Film Pendek Sia (2024): Upaya Pelebaran Sudut Pandang yang Menarik, tapi Tidak dengan yang Lain-lainnya

Inilah pentingnya kita agar tidak berburuk sangka kepada orang lain, bak yang terjadi pada pencarian Pendekar Mato Merah yang dilakukan oleh Samsudin kepada seorang Leman dalam film Sia besutan sutradara Rori Aroka ini. Awalnya Samsudin begitu yakin bahwasanya Leman adalah Pendekar Mato Merah itu sendiri dan mungkin saja tebakannya tepat, tapi semua yang suudzon itu tidak akan keterusan, ada titik balik yang diperoleh sesudah mencapai ujung yang dituju. Usaha-usaha yang dilakukan Samsudin dengan adegan laga yang minus aura itu pantas membuatnya sadar diri.

Jujur, aku bukanlah seorang penikmat film silat. Mungkin aku hanya tahu beberapa film silat saja sejauh ini, seperti: The Raid, Merantau, Wiro Sableng, dan Gundala; itupun tidak sepenuhnya aku tonton. Untuk tontonan laga, aku lebih memilih untuk menonton pertandingan gulat profesional, terutama “segmen deathmatch”. Tapi bagaimana dengan kalian? Mau tahu dong film silat yang sudah kalian tonton? Genre ini memang bukan ranahku, sampai aku jadi kepikiran ada gak ya karya sastra yang spesifik membahas silat?

Oke, ayo masuk ke film. Pada tulisan ini aku fokus kepada pengalamanku menonton saja karena aku bukanlah anak film yang ngerti teknik-tekniknya dan aku juga tidak paham dengan silat, salah-salah nanti aku pula yang tamat kaji, belum sempat membaca alif ba ta; tetapi sudah disuruh melafalkan innalillahi wa inna ilahi roji’un. Haha. Kawan-kawan yang paham silat bagi ilmunya sedikit dong! Hihi.

Kita skip aja adegan cringe di awal film yang membuat bulu kuduk merinding, adegan di mana Leman dilepas pergi oleh istrinya dengan dialog yang bisa kalian dengar sendiri saja betapa romantisnya mereka berdua ini.

Bagiku adegan ini tidak membuatku semakin tergugah untuk melanjutkan menonton. Tetapi jika adegan Leman berhasil membuat penyamun terkapar di tepi ladang memulai film ini, mungkin akan lebih apik bagiku. Pasti akan membuat orang bertanya-tanya apa hal yang telah terjadi. (Lagi-lagi) mungkin ini hanya peletakan adegan yang kurang tepat saja.

Peristiwa Leman dan penyamun itu melahirkan obrolan-obloran di lapau. Namun obrolan-obrolan itu menghadirkan humor-humor garing/seksis yang berobjek pada wanita. Memang tidak harus segitunya kurasa, tapi rasanya seperti tetap hambar dan jika ditambahkan garam juga tidak berefek apa-apa. Adegan ini sebenarnya menjadi adegan penting dalam film pendek ini; menjembatani penonton ke konflik-konflik berikutnya. Namun, adegan ini tidak tereksekusi dengan baik, rasanya hanya hangat-hangat tahi ayam saja. Tapi ada satu dialog yang patut diapresiasi yakni,

“Belajar silek tanpa kaji samo se jo belajar menari” atau jika dialih bahasakan ke bahasa indonesia jadi begini, “Belajar silat tanpa ilmu sama saja dengan belajar menari.” Beuh, sakit nakan den!

Sepanjang film kita disuguhkan dengan sikap dinginnya seorang Samsudin. Perjalannya mencari tahu perihal Leman ke sana-sini asik untuk diikuti. Intimidasi yang dilakukannya Samsudin ahai sedapnya, perlahan dan perlahan hingga mendapatkan informasi yang ia cari.

Aku merasakan alur film ini begitu cepat, pencarian yang dilakukan Samsudin tidak begitu ada tantangan, mulus bak Tol Bangkinang yang tak begitu diminati pengendara kendaran roda empat.

Pada akhirnya kita masuk ke dalam babak akhir di dalam film ini, Leman dan Samsudin bertemu. Samsudin membawa tuduhan-tuduhan kepada Leman. Akhir yang aku kira akan brutal tetapi dieksekusi dengan seadanya. Adegan laga yang dihadirkan terasa seperti rekaman belakang layar saja. adegan yang antiklimaks ini bukan tidak ada artinya, bak kata Leman “Ujung kaji silek, surau sebagai penenang.” atau jika di-Indonesiakan berarti “ujung dari ilmu silek adalah surau sebagi penenang.” Silat dan surau tidak bisa dipisahkan, silat bukan hanya mengajarkan kita untuk menjaga diri tetapi juga mengajarkan kita untuk menjaga hati dengan dekat dengan surau, menjalankan ibadah lima waktu. Adegan diakhiri dengan kedatangan Mak Datuak yang membuat kita bertanya-tanya kembali, “Jadi, sia sabana nyo pendekar mato merah tu e?

Segitu dulu yak! Ingat kawan-kawan, pandai kelahi tidak bikin kalian terlihat keren, tetapi terlihat kalian itu tidak dapat menahan diri. Lawan dirimu sendiri dulu, kawan! Ingat tu ya! Jan lupa!

*Jadi, siapa sebenarnya Pendekar Mata Merah itu?

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like