Pada 4 Oktober 2023, Ronald Tannur membunuh pacarnya sendiri, Dini Sera Afrianti, dengan cara melindas setengah bagian tubuh korban hingga terseret lima meter menggunakan mobil yang melaju kencang di area tempat parkir mal Lenmarc, Jl. Mayjen Jonosewojo, Lakarsantri, Surabaya.¹ Berdasarkan keterangan yang kami peroleh, kasus pembunuhan ini bermula dari pertengkaran besar antara keduanya setelah berkaraoke di daerah Blackhole dan mal Lenmarc—perkelahian kata-kata bereskalasi menjadi kekerasan fisik yang dilakukan Ronald, yang berpuncak pada pembunuhan.
Ada alibi dari pihak Ronald Tannur: tindakan ini di bawah pengaruh minuman alkohol saat karaoke. Tapi, tidak semua kegiatan minum alkohol membuat seseorang mabuk sampai tidak sadar—pada kasus Ronald, ia secara sadar dan sengaja menendang dini, memukul kepalanya dengan botol minuman keras sebanyak 2x, dan masih bisa memakai kunci mobil dan menancap gas, mengatur kemudi, hingga melindas korban.
Penggunaan alibi di bawah minuman keras tidak bisa diterima. Selain memberikan ruang pembenaran, hal tersebut juga tidak masuk akal: apa yang pelaku lakukan itu butuh pikiran yang terkoordinasi, bukan aksi spontan.
Kecenderungan kekerasan yang dilakukan Ronald Tannur ternyata bukan hal baru.² Teman dekat korban menyampaikan bahwa dari pesan suara yang dikirim korban sebelum dibunuh, terdapat indikasi bahwa Ronald Tannur sering melakukan kekerasan dalam pacaran, yang membuat korban merasa depresi atau putus asa. Dalam pesan suara tersebut, korban berkata dengan nada muram, “Kek aku dibanting-banting, aku nggak masalah, nggak apa.” Indikasi ini semakin kuat setelah netizen menemukan aktivitas terakhir korban di TikTok yang berbunyi, “Cwenya mati-matian jaga hati buat cwonya, eh cwonya mati-matian matiin cwenya.”
Pada kasus ini terdapat ketidakberdayaan korban. Dalam menghadapi kekerasan, terutama kekerasan fisik, korban hanya bersikap pasrah karena tidak memiliki kemampuan untuk melawan balik. Hal ini dipicu oleh relasi kuasa yang timpang, mengingat terdapat perbedaan kelas sosial dan usia di sini (pelaku lebih tua dan lebih kaya sementara korban lebih muda dan kurang mapan), sehingga korban lebih rentan dimanipulasi, diancam, dan ditindas sesuai kehendak pelaku.
Kasus ini kemudian makin parah dengan adanya apatisme dan kelambatan dalam bertindak. Selama korban masih hidup, ia telah menyampaikan pengalaman traumatiknya kepada sahabatnya, tetapi sahabatnya tidak berupaya menolong dengan membuat aduan ke kantor kepolisian terdekat sesuai domisilinya terkait kebejatan pelaku. Yang bersangkutan dapat terkena delik kelalaian tindak pidana membuat orang lain meninggal sesuai ketentuan pasal 359 KUHP.
Netizen TikTok yang menyaksikan kontennya pun diam, walaupun mungkin, tinggal satu kota dengan korban. Apatisme ini yang membuat korban jadi tidak tertolong.
Selain itu, yang kami sayangkan adalah lembaga penegak hukum yang gagal memberikan keadilan. Semestinya penjahat itu dihukum setimpal dengan perbuatannya supaya menciptakan rasa keadilan dan rasa aman di masyarakat. Tapi, Ronald Tannur pernah mendapat vonis bebas oleh tiga hakim (satu hakim ketua dan dua hakim anggota) Pengadilan Negeri Surabaya.
Alasannya adalah karena Ronald sempat berusaha menolong Dini ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan. Ini jelas salah! Upaya tersebut hanyalah siasat pelaku untuk menutupi kejahatannya dengan berlagak bodoh. Kalau Ronald memang peduli, ia tak akan pernah bertindak, apalagi berpikir untuk mengambil kunci mobil, menancap gas, dan mengatur setir untuk melindas Dini sampai meninggal—dengan kondisi tubuh terseret sejauh lima meter.
Kejanggalan yang terjadi dalam vonis bebas Ronald Tannur memicu reaksi: para hakim yang membebaskan Ronald Tannur kini mendapatkan predikat tersangka penerima suap dari Kejaksaan Agung.³ Ini adalah upaya Kejaksaan Agung agar orang yang telah jelas-jelas melakukan kejahatan tidak dibiarkan berkeliaran dan akhirnya bisa diproses hukum di pengadilan.
Namun, ini ternyata tidak cukup, karena Mahkamah Agung baru-baru ini menjatuhkan sanksi pidana kepada Ronald Tannur hanya selama lima tahun penjara. Ya, orang yang telah menganiaya orang lain hingga meninggal secara sengaja hanya mendapat ganjaran lima tahun. Padahal ganjaran maksimal untuk pembunuhan itu adalah 15 tahun penjara menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kita patut curiga terdapat dugaan adanya praktik mafia hukum atau penyelewengan hukum di kasus ini—mengingat ayah Ronald Tannur adalah orang berkuasa: pebisnis sekaligus politisi.
Di samping apatisme dan lemahnya penegakan hukum, ada hal lain yang patut mendapat sorotan: femisida.
Bagaimana Femisida Memiliki Andil dalam Kejahatan Ronald Tannur
Kejahatan Ronald Tannur memiliki kaitan dengan femisida. Merujuk pada Oxford Languages, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan dewasa atau gadis yang biasanya dilakukan oleh laki-laki karena alasan semata-mata gender korban itu perempuan.⁴ Femisida ini tidak muncul tiba-tiba tanpa alasan, tapi didukung oleh internalisasi ideologi patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Selama keluarga Ronald Tannur membesarkan anaknya dan berbagai produk kultural seperti tontonan dan bacaan itu “mengasuhnya” secara sengaja atau tidak, pandangan bahwa perempuan itu gender yang inferior ditanamkan ke benaknya.
Ada upaya terus-menerus yang keluarga dan industri media lakukan guna mempertahankan patriarki. Melihat ibunya sendiri atau sosok perempuan di keluarganya yang gampang disakiti menimbulkan persepsi bahwa perempuan memang layak ditindas kalau tidak nurut kemauan laki-laki yang ada di bawah kekuasaannya. Film atau majalah yang ia konsumsi semakin menguatkan cara pandangnya bahwa perempuan adalah objek laki-laki: sebuah tendensi yang mereduksi peran perempuan hanya sebagai budak laki-laki.
Setelah dewasa, Ronald Tannur menjadi manusia penindas sesuai ideal patriarki. Ia mempergunakan usianya yang lebih tua dan harta kekayaan bapaknya yang merupakan anggota dewan untuk mempengaruhi, memanipulasi, mengeksploitasi, dan menganiaya perempuan yang lebih muda dan lebih rentan secara finansial. Karena mendapat justifikasi dan pembiaran, maka ia dengan tega melakukan pembunuhan pada Dini.
Lalu lembaga penegak hukum sempat melindunginya—membebaskannya dari segala dakwaan dan tuntutan, walaupun akhirnya terendus juga dugaan suap, dan akhirnya para hakim terkait tertangkap.
Menyikapi Femisida Kasus Ronald Tannur
Femisida ini berakar dari patriarki yang ditanamkan secara sosial, kultural, dan legal secara terus-menerus. Komponen terkecil masyarakat, yakni keluarga menjadi pelaku internalisasi nilai-nilai patriarki. Kecenderungan ini kemudian dilanjutkan oleh media dalam berbagai bentuknya, lalu dilindungi oleh lembaga penegak hukum.
Cara kita menyikapinya mesti dengan terus membawa hal-hal tersebut juga: sosial, kultural, dan legal. Kita perlu untuk menginternalisasi nilai-nilai kesetaraan pada lingkup keluarga kita. Kita perlu membangun atau melanjutkan media alternatif yang melawan narasi dominan masyarakat. Kita juga perlu jeli melihat kinerja lembaga penegak hukum—apabila memang ada hakim yang melakukan penyelewengan untuk melindungi pelaku kekerasan seksual, maka yang bersangkutan bisa diadukan ke Komisi Yudisial untuk diproses hukum dan kemudian diberi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Upaya untuk melawan femisida membutuhkan hal-hal ini: menanamkan dan mengawal implementasi nilai-nilai kesetaraan gender lintas sektoral secara konsisten.
Landasan Hukum:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Referensi:
Putu Indah Savitri/Nadia Putri Rahmani – Kejaksaan tangkap Ronald Tannur di Surabaya (Antara).³