak lah kenangan masa kecil saya yang random dan masuk ke buku ini. Gak nyangka, menangisnya diri saya karena kasihan kepada sapi membawa saya sejauh ini. Ya, hal intim lain tentang buku ini tentu saya simpan untuk tur lagi nanti. Akan saya bawa nama bapak saya ke seluruh tempat! Anjay~
Kembali ke Yogyakarta. Farid, Odang, dan Azis sudah lebih dahulu tiba dan melangsungkan agendanya masing-masing. Selanjutnya, di hari pertama saya langsung mendatangi Kedai JBS (Jual Buku Sastra), tempatnya Mas Indrian Koto (selanjutnya Mas Koto) dan Mbak Mutia Sukma. Hari pertama ke JBS saya senang sekali. Saya seperti melihat rumah Up (itu lho, film yang ada anak pramukanya, yang rumah terbang pakai balon).
Wah, pertama ke sana, hawanya enak banget! Saya datang setelah magrib, dan hijau-hijaunya gak gitu kelihatan tapi suasana dan baunya enak. Wangi sawah dan rumput basah gitu. Suara kodok juga masih terdengar, lebih merdu dari suara saya tentu za. Kemudian saya bertemu Rinai dan Nyala, anak kalcer yang pas ditanya, mereka lagi suka baca Roald Dahl yang Matilda. Funfact, berkat mereka berdua, saya juga jadi baca Roald Dahl lagi. Kemudian, saya bertemu dengan Uda (sok kenal tea) Indrian Koto dari Sumatra Barat! Yuhu! Sayang sekali, Mbak Mutia Sukma sedang di Jakarta waktu itu.
Kemudian, kami mengobrol dengan teman-teman dari UNY. Sayang sekali, rasanya waktu berjalan sangat cepat dan bulan juga buru-buru terus kelihatannya. Kami bercengkerama dengan Fathur, Agusta, dan teman-teman UNY yang lain. Kebetulan, untuk acara kali ini JBS kolaborasi dengan teman-teman UNY untuk menggelar Turba (Tur Buku Arini). Kami ngobrol ngalor-ngidul membahas asal-usul daerah, jalur kereta, dan abu naek. Kami lalu ngobrol AIUEO untuk acara besok. Hm. Padahal Nyimpang kalau bikin acara juga biasanya mempersiapkan H-1 jam, tapi karena kami di kota orang, kami ingin saja menyiapkan semuanya supaya lancar.
Setelah itu saya, Farid, Odang, dan Azis berangkat ke Artjog. Supaya sah ke-kalceran-nya cenah. Saya dan Odang melihat penampilan Yuyun Arfah dengan suara khas etniknya. Kami lalu ngobrol sedikit dan membahas pertemuan kami di Hari Bumi di Kaliaget, Karawang, Mei 2025. lalu. Untuk penampilan Yuyun Arfan dan Pelantun Jiwa, selanjutnya akan dibahas di tulisan yang lain.
Hari H
Saya bangun gak pagi-pagi banget sebetulnya, tapi karena si Bebes menginap di kamar saya dan dia harus pergi jam 3 pagi menuju Merapi, jadi saya juga terpaksa harus bangun dulu. Kemudian ya, tidur lagi sampai jam 8. Jam 8 saya berniat menemui Mas Arifin di Rumah Garin alias Omah Jayeng, tapi pas saya ke sana, ternyata Mas Arifin masih di Bali untuk kampanye bensin dari plastik dengan vespanya itu. Walah! Baiklah. Saya lalu lanjut keliling Omah Jayeng yang lagi pameran Indonesia 1965: KILLING FIELDS. Ditayangkan juga film dokumenter terkait 1965 karya Garin Nugroho berjudul Puisi yang Tak Terkuburkan. Sudah kenyang menonton dan melihat pamerannya, saya melanjutkan perjalanan ke Buku Akik dan bertemu teman saya, Asyrof Sani dari Demak.
Omong-omong, kalau dilihat-lihat, Asyrof Sani ini mirip Fahrul, deh. Suka buka lapakan buku gitu. Saya melihat belanjaannya di Buku Akik saja, sudah sebesar 1 kardus kulkas.
“Waduh! Itu gimana bawanya?!” kata saya kepada Asyrof Sani melihat kardus itu lebih besar dari motor dan tubuhnya. “Mending ikut ke Bantul, yuk?!” kata saya kepada Asyrof.
