Netizen langsung mencak-mencak lagi saat Gita Savitri menyebut resep awet mudanya adalah karena keputusannya untuk childfree, alias memutuskan tidak punya anak. Bagi banyak orang, selain argumen itu menyinggung (tak heran jika responnya begitu heboh), alasan tersebut juga mengungkit pro-kontra childfree yang pernah viral karenanya.
Namun bagi saya masalah ini mungkin hanya ujian bagi kemampuan menalar kita. Seperti semua perdebatan warganet pada umumnya.
Jadi bagaimana sebenarnya Gita Savitiri menguji kemampuan menalar kita?
Untuk menyegarkan ingatan, mari kita bahas salah satu logical fallacy (cacat logika) yang terkenal ini. Namanya Red Herring (Ikan Herring Merah); merupakan jenis cacat logika yang mengalihkan perbincangan dari permasalahan utama untuk membuat pembaca atau penonton mencapai kesimpulan “keliru”. Entah keliru dari urutan berpikirnya, atau keliru logikanya.
Umumnya cacat logika Herring Merah ini merupakan taktik untuk mengalihkan perhatian. Dalam Oxford English Dictionary disebut, cacat logika ikan haring merah ini bisa jadi disengaja maupun tidak. Begitu pula seperti yang dilakukan Gita Savitiri. Jadi argumen yang dia katakan bisa jadi disengaja, bisa saja tidak. Di sini saya hanya menegaskan kalau dia mau menguji gaya penalaran kita.
Karena begini… menalar sebab “awet muda” karena memilih childfree jelas lompatan logika yang aneh. Tampil menawan tentu saja urusan merawat diri. Gaya busana, tingkah laku, rangkaian skincare, pola makan, apa pun. Sebab-sebab penghambat merawat diri seperti stress, tak punya waktu, gak ada duit, dan hal lain yang disebut Gita toh bisa dialami siapapun, bahkan orang yang sama sekali gak ada urusan denga childfree atau tidak.
Contohnya saya yang stress dan banyak waktu luangnya, tetap saja tak enak ditatap. Alasannya ya karena saya tak merawat diri, terlepas dari malas, stress, dan tak punya uang. Contoh lainnya, ya Wulan Guritno dan Raissa yang membuktikan bahwa orang bisa saja membesarkan anak dan tetap merawat diri. Atau lebih tepatnya, orang bisa punya sebab berbeda untuk tak merawat diri, tapi yang jelas “tampil menawan” dengan “childfree” jelas urutan logika yang jauh.
Btw, saya juga sering disebut-sebut awet muda. Banyak yang tidak percaya jika usia saya 30 tahunan. Kadang ada saja yang bertanya resepnya, saya tak pernah diberi kesempatan menjawab, karena mereka keburu menutup kalimatnya dengan menyebut sebab awet muda saya adalah, karena tingkah saya seperti anak Maba yang terlalu semangat. Bangsat betul.
Meski begitu tahu apalah saya soal masalah-masalah “childfree” itu, kan. Mari kita bahas saja soal ujian penalaran dari Gita Savitri di sini.
Coba amati kalimat berikut: “Nah, Rin. Sepertinya kita harus perketat penerimaan tulisan di Nyimpang. Karena kita tidak ingin miskin seumur hidup.”
Walaupun alasan di akhir digunakan untuk mendukung usulan awal dalam kalimat tersebut, tetap saja tidak relevan. Persis seperti awet muda dan child-free. Ya gimana tidak, dulu Nyimpang pernah lumayan ketat kurasinya, tapi ya tetap saja kami semua masih ngerokok lintingan sampai hari ini.
Contoh lain. Saya bilang sama bos saya, kalau gaji sejuta tak cukup buat kebutuhan sebulan. Dia jawab: “Harusnya kamu bersyukur, waktu seusia kamu, gaji saya cuma 400 ribu.” Mantap!
Sekilas memang terasa benar. Tapi coba pikirkan ini, seratus ribu tahun 1975 jelas jaaauh berbeda nilainya dari seratus ribu hari ini. Bisa jadi kalau di tahun itu gaji dia satu juta, sekarang dia pasti ikutan bursa pencalonan presiden.
Nah, buat saya argumen Gitsav ini motifnya jangan-jangan cuma ujian penalaran saja. Sebab mustahil Gita Savitiri yang well-spoken and yet educated itu membuat kecerobohan seperti cacat logika Ikan Herring Merah ini. Gak make sense. Persis seperti Raffi Ahmad yang deg-degan mendengar token listrik berbunyi. Gak make sense sama sekali. (Eh sebentar, deh. Paragaraf ini bahkan gak make sense deh. Bodo ah.)
Jadi saya berhenti sampai sini untuk membahas drama netizen atas opini Gita Savitiri tersebut, apalagi sampai ikut-ikutan menuduh Gita Savitri congkak atau tak simpatik pada kaum ibu.
Bagaimanapun saya tak punya hak mengoreksi pendapat-pendapatnya yang secara partikular hanya bisa direspon oleh perempuan–atau minimal punya pengalaman ketubuhan yang sama. Persoalan saya bicara panjang begini, hanya berusaha melihat apa yang menarik dari omongan Gita Savitri tersebut.
Pertama, tentang bagaimana posisi laki-laki saat berhadapan dengan pengalaman ketubuhan perempuan. Jordan B Patterson, psikolog Amerika yang banyak menyinggung kaum feminis, punya argumen yang menarik soal ini. Mungkin dia gak cocok dikutip atau ini gak nyambung dalam sepintas, tapi tetap menarik diresapi.
Katanya, para lelaki harus mengerti. Jika seorang perempuan tak menginginkan pria tertentu, itu benar belaka. Bagaimana mungkin seseorang yang punya tanggung jawab besar sebagai Ibu (mengandung, melahirkan, membesarkan anak, dan lainnya) mau meresikokan semua urusannya untuk hidup bersama seorang lelaki yang tak bisa meyakinkan dirinya, bahwa dia akan hidup aman dan cukup nyaman untuk melakukan semua proses motherhood tadi. Di bagian ini saya jelas tak berani menyinggung pilihan childfree belio.
Kedua, ujian nalar sehari-hari.
Ya, setiap hari nalar kita diuji dalam percakapan (atau perdebatan?) semacam ini. Coba bayangkan jika kita semua sadar bahwa semua kekisruhan internet hanyalah tes menalar saja, pasti kita gak akan gurunggusuh merespon apapun. Atau dalam kata lain, tidak ikutan emosian. Kayak dunia asli kurang bikin emosi aja.
Dalam kasus Gitsav ini, kalau kita fokus pada subject sebenarnya, yakni “awet muda” dan tidak tersesat merusuhi comment section Gitsav atau mengira resep awet muda sebenarnya adalah child-free, kukira kita sudah melewati ujian ini dengan selamat.
Ini juga bisa jadi pelajaran berapa banyak perdebatan di sekitar kita sering berputar-putar tak karuan karena ikan herring ini. Subjectnya apaan, kesimpulannya apaan. Entah itu tak sengaja karena bodoh, atau disengaja karena ingin memanipulasi, atau cuma selip lidah (ala Freudian) belaka.
Pertanyaannya yang manakah motif Gita Savitri dalam tiga posisi ini? Yang jelas bukan urusan saya. Yang jadi urusan kita hanya, saat melihat pola argumen yang mirip, entah itu datang dari politisi atau orang yang kita anggap kita teman, atau bahkan dari mulut kita sendiri, sebaiknya kita mulai melihat logical fallacy ini dengan sadar.
Comments 1