Festival Literasi yang Saya Impikan

Sebenarnya saya tidak pernah bermimpi untuk melihat sebuah festival literasi yang langsung sempurna, atau ada sebuah festival literasi yang mendaku diri sebagai festival literasi sempurna.

Festival literasi yang ada dalam “teater benak” saya adalah ruang yang diciptakan untuk bertemunya buku dengan manusia, menjadi pasar pemikiran kritis-kreatif dan inovatif, tempat bahasa langit dibumikan, tempat orang masa kini berkenalan dengan masa lalu.

Saya tidak ingin ada panggung yang tinggi untuk penulis, yang akhirnya semakin menjauhkan dengan pembaca. Panggung festival literasi layaknya pementasan ebeg (kuda lumping) yang menyatu dengan penonton. Bukankah akan menjadi indah ketika penulis dan pembaca bertemu dalam satu tawa yang sama? Meskipun penulis harus turun ke bahasa bumi.

Festival literasi impian saya adalah ruang di mana Ahmad Tohari dan Mahfud Ikhwan duduk bersama kemudian menikmati Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie membaca puisi -seperti kakek dan kakak yang mengajari cucu atau adiknya mengeja.
Ruang di mana bertemunya Tere Liye dengan puluhan novel karyanya sepanggung dengan Azhari Ayubi -yang kita tahu seberapa tebal novel Kura-Kura Berjanggut. Atau Salim A. Fillah dengan “keris” masa lalu yang ia hidupkan, berduet dengan Dandy Dwi Laksono yang resah akan lingkungan dan masa depan.

Apakah akan sulit memainkan orkestra literasi lintas generasi? Saya kira hal itu adalah tantangan tersendiri. Sehingga polarisasi siapa pegiat literasi akan semakin samar. Berbaur dalam sebuah festival yang mungkin akan terdengar sebuah aransement baru. Bisa jadi tidak merdu, tapi layak untuk berpadu.

Saya bermimpi festival literasi akhirnya juga bisa untuk semua. Bukan hanya para pembaca buku, bukan hanya anak yang bisa kuliah atau anak yang saat kecilnya dulu dibelikan majalah Bobo. Festival literasi membuka kesempatan bagi anak-anak yang hanya bisa baca buku saat perpustakaan keliling datang dua minggu sekali ke sekolahnya untuk bisa bertemu dengan buku-buku (bermutu). Kesempatan untuk seorang anak mengenal bahwa buku itu bukan hanya buku tulis, buku gambar atau buku LKS Erlangga.

Festival literasi yang saya bayangkan adalah sebuah ruang bagi orang yang berani menulis, namun tidak kebagian slot di Ubud Witres and Readers Festival, Borobudur Writers and Culture Festival, Makassar International Writes Festival. Penulis yang bukunya jauh dari radar kurator Kusala Sastra Khatulistiwa, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atau dewan kesenian yang sejenisnya. Menjadi obat bagi penulis yang bisa jadi hampir patah dalam berkarya. Jadi festival literasi yang saya bayangkan adalah bukan hanya menggundang yang terkenal, tetapi yang tulus.

Saya tahu betul bahwa festival literasi butuh sponsor. Butuh buku terjual. Butuh sewa perlengkapan. Butuh biaya dekorasi. Butuh profit bagi penyelenggara. Tapi saya percaya, bahwa orang yang setia dan sungguh-sungguh pada mimpinya, kebutuhan itu akan datang. Akan ada kejutan-kejutan yang melengkapi. Tuhan tidak akan diam terhadap mimpi hambaNya.

Saya sedang merawat ruang agar literasi, membaca, buku menulis dan turunannya, masih punya tempat di dunia yang serba cepat. Festival literasi biar menjadi “jeda” bahwa dunia juga bisa berjarak dengan kebisingan. Meskipun sejenak.

Festival literasi kini menjamur. Saya selalu tersenyum setiap ada poster festival literasi yang silih berganti, selalu ada di setiap sudut negeri. Meskipun saya tidak mengenal siapa yang berpeluh di belakangnya, dan mungkin tidak akan bertemu, tapi selalu ada doa yang turut saya panjatkan untuk mereka. Tentang kerja-kerja literasi mereka yang secara diam-diam terus bermimpi tentang meningkatnya budaya baca, tanpa takut ditanya, “Apa kamu tidak kerja?”

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like