Tapi melihat sore yang seperti mau hujan, kami lalu berpisah di Buku Akik. Kami melanjutkan perjalanan masing-masing. Setelah membeli beberapa buku anak-anak untuk Keca, saya lalu OTW ke JBS. Begitu sampai di sana, kebetulan sedang ada teman-teman dari Teater Lentera dari Jepara, teman-temannya Mas Koto.
“Nah ini DKJ ini, Rin.” kata Mas Koto mengenalkan “Dewan Kesenian Jepara.” lanjutnya diiringi tertawa teman-teman Teater Lentera. Menuju sore, kami lalu menyiapkan beberapa hal sederhana. Sesederhana tempatnya, kami dibantu teman-teman UNY dan Mas Koto menyiapkan teh dan beberapa simping. Saya senang sekali. Berasa di rumah. Hangat suasananya. Dengan wangi lumpur dan asap bakaran jerami yang sangat Karawang (zaman dulu) sekali, lah iya. Karawang kan kota padi, dulu.
Selebihnya, Feninda, teman dari UNY membantu jalannya acara ini. Pertama, Diana dan Awa membaca dua cerpen. Kemudian Agusta kebagian membedah buku Yusuf dan Sapi Betina. Ketika Diana membacakan cerpen Seekor Burung di Udara, saya menangys. Ada satu cerita yang juga sangat personal untuk saya dan Ayah saya tentang seekor burung. Hua. Menangys lagi.
Di tahun 2005 atau 2006 begitu, ketika rumah saya masih di Kosambi, saya menemukan seekor burung gereja terjatuh di bawah pohon madu keraton di rumah kami, dengan kaki yang sudah patah. Saya lalu memberitahunya kepada Ayah. Seperti anak kecil pada umumnya, hari pertama sampai ketiga, saya begitu bersemangat menjaganya. Pandangan saya gak boleh lepas dari burung itu. Tahu-tahu, burung itu sudah mati entah lapar, haus, atau memang sudah sakit saja kakinya. Saya lalu membuatkan kuburan burung itu dengan tulisan begini,
“Jangan diinjak. Ini kuburan burung!” begitulah setelah saya berhasil mengubur burung itu di dekat madu keraton di kebun di rumah saya.
Masih tentang burung. Satu hari di Ciparay, ketika saya di rumah Dikdik, saya dan Dikdik menemukan dua ekor burung di depan rumah Dikdik. Saya lupa pohon apa yang ada di halaman rumahnya. Jamblang atau apa, ya? Lupa. Hari itu hujan, dan sepertinya mereka terlempar dari sarang kena angin. Mereka kedinginan, sarangnya basah. Lalu saya buru-buru menyetrika sebuah kain, dan saya menempatkan kedua burung itu di dalam kardus yang telah dilapisi kain hangat. Singkat cerita, burung itu kami namai Upit-Ipit.
Upit-Ipit pintar sekali. Setiap kali Dikdik menjentikkan jari dan bersiul, Upit-Ipit akan terbang menuju jari Dikdik. Lalu Dikdik bakal menyuapi mereka beras. Sayang sekali, Olive si kucing nakal itu memakan Upit-Ipit, dan menyisakan kakinya saja. Saya bahkan hanya punya kakinya untuk dikuburkan! Hua. Saya menangys lagi.
Setelah itu, Agusta memberikan banyak pandangan dan pemahaman baru. Feninda pun tak kalah banyak bertanyanya. Saya sangat senang. Selain itu, hadir juga Abyuama, dari Sakato yang aduh manis sekali senyumnya dan Traiagain, pelukis yang aaak! Saya suka sekali dengan gayanya sejak pertama ketemu di Jakarta! Gak sangka akan datang. Kali ini, si Cantik, anaknya sudah lebih besar dan lucu sekali. Setelah berakhir, kami mengobrol dan mendengar Azis bernyanyi bersama kawan-kawannya. Eits! Gak lupa juga Mas Bayu juga!
Lalu, Azis bilang, “Rin, ada Bang Saut sama Mas Sunlie.”
Waduh. Deg-degannya bukan main. Ada perasaan bingung, senang, happy, tapi takut saya malah gak bisa diam dan over energinya. Maklum, kalau sudah senang begini saya biasanya akan membuat yang lain mudah capek karena ketawa terus. Saya lalu salim sama Abah Saut (begitulah saya memanggilnya), dan Mas Sunlie.
Okay. Pertama, kalau kalian berpikir bahwa penulis nge-top tuh bakal berdandan seperti selebritis, turun dari mobil listrik terbaru, maka maaf kalian mending gak usah lanjut baca ini. Meskipun ya ada beberapa penulis populer yang tajir dari lahir atau jadi kaya karena menjual bukunya berjuta-juta eksemplar, tapi agaknya saya bisa pastikan bahwa kebanyakan, penulis akan berpenampilan sederhana, memakai motor yang acapkali pajaknya mati dan harus diselah. Ah, itu pun harus dicek juga karyanya. Apabila karyanya berbicara soal realita sosial, maka ya… penulis yang mungkin akan kamu temui adalah seperti yang tadi saya katakan. Hal ini yang membuat saya suka dengan penulis!
Selalu merasa cukup, sederhana, rendah hati, tidak sombong, tidak merasa dirinya orang yang paling punya, dan yang terpenting adalah: caranya menulis isi pikirannya, Cuy! Dosen saya sering sekali bilang bahwa:
Menulis adalah proses yang sangat islami, sangat tawadhu. Coba bayangkan, ketika kita menulis, terlebih menulis skripsi, jurnal, atau karya ilmiah lain, kita akan mencatut dan membuat catatan kaki. Kita harus membuat daftar pustaka juga. Kita harus membaca buku-buku teori yang kemudian kita catut itu ke dalam tulisan kita. Coba bayangkan, itu kan proses yang tawadhu sekali, kan?! Kita mengakui bahwa ketika kita menulis karya ilmiah, kita itu membutuhkan karya ilmiah lain yang sudah lebih dulu diterbitkan, dan kita harus mencantumkan nama penulisnya! Itu artinya, kita mengakui bahwa ada yang lebih pintar daripada kita.
Dari sini lah saya memahami bahwa ya, memang betul. Menulis adalah proses yang mampu membuat orang (yang sadar) menjadi rendah hati. Maka ketika ada orang yang snob dan ngomong fafifu di tongkrongan tapi tulisannya buluk, atau bahkan tidak menulis, saya yang judgemental ini tentu sudah menjulid di dalam hati. Kemudian kerendahan hati ini kurang lebih bisa dilihat dari pembawaan para penulis yang saya temui di Yogyakarta. Saut Situmorang, Sunlie Thomas Alexander, Indrian Koto, dan Mutia Sukma.
Hari itu saya bisa melihat kesederhanaan para pemikir hebat. Padahal, untuk teman-teman yang juga tahu, tulisan-tulisan mereka berada sebagai deretan karya yang gandrung, tajam, dan tentu saja isinya bukan main. Tapi lihat, ini yang saya suka dari para penulis betulan. Bisa duduk bersama tanpa babibu merasa dirinya “paling”, sangat sederhana tapi setiap percakapannya punya makna.
Sebagai penggemar Sunlie yang dapat banyak pengetahuan budaya Tionghoa di Indonesia berkat tulisannya, saya sangat senang. Siapa yang tidak senang di hari peluncuran bukunya, sang idola membeli dan meminta tanda tangannya?! Siapa yang tidak senang di hari peluncuran bukunya, sang idola (tak sengaja) datang bersama keluarganya yang manis. Siapa yang tidak senang di hari peluncuran bukunya, kamu ngebir sama Saut Situmorang di Prawirotaman dan teriak-teriak nyanyi Bed of Roses?!
Bertemu idola seperti ini yang saya mau! Yang sederhana, yang menganggap kita juga manusia. Bertukar pikiran, bertukar banyak informasi soal kota ini, memberi tahu lokasi tambal ban, dan banyak lainnya. Yang nanya bukunya tentang apa, bertanya tempat asal, dan banyak lainnya!
Saya kagum dengan kerendahan hati mereka semua. Terima kasih, teman-teman! Sudah sangat baik menyambut kami, menyambut Yusuf dan Sapi Betina!
Terima kasih, Ayah! Akan saya bawa namamu ke banyak tempat, dan akan saya ceritakan tentang kita ya, Ayah! Saya akan buat ruhmu bilang “Tah! Bener ieu mah anak aing!” dari tempat yang entah gak tau. Ya, kalau ada. Kalau tidak ada juga gakpapa, bakal tetap saya bawa cerita ini supaya gak ada yang keterlaluan sama makhluk bumi dan bumi itu sendiri! Sebab kalau menyakiti bumi, berarti menyakiti Ayah saya!
Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.