Setelah kakakku menggorok leher orang asing itu, ayah segera menenangkan keadaan. Maksudku, tidak ada yang bisa tenang-tenang saja melihat kejadian semacam ini bukan? Tidak ada suara, bukan berarti tenang.
Aku tak ingat kapan terakhir kami semua bisa satu ruangan seperti ini. Apalagi dengan satu mayat di tengah-tengahnya. Seingatku saat lebaran pun, tak peduli betapa canggungnya, rasanya gak gini-gini amat.
Ia menatapku dan menunjuk handphone di tangannya. Aku mengangguk sambil menunjukkan apa saja yang ada di tanganku: kunci motor, dompet, dan handphone.
Pisau berlumur darah tergeletak dekat tenggorokan orang itu. Luka lehernya terbuka lebar. Sebagian besar kemeja biru muda yang membalut tubuh orang malang itu sudah berwarna merah gelap.
Kau tahu kalau warna darah dalam film-film kurang akurat: terlalu terang. Nyatanyalah darah betulan itu lebih gelap. Merah, tapi gelap. Mungkin hampir marun.
Ia berkali-kali membuat gerakan seolah sedang mengabsen seisi rumah dengan matanya.
Kami semua ada di sana: kakakku, ibuku, adikku, dia sendiri, dan aku. Oh, dan mayat itu.
Ibu menutup mulut dengan tangan kirinya, kukira ia sudah melakukan itu sejak awal. Adik perempuanku membenamkan wajahnya di bahu ibuku.
Aku sendiri berdiri di pintu melihat semua keadaan yang sudah seperti itu. Di grup WhatsApp keluarga sebelumnya bapak mengirim dengan huruf kapital: RUANG TENGAH.
Grup yang tenggelam berbulan-bulan lalu, kini timbul ke atas lagi, seperti bangkai lele di kolam kami.
Khusus untukku, japri begitu, ia memintaku bawa dompet dan kunci motorku. Aku kira dia minta dibelikan bakso atau apalah.
Masa sih minta buang mayat pakai motor.
Telunjuknya mengarah ke aku, lalu dengan telunjuk yang sama ia menunjuk pintu ruang tamu.
Aku ngangguk, langsung ngerti. Harus cekatan. Kepalaku menghitung tindakan pertama: masukkan semua sandal dan sepatu, tutup tirai, dan matikan lampu ruang tamu.
Terus pantau grup, bisiknya.
Aku ngangguk lagi. Aku takjub sendiri, baru kali ini rasanya aku ngangguk dua kali dalam tiga kejapan mata, untuk semua omongannya pula.
Sudah lama kami tidak saling bicara sejak aku keluar dari pesakitan setahun lalu. Cerita yang ini lain kali sajalah.
Kakak masih shock, darah melumuri tangan dan kaosnya putih nyaris berwarna hitam agak marun.
Lagi. Darah itu ternyata bukan merah terang, tapi merah gelap. Lebih dekat ke marun malahan.
Aku segera berjalan dan agak berjinjit. Darah dari leher robek itu mengalir dan banjirannya terus melebar. Jalarannya mulai mendekati karpet kami yang, astaga, ternyata sama merahnya. Merah gelap, bukan terang.
Ngomong-ngomong, aku takjub juga dengan kakakku. Dua hari lalu ia mengetuk kamarku dan menanyakan cara efektif merobek leher manusia.
Ya kubilang saja kalau dia mesti mulai menusuknya dari bagian yang agak empuk di bawah rahang kemudian menarik tikaman itu ke arah rahang yang lain, untuk membuka luka lebih lebar.
“Apakah suaranya betulan seperti orang ngorok?” tanyanya. “Ya, kira-kira begitulah,” jawabku. Aku mengingatkannya saat melihat ayah kami menggorok kambing saat idul adha, pas kami masih anak-anak.
Apa ini hasil dari perbincangan dua hari lalu? Entahlah. Kalau dipikir-pikir potongannya tak sebagus yang pernah kubuat.
Yang jelas, aku sebenarnya gak heran-heran amat. Lagi pula kita tak akan pernah tahu kegilaan apa yang disimpan setiap orang dalam kegelapan dirinya, sampai kita betul-betul melihatnya sendiri.
Terutama ketika merah darah, memang bukan merah terang. Sebelumnya aku kira itu karena penerangan yang buruk. Nyatanya memang begitulah.
Aku berjinjit keluar, menutup gorden seolah tamu barusan baru saja pulang. Toh emang betulan berpulang. Kemudian keluar untuk memasukkan semua sandal dan sepatu ke dalam.
Lalu mematikan lampu dan mengunci pintu.
Handphone aku bergetar. Grup WhatsApp keluarga menyalakan layar.
Bapak: “Nak, bapak minta tolong. Ini bakal agak panjang. Jadi sementara ini kamu keluar dulu, bawa motormu pergi. Tunggu aba-aba bapak.”
**
Pada akhir Maret 2020 menteri Yasonna Laoly mengosongkan lembaga pemasyarakatan sebagai responnya pada situasi Covid-19.
Si Pembual termasuk salah satu yang dibebaskan selain karena (a) kejahatannya termasuk ringan dan (b) ia belum pernah mengajukan remisi untuk alasan yang lumayan aneh: fokus menulis kitab suci baru.
Kini Si Pembual sedang menikmati seblak pedas terenak seantero Purwakarta tepat pada jam 15:00 di seberang patung pertigaan yang mempertemukan jalan Veteran, jalan Tengah, dan Situ Buleud.
Enam tahun lalu, sebelum dibui, tak jauh dari Gedung PKK (sekarang sudah jadi Bale Citra Resmi) ia berkemih dan membakar baliho kampanye Dedi Mulyadi saat mencalon jadi Bupati Purwakarta untuk periode kedua.
Dedi Mulyadi bukanlah pemberang, apa lagi sebab sepele seperti itu. Tempo lalu seseorang menggaplok pipinya, dan ia malah mengirim orang itu ke pesantren khusus pengidap sakit jiwa dan mengongkosi biaya hidup keluarganya.
Namun, yang tak disangka adalah ada lebih banyak orang yang sakit hati melihat video seseorang mengencingi kaki baligo itu, apalagi setelah mereka tahu ia melemparkan satu molotov untuk membakar baliho tersebut.
Belum habis baligo itu terbakar, belum beres ia berkemih, ia sudah dikepruki warga dan diseret ke pickup satpol PP yang sedang nongkrong tak jauh dari situ. Ia mampir dulu ke ICU dalam keadaan resletingnya terbuka.
Beberapa hari kemudian ketua ormas Wargi Sunda Cinta NKRI menuntutnya dengan UU ITE, alih-alih pembakaran properti atau semacamnya.
Ngomong-ngomong, dari peristiwa ini kita bisa belajar… jangan mabuk pada jam 15:00 di pusat kota, dan jangan tersulut amarah tersebab orang yang tak sanggup mencintaimu.
Dua jam sebelum perkemihannya, ia menerima pesan dari grup WhatsApp keluarga. Isinya si Ayah (kemudian ibunya yang mengiba di telepon) memintanya untuk mengakui suatu perbuatan di pengadilan dua hari lagi–yang sebetulnya tak ia lakukan. Ia bisa saja pulang dan langsung mengajak kelahi si Ayah, tapi tidak pada ibunya.
“Tolonglah, ibumu ini nak..”
Peruntungan asmaranya mungkin selalu buruk. Tapi saat sekolah, nilai Bahasa Indonesianya tak pernah ambruk. Dia mengerti.
Ia bermotor ke warung ayam bakar yang baru buka, membeli ayam bakakak, tanpa nasi, untuk dorongan. Kemudian mampir di warung jamu. Ia hampir membeli kondom, tapi diurungkannya, buat apa?
Di sebuah warung mie ayam yang baru saja tutup (yang saat ini jadi warung seblak), ia minum dua botol arcil dalam tegukan-tegukan besar, sampai habis.
Kita bisa menebak apa yang dia pikirkan selama ia minum, tapi kita semua tak pernah mengerti maksud tindakan setelahnya.
Ia tak begitu mabuk untuk bisa menyedot pertalite dari motornya dan memasukkannya ke dalam botol bekas tersebut. Kemudian merobek ujung kaosnya untuk menyumbat mulut botol berisi pertalite tersebut. Membakar ujungnya dan melemparnya dengan ketenangan yang sudah dilatih di kepalanya saat ia meneguk minuman berwarna obat batuk hitam.
Sore ini, tepat setelah menandaskan satu mangkok seblak pedas, setengah gelas es teh manis, dan setengah batang Dji Sam Soe, ia keluar dari warung seblak itu dengan uang 167 ribu, beberapa potong pakaian, dan satu ponsel Nokia 2200 di ransel Eiger hitamnya.
“Udara bebas,” katanya. Ia menghirup udara senja Purwakarta yang segar. Meski sedang gak hujan, ia ingin menangis sepuas-puasnya.
Ia menangis, sebab udara yang menyebar dalam paru-paru dan memompa jantungnya mendadak berubah menjadi semacam keharuan yang agung dan keilahiahan yang melimpah. Ia merasa ingin menulis puisi.
“Oleh sebab hidup itu indah, aku mau makan seblak 1000 mangkok lagi….”