Perdebatan soal childfree ini memang tak pernah habis. Pro-kontra akan selalu hadir dan belakangan Gitasav adalah orang yang paling sering berisik soal ini. Saya beberapa kali urungkan niat untuk berkomentar, sampai saya menemukan tulisan pada halaman Nyimpang.com dengan judul, “Yang Menurut Gue Salah Dari Gitasav”.
Baru sampai judul saja, saya sampai mengernyitkan dahi sambil bergumam, “julid amat ini orang”, yang ternyata yang diakui langsung juga oleh si empunya tulisan. Hallo, Arini…
Kali ini izinkan saya bagikan konteksnya sebelum ngoceh lebih jauh.
Pernyataan Gitasav bahwa tidak punya anak adalah rahasia awet muda, bisa tidur delapan jam sehari, tidak stres dengan teriakan anak-anak… dan seterusnya… sebaiknya berhenti sampai situ dulu.
Karena hanya kalimat-kalimat tersebutlah yang menyulut emosi netizen. Saya hanya bingung kenapa opini dari seseorang yang secara sadar memilih childfree ini lebih mudah membuat netizen terpancing sampai misuh-misuh? Lebih jauh lagi, kenapa pernyataan Gitasav tersebut harus dianggap salah?
Padahal pernyataan Gitaasav ini muncul karena ada netizen yang membandingkan dirinya dengan Gitasav. Bagi saya jawaban utuh dari Gitasav tersebut tetaplah valid. Kenapa? Ya sesederhana karena dia memberikan opini pribadinya setelah mendapatkan komen tersebut.
Ingat sekali lagi, ya. Itu opini pribadi dan jelas subjektif, karena berangkat dari pengetahuan dan personal experience yang dia punya. Tapi apakah kemudian pernyataan tersebut faktual? Nah itu lain cerita dan masih bisa kita perdebatkan.
Tidak cukup hanya dengan menganggap salah pernyataan Gitasav, Arini dalam tulisannya juga mempertanyakan alasan Gitasav untuk childfree ini terinspirasi dari siapa. Hehehe.
Saya jadi kepo, kenapa ya kita sering mempertanyakan pilihan personal seorang perempuan untuk childfree? Sedangkan pilihan perempuan untuk memiliki anak sepertinya jarang sekali dipertanyakan.
Di jagat twitter, pernyataan Gitasav dianggap tidak valid. Sebab bagi banyak orang ia dinilai belum pernah merasakan jadi seorang Ibu dan mengurus anak, untuk itulah ia dinilai tidak berhak membicarakan pilihan childfree ini. Ini terasa lebih arogan dari sekadar melabeli statement Gitasav salah.
Pengetahuan itu kan tidak datang dari ruang kosong. Ada proses pencarian, perdebatan, perbandingan, pengamatan, dan semacamnya. Kenapa kita lebih sering meng-unvalidasi pemikirian atau opini dari orang yang lebih memilih untuk childfree? Kenapa ya?
Jangan-jangan, nih… ini kecurigaan saya saja, ya. Sejak awal kita memang sangat bias dalam melihat persoalan childfree ini. Sehingga pilihan untuk childfree ini dinilai tidak setara dengan pilihan personal semacam punya anak.
Saya hanya mau bilang, bagaimana mungkin dunia hari ini membebankan tugas dan fungsi reproduksi hanya kepada perempuan, sekaligus merayakannya dengan suka cita dan mengamininya. Namun ketika ada perempuan yang secara sadar memilih untuk tidak menggunakan fungsi reproduksinya dengan alasan A-B-C-D, kerap kali kita beramai-ramai mengunvalidasi pemikiran dan pilihannya.
Ini pe-er kita sama-sama, sih. Untuk berpikir adil sejak dalam pikiran, katanya.
Tidak hanya melabeli salah pernyatan Gitasav, Arini lebih jauh melangkah dengan berkomentar, “is this woman having mental issues?”.
Kita memang lebih mudah melabeli pilihan sadar yang diambil perempuan lain dengan macam-macam label, entah salah, entah mental issues dan semacamnya. Pada akhirnya gerakan woman support woman, pada kenyataannya memang sesulit itu.
(Aduduuh nanti dituduh fafifu wasweswos nih. Atau saya kena label sipaling aktivis. Duh jangangitu ya. Saya cuma buruh ibu kota yang resah saja kok.)
Terlepas dari semua ini, saya berpikir bahwa Arini dan Gitasav sebenarnya sudah menemukan satu titik temu. Mereka sama-sama mengamini childfree dengan masing-masing alasannya. Seperti halnya Arini tidak ingin mengemban tugas dari fungsi alat reproduksinya karena dia tak mampu jika harus berhenti merokok. Begitupun Gitasav, ia sadar bahwa “pregnancy can fck up your body”. Terus apa yang membedakan keduanya. Toh keduanya bagi saya tetap valid. Tak perlu dipertanyakan motifnya, apalagi dikaitkan dengan mental issues segala.
Di titik ini Gitasav maupun Arini menunjukan keberaniannya “melawan dunia” dengan memilih childfree. Saya turut bangga dan mendoakan (tanpa sekalipun akan mempertanyakan) pilihan keduanya. Semoga pilihan yang diambil membahagiakan kehidupan keduanya.
Terus lo ikut aliran Gitasav juga gak, Dis?
Begini, saya meyakini selain berkomitmen dalam percintaan, punya anak adalah hal yang sangat berat.
Tau dari mana lo kan belum punya anak?
Begini… fungsi dan tugas reproduksi perempuan saja sudah berat bukan main. Belum lagi bertanggung jawab atas hidup orang lain; memastikan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraannya terjamin.
Anak itu akan hadir dengan rezekinya masing-masing, Dis!
Hehehe. Ya saya cuma bisa jawab, amiiin! Bedah ayat dan dalilnya, biarkanlah jadi urusan Farid!
Belum lagi soal anak-anak yang diterlantarkan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan banyak hal rumit lainnya, yang entah kenapa kita sering kali menutup mata atas fakta-fakta tersebut. Selama kita sulit mengakui bahwa punya anak adalah tugas yang berat dan tidak semua orang mampu dan mau melakukannya, kita akan selalu iseng untuk mempertanyakan pilihan-pilihan perempuan untuk childfree ini.
Sulit memang jadi perempuan ini yha pemirsaaa!
Seperti saya mendukung teman-teman saya yang memilih childfree, saya akan selalu mengapresiasi pilihan teman-teman saya untuk menikah dan punya anak. Bagi saya langkah yang mereka ambil sama-sama berani. Terima kasih dan selamat guys!
Mari kita sudahi percakapan ini. Berhubung matahari sudah naik, buruh ibukota ini harus segera bertarung.
Terakhir, jika saya ditanya apa tips awet muda ala Adiseh?
Dengan lantang saya jawab: HARTA, HARTA, BERCINTA